Sabtu, 18 Januari 2014

Surat Protes Anak-anakku : Sebuah Otokritik dan Kebanggaan Atas Mereka

Bagaikan petir disiang bolong! Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba surat itu datang dari seorang muridku bernama Nida. Aku kira itu hanyalah surat biasa seperti yang dulu-dulu pernah kuterima dari beberapa anak yang isinya kesan mereka terhadapku dan pelajaran yang kuampu, ucapan terimakasih, selamat, atau semacamnya.

Nida adalah salah satu anak yang paling suka bertanya kepadaku tentang apa saja, termasuk pengetahuan-pengetahuan diluar materi pelajaran. Ia juga sangat senang ketika mendengarkan aku berkisah di depan kelas, itu tampak jelas kulihat dari sinar mata dan raut wajahnya. Nida yang haus ilmu dan kritis ini kebetulan juga adalah anak yang menduduki posisi akademis tertinggi di kelas 5. Kelas Khalid bin Walid.

Tapi kawan, tidak seperti cerita-ceritaku sebelumnya yang hanya mengisahkan satu atau dua anak. Kali ini Nida bukan tokoh utamanya. Melainkan seluruh anak kelas 5, seisi kelas!

Ceritanya begini:

Tadi siang setelah makan siang bersama. Nida dan Esti menghampiriku dan mereka berkata:
“Ustad, nanti ikut mendampingi pelajaran SBK nya Miss Ika di kelas kami kan?”
“Wah, ustad harus menemani kelas 4 di pelajaran PKn nanti, memangnya ada apa?” Ujarku.
“Eh, nggak tad. Gak ada apa-apa kok. Tapi ustad mau ya ikutan SBK bareng kita.” Kata Nida.
“Hmm..baiklah. Nanti kalian mau bikin mading ya? Akan ustad temani deh.” Jawabku kemudian.

Hari kamis ini aku memang tak ada jadwal mengajar di kelas mereka. Aku hanya diamanahkan untuk satu mata pelajaran IPS/Sejarah saja setiap hari selasa. Lainnya adalah materi Pembinaan Karakter dan jam Perpustakaan yang hanya sekali seminggu. Itupun Cuma berdurasi masing-masing 30 menit. Pada intinya aku adalah seorang guru bahasa Inggris. Maka tak heran bahwa aku juga mengajar di 3A, 3B, 4A, 4B pada hari-hari lainnya.

Bagiku pembagian jadwal ini sama sekali tak jadi soal. Toh setiap aku mengisi mata pelajaran di kelas 5, aku selalu berusaha sebisanya untuk menyampaikan materi dengan santai dan diselingi humor. Dengan games atau permainan. Tak jarang juga aku bercerita tentang apa saja. Hal ini aku tujuankan agar mereka tak merasa sedang ‘diajari’. Ya, kawan pasti tahu benar bahwa anak-anak sekarang mana mau belajarnya monoton. Selalu duduk rapi melipat tangan, mendengarkan guru dalam diam, mencatat dan merangkum buku seperti kita dulu bersekolah, kini sudah ketinggalan jaman. Sudah out of date! Maka jadilah aku memakai cara diluar mainstream dalam menyampaikan pelajaran kepada anak-anak.

Setelah kupikir-pikir lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mendampingi mereka pada jam terakhir. Ketika aku sedang asik menggambar dan menggunting bersama anak-anak pada jam pelajaran SBK itulah datang Nida dan teman-temannya menyerahkan sepucuk kertas yang dilipat menjadi kecil sekali seukuran kotak korek api. Katanya itu surat untukku. Harus kubaca nanti setelah pulang sekolah. Aku bertanya, “Surat apa ini? Kejutan buat ustad ya?” Anak-anak itu hanya tersenyum penuh arti. Aku yang sedang asik berkutat dengan persiapan mading kelas, memasukkan kertas itu ke dalam kantonmg celana. Tak bertanya lagi.

Namun aku sangat penasaran. Ini surat pertama yang bersifat rahasia diberikan oleh anak-anak terhadapku. Di depan kertas kecil itu tertulis:

TO : Ustad Fauzan
From : Anak Kelas 5 Khalid Bin Walid
(Secret Project)

Aku sempat tersenyum membaca dua kata terakhir : “Secret Project”. Memang aku sering menggunakan istilah ‘project’. Ini karena kami dikelas 5 sedang dalam proses beberapa proyek seperti menerbitkan buku antologi karangan cerita masing-masing anak, perpustakaan kelas dengan motto ‘take one book, leave one book’ , jualan jus bikinan kami sendiri di kantin sekolah, hingga latihan lagu rap untuk didedikasikan kepada Ayah Bunda. Mereka mengambil istilah ‘project’ dari sana. Yang bikin aku heran ada kata ‘secret’ nya segala. Berarti ini memang bersifat rahasia dan penting.

Maka ketika keluar sebentar untuk menyiapkan games intrakurikuler bahasa Inggris untuk mereka. Aku punya hanya sedikit waktu untuk mengintip surat itu. Intinya mereka protes mengapa aku jarang berada dikelas mereka. Nah, tahulah aku akhirnya alasan kenapa raut muka anak-anak terlihat cemberut kepadaku ketika aku mengajak mereka ke lapangan untuk bermain games bersama. Ekspresi wajah Nida lah yang paling muram kulihat. Dia yang biasanya antusias, kini berubah 180 derajat. Ajakanku ditolaknya. Nida ngambek total!

Melihat gejala yang kurang asik itu, akupun mengajak semua anak kembali untuk ke kelas. Games bahasa Inggris yang biasanya seru itu kuundur sementara. Setelah anak-anak semua berada dikelas. Maka seperti biasanya, aku memulai awalan kata dengan teriakan semangat. Anak-anak diam. Kesempatan emas yang hanya berselang beberapa detik itu langsung aku manfaatkan untuk menceritakan kisah tentang kawan-kawanku yang kukagumi. Aku bercerita tentang kawan-kawanku yang kini berada di Jepang, Malaysia, dan Amerika. Kuceritakan kawan-kawanku yang pernah keliling dunia dan Indonesia untuk belajar, kawan-kawanku yang bergiat di LSM dan NGO untuk membantu anak-anak terlantar dalam bidang ekonomi dan pendidikan.  Aku katakan kepada anak-anakku, bahwa para kawanku itu titip salam untuk mereka.

Mendengar itu, semua anakku heran. Kok bisa kawan-kawanku mengenal mereka yang hanya murid sebuah sekolah dasar. Maka kubongkarlah semuanya saat itu. Kuceritakan bahwa setiap malamnya aku diskusi dan chatting dengan kawan-kawanku itu tentang pengalaman mereka di sekolah. Kawan-kawanku itu kagum kepada semangat, antusiasme, kreatifitas, dan kecerian mereka di sekolah. Kukatakan juga kepada anak-anak kelas 5 bahwasanya mereka patut berbangga karena mereka kini punya fans di seluruh Indonesia bahkan dunia. Semua itu bisa terjadi lewat mengakses internet yang kulakoni saban malam.

Intinya, kutegaskan pada anak-anakku, walaupun secara fisik aku jarang berada dikelas mereka karena aku juga mengajar di banyak kelas lain, pikiran dan hatiku selalu terpatri kepada mereka. Aku bilang aku kagum dan bangga kepada mereka yang walaupun masih kanak-kanak, tapi dapat menginspirasi kami sebagai orang yang telah dianggap dewasa. Kami (kawan-kawanku dan aku) dulu tak selayak dan senikmat mereka belajar disekolah dasar yang penuh dengan segudang keterbatasan.

Kutambahkan pesan agar anak-anakku dikelas 5 untuk selalu menjaga kekompakan, kesenangan belajar dan kepedulian agar mereka (tentu saja) bisa lebih hebat dari kawan-kawanku itu nanti. Mendengar ini semua, anak-anak kembali bersemangat dan antusias seperti biasa. Mereka tampaknya sudah melupakan kejadian kasus surat protes tadi. 

Akhirnya ketika kuajak mereka semua ke lapangan, materi games kami berlangsung sangat seru sampai-sampai bapak kepala sekolah kami keluar kantornya dan ikutan duduk dipinggir lapangan. Ikutan tertawa-tawa sambil sesekali turut menyemangati dan menyoraki games pertandingan yang sedang berlangsung.

*****

Ketika di angkot saat pulang sekolah tadi. Aku kembali membaca penuh semua isi dari surat protes anak-anakku. Ada perasaan bersalah sekaligus haru. Memang kuakui dalam dua minggu ini aku tampak seperti lebih perhatian kepada kelas 3 dan 4. Aku membuatkan yel-yel khusus untuk kelas 4A dan 4B. Dan anak-anak kelas 4 senang sekali dengan itu. Hal ini pastinya diketahui juga oleh kelas 5. 

Disamping itu aku juga sedang menguras otak dan memfokuskan perhatian kepada anak-anak kelas 3 untuk kuanalisis gaya belajar mereka dan metode apa yang paling tepat kulakukan di kelas untuk menarik perhatian mereka. Selama berada di sekolah, aku memang sedang berupaya memetakan kelas 3. Maklum, tahun kemaren aku belum pernah mengajar dan mengenal mereka lebih intens. Berbeda dengan anak-anak kelas 5 sekarang yang sudah kukenal cukup dekat karena telah mengajar bahasa Inggris di kelas mereka tahun lalu.

Dalam hati aku berujar: “Tapi ini tak boleh dijadikan alasanku untuk tidak lebih memperhatikan kelas 5. Semua anak di sekolah haus akan perhatian. Mereka haus akan cinta. Seperti layaknya kita orang dewasa.”

*****

Begitu tiba dirumah, aku yang jarang sekali menceritakan pengalaman di sekolah kepada Ibu, langsung memperlihatkan surat itu pada beliau.  Setelah membacanya Ibuku pun berkata : “Wah, anak-anak Fauzan di sekolah hebat sekali ya. Mereka sungguh cerdas!”

Bertambah lagi satu fans anak-anakku di sekolah, tak lain adalah Ibuku sendiri.

*****


Fauzan Fadri
12 September 2013
Pukul 20:33 WIB




Lampiran Isi Surat:

Assalaamua’alaikum Wr. Wb.

Ustad Fauzan, maaf kalau Nida, Esti, Rico, Zidan, Pasya, dan anak kelas 5 ngasih tahu ustad berlebihan. Kami semua iri dengan kedekatan Ustad dengan anak kelas 4. Kami semua gak melarang Ustad dekat dengan anak kelas 4. Tapi kami iri karena Ustad Fauzan waktunya lebih banyak sama anak kelas 4. Sedangkan Ustad Fauzan lebih sedikit waktunya sama anak kelas 5. Padahal Ustad sendiri (adalah) pendamping wali kelas 5.

“KAMI INGIN USTD. FAUZAN LEBIH BANYAK WAKTUNYA DAN LEBIH DEKAT DGN ANAK KELAS 5, termasuk kami.”

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar