Selasa, 11 Februari 2014

Outing Sampah, Bawa Berkah

Yang terpikirkan pertama kali dalam benak kita ketika mendengar kata sampah adalah menjijikkan, bau, kotor, atau kumuh.  Apalagi bagi kita yang bermukim dan beraktifitas di kawasan yang relatif bersih, perkotaan, atau komplek perumahan kelas menengah atas. Ya, tepat sekali. Kesanalah tempat tujuan ‘outing class’ kami, kelas 5 Khalid bin Walid hari ini. Sebuah tempat pengolahan sampah plastik yang cukup luas.

Bicara soal sampah, aku punya pengalaman pribadi yang romantis. Semenjak kecil ketika masih SD, ada sebuah tempat pengepulan sampah rongsokan tak jauh dari rumah. Aku sering sekali kesana, sendirian atau bersama teman-teman tetangga. Tujuan kami kesana adalah untuk mencari mainan-mainan bekas yang kondisinya sudah lumayan parah. Aku masih ingat benar, dulu pernah mendapatkan ‘action figure’ Ksatria Baja Hitam yang sudah buntung kedua kaki dan sebelah tangannya. Tubuh tak utuh KBH itu menjadi mainan favoritku sampai kelas 6.

Lalu apa sih romantisnya? Adalah kejadian disuatu hari ketika aku kebetulan tak punya teman untuk pergi ketempat pengepul rongsokan itu. Aku merengek-rengek kepada Ayah. Padahal Ayah saat itu lagi sibuk mengerjakan sebuah terali besi pesanan pelanggan. Ayahku adalah tukang las. Kami punya bengkel kontrakan kecil seukuran 4x5 meter dirumah.

Waktu itu kalau Ayah tak bekerja, maka kami tak jajan dan berbelanja. Namun akhirnya dengan rela hati Ayah menemaniku pergi ke tempat rongsokan itu untuk memburu mainan berupa tutup botol bekas kecap, soft drink, atau limun (ketika itu mainan tutup botol bekas sedang menjadi trend di lingkungan anak-anak kami). Taktik kami adalah: Ayah sibuk mencari besi bekas untuk bahan terali, dan aku asik hunting mainan sendiri. Padahal aku tahu bahwa saat itu Ayah sedang tak begitu butuh membeli besi bekas, semata tujuan utama adalah hanya untuk menemaniku. Ayah rela meninggalkan pekerjaannya asalkan kemauanku terpenuhi. Mungkin pikir Ayah: “Walaupun saya tak bisa membelikan mainan baru, setidaknya anak saya senang telah bisa mencari mainannya sendiri.”

Belakangan aku sadar. Itulah bukti cinta Ayah. Peduli apa aku dulu soal beban hidup Ayah untuk menghidupi dan memberi makan keluarga. Yang aku tahu hanyalah keinginanku yang walaupun tak muluk (tak meminta mainan mahal) harus terwujud! Kalau tidak terpenuhi aku akan merengek sepanjang sore hingga malam. Inilah salah satu pengalaman masa kecilku yang paling romantis. Sejak saat itu pula aku selalu suka dengan tempat-tempat pengepulan sampah dan rongsokan. Tempat yang romantis.


**********skip..skip..skip************

Lanjut ceritaku ke masa sekarang. Makanya ketika pertama kali diusulkan oleh Bu Puji (Wakasek Kurikulum)untuk mensurvey sebuah tempat pengolahan sampah plastik yang berada tak jauh dari sekolah kami, aku langsung suka. Hari Senin kemaren aku menuju ke lokasi dengan ditemani seorang OB sekolah yang biasa dipanggil Uncle Herman. Ternyata beliau pernah bekerja disana selama dua tahun. Alhamdulillah, urusan tetek bengek perijinan dan perkenalan dengan mandor beserta para pekerja disana berjalan lancar.

Hari ini kami bersama anak kelas 5 berkunjung kesana. 

Seperti yang kawan-kawan ketahui, aku mengajar di sebuah SDIT yang notabene latar belakang strata sosial ekonomi murid-muridku adalah kalangan mengengah atas. Dalam benak murid-muridku selama ini, outing class mungkin adalah acara jalan-jalan, naik bus AC berkunjung ke tempat wisata atau semacamnya. Kali ini aku ingin sesuatu yang lain. Sebuah tujuan lain. Inilah “Outing Sampah!”

Lantas apa alasanku menganggap outing class kali ini adalah sesuatu yang perlu? Pertama, anak-anak haruslah dikenalkan dengan kepekaan akan lingkungan sekitar sedari dini. Gedung sekolah yang ‘mewah’ harus diterobos dengan bukaan mata hati yang lebih detail namun luas. Kita hidup bermasyarakat. Berdampingan satu sama lain. Aneka jenis pekerjaan, keragaman tingkat sosial. Di ruang kelas kita belajar menghargai dan hormat kepada sesama, terutama yang lebih tua. Di pelajaran PAI kita sama setuju dan yakin bahwa Allah tidak menilai hambanya dari tingkat ekonomi tertentu melainkan kadar ketaqwaan, iman, dan semangatnya bekerja keras, serta peduli sesama. Kini saatnya kita keluar sebentar dan memaknai bahwa teori-teori pelajaran dan keyakinan itu memang benar adanya.

Aku mencoba mengenalkan sisi sosial humanis kepada anak-anak dengan mengunjungi sebuah tempat pengolahan limbah sampah. Memang awalnya ada beberapa siswa yang mengeluh kecapean, bau, becek dan lain sebagainya. Namun dalam peristiwa kunjungan dan observasi kami kali ini, aku ingin sekali mengatakan kepada anak-anakku secara implisit bahwa sesuatu yang berharga dan tak ternilai bahkan ada di tempat-tempat seperti itu. Kerja keras dan semangat dalam mencari harta halal yang ditunjukkan oleh para ibu dan bapak pekerja di tempat pengolahan sampah itu akan ‘berbicara’ lebih banyak. Lebih dari sekedar petuah kata-kata nasehatku dalam ruang kelas di mata pelajaran pendidikan karakter.

Kedua, adalah soal pemahaman tentang persoalan kepekaan lingkungan. Banjir terjadi karena sampah. Dengan melihat sendiri bahwa sampah bisa diolah dan bisa menghasilkan uang, paling tidak anak-anak akan lebih sadar untuk tetap menjaga kebersihan. Aku harap begitu. Proses pembelajaran anak-anak bersumber dari apa yang mereka lihat dan lakukan, bukan dari yang mereka dengar. Makanya masih sering kita temui kasus anak yang sulit dinasehati, karena mereka hanya mendengar nasihat-nasihat saja, tanpa melakukan dan mengalami sesuatu yang konkrit. Sesuatu yang dapat diamati langsung, dirasa, diraba, dicium, dan melakukan hal tertentu. Anak-anak lebih banyak belajar dari contoh perbuatan yang kita dan sekitar lakukan. Memberi contoh yang baik adalah metode mengajar yang paling ampuh, walaupun perlu proses dan kesabaran kita sebagai guru dan orang dewasa.

Ketiga, anak-anak tetap bisa ‘menyalurkan hobi’ mereka sebagai seorang observer secara alamiah. Apa yang dilakukan hampir seluruh anak kelas 5 adalah mereka begitu asik dan selalu penasaran terhadap aneka sampah plastik yang mereka temukan. Boneka bekas, pistol-pistolan bekas, kaset, compact disc, video, bahkan stick PS bekas, adalah hal menarik bagi mereka. Ketika melihat betapa antusiasnya mereka, aku jadi teringat kembali pengalamanku waktu kecil seperti yang kuceritakan diawal tadi. Bagaimanapun juga, meskipun tempat pengolahan sampah ini tidak sebagus pemandangan mall dan tempat wisata, namun dimata anak-anak yang kaya akan imajinasi, semuanya tampak seperti arena taman bermain.

Terakhir dan yang paling utama adalah tentang rasa kesyukuran akan keberadaan mereka yang mungkin saja kini lebih beruntung dari pada para pekerja di sana. Anak-anakku dengan rumah dan sekolah mereka yang nyaman, para orang tua mereka yang tak perlu berpikir dua kali untuk membelikan seragam, buku, dan mainan. Serta limpahan hidup berkecukupan sebagai karunia dari Tuhan, adalah sebuah alasan untuk mereka, kami, dan kita agar dapat lebih mawas diri, gemar berbagi, bahkan sampai tak kepikiran nanti untuk ikut-ikutan jadi pejabat yang korupsi. Melihat keatas kita tak kan pernah merasa puas, melihat ke bawah kita akan belajar bagaimana meningkatkan solidaritas antar sesama dan ukhuwah.

Ah, saya tiba-tiba teringat perkataan Tan Malaka:

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!”


Anak-anakku kelas 5 Khalid bin Walid, merdekalah kalian! Kelak jadilah kalian apapun, jadilah ‘kaya’. Namun tetaplah belajar berbagi dan menjadi pribadi yang sederhana seperti Rasul junjungan kita, Gandhi, maupun Hatta.




Fauzan Fadri

Selasa 11 Februari 2014 

Pukul 23:24 WIB

Jumat, 07 Februari 2014

Surat Cinta dari Seorang Guru Biasa


Aku adalah seorang biasa. Aku tidak terkenal, belum pernah muncul di televisi dan koran. Tapi aku juga punya mimpi seperti kalian. Impianku adalah menjadi guru selamanya, dan memiliki sebuah sekolah alam untuk anak-anak. Dengan kekuatan usaha, doa, dan bantuan kawan-kawan, aku yakin impianku itu akan tercapai nantinya. Aku tahu, aku kini sedang berada di jalan setapak menuju kesana. 

Guru adalah sebuah pekerjaan paling remeh: hanya berceramah  di depan kelas, menyuruh murid mengerjakan tugas, memberikan tumpukan pekerjaan rumah, menuliskan angka-angka nilai sesuka hati, hingga menghukum murid yang melanggar dan sulit mengerti. Jadi guru hanya akan untuk dibenci para siswa dan siswi. Jauh dari tujuan sucinya yang untuk menginspirasi. Dan sekolah tak lebih dari sekedar tembok-tembok sempit bagaikan dalam ruang jeruji penjara.

Setidaknya, itulah pemahamanku dulu. Mungkin sama seperti yang kalian anggap sekarang. Guru adalah sipir tukang perintah, menyita waktu bermain dan kebebasan ekspresi peserta didiknya.

Namun akhirnya siapa pula yang menyangka, aku dihukum Tuhan dengan sebuah hukuman yang paling tak terbayang. Tuhan maha adil, maha unik dalam memberi kita sebuah pelajaran. Aku dihukum dengan cara ‘menjadikanku’ seorang guru. Sebuah profesi yang tak pernah sedikitpun kuimpikan ketika aku masih bersekolah dulu, malah kini justru menjadi seolah tujuan hidup dan manifestasi akan sebuah pemaknaan diriku.

Lalu apa sebab pemahamanku ini bisa berputar seratus delapan puluh derajat? Semuanya bermula dari pengalamanku sendiri ketika sempat menjadi relawan trauma healing anak-anak korban gempa di kampungku beberapa tahun lalu. Ketika itu aku adalah seorang mahasiswa sastra yang resah. Banyak membaca, aktif berorganisasi, diskusi kampus membuatku sempat membenci beberapa sikap dan kebijakan pemerintah. Salah satunya dalam sistem pendidikan kita ini. Kawan pasti tahu apa saja sebabnya; ketidakmerataan fasilitas, sekolah mahal, buku mahal, seragam mahal, guru-guru yang tidak kompeten, masalah ujian nasional, dan banyak lagi, sebut saja!

Ketika itu aku hanya bisa mencaci, berkoar-koar tak berujung pangkal tanpa bisa melakukan suatu hal yang berarti. Adalah hal kecil saja yang kami lakukan setelah gempa itu terjadi. Bersama belasan rekan kampus kami belajar berbagi. Belajar turun ke lapangan, menjadi relawan untuk pertama kali. Kami melakukan apa saja yang bisa dikerjakan: mengumpulkan logistik, menghubungi para donatur, rapat dan konsolidasi, mendirikan tenda-tenda darurat, memasak, hingga berdongeng dan bernyanyi.

Sejak itulah, aku mulai belajar mengerti. Kritikan dan protes tak ada gunanya sama sekali. Kata-kata menjadi basi. Melakukan hal kecil dan sederhana jauh lebih bermanfaat. Anak-anak di pengungsian itu, bola mata mereka yang jernih kontras dengan pemandangan reruntuhan rumah dan bangunan sekitar yang miris. Keceriaan dan senyum tulus mereka berhasil mengubah jalan hidup dan pandanganku. Sejak itu aku mulai berdamai dengan diriku sendiri, berjabatan tangan dengan masa lalu, dan mulai menatap masa depan serta memutuskan satu tujuan: menjadi bagian dalam dunia anak dan pendidikan.

Semangat kerelawanan itu masih berbekas dan kugenggam hingga sekarang. Menjadi guru menurutku adalah metamorfosis dari wujud sikap kerelawanan  itu sendiri. Maka peduli apa soal gaji. Aku tak berharap muluk. Biarkan Tuhan yang Maha Baik mendatangkan rahmat dari pintu-pintu lain. Toh kesehatan dan kesyukuran hati adalah setinggi-tingginya nikmat dan rezeki.

Aku kini menjadi guru sekolah dasar di kota Depok, sudah dua tahun merantau. Aku suka sekali menjadi guru karena bisa dekat dengan anak-anak. Entah mengapa, para murid di sekolahku pun punya sorot mata yang sama dengan anak-anak pengungsi korban gempa yang kutemui beberapa tahun lalu. Kupikir mata seluruh anak-anak di dunia memang seperti itu ya. 

Cahaya ketulusan, keceriaan, dan kepolosan selalu terpancar dari mata anak-anak. Dan kebahagiaan itu menular padaku. Kawan tentu sependapat denganku, bahwa semakin kita menjadi orang dewasa maka hidup pun semakin penuh dengan tantangan dan tuntutan. Hidup menjadi semakin palsu dan tidak menyenangkan. Tak sedikit orang dewasa yang frustasi dengan masalah dirinya. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah menjadi anak-anak yang selalu berbahagia, positif, pantang menyerah, selalu penasaran dan gemar belajar hal baru serta jujur. Dengan berbaur bersama anak-anakku di sekolah, aku mempertahankan keceriaan masa kecil yang pernah kualami dulu. Inilah hal utama yang kudapatkan secara gratis dengan menjadi seorang guru: Rasa Bahagia.

Tentunya aku tak ingin menjadi tipikal seorang guru seperti yang kusebut di awal ceritaku tadi. Aku ingin menjadi guru biasa yang menginspirasi. Makanya aku perlu banyak belajar lagi. Latar belakang pendidikanku yang bukan keguruan justru menjadi penyemangatku untuk mempelajari dunia yang sedang kugeluti ini. Banyak sekali percobaan trial-error yang kulakukan ketika belajar dan mengajar siswa di sekolahku. Namun satu yang pasti, aku harus selalu mengajar mereka dalam keadaan ceria, dengan semangat rasa senang hati.

Dari anak-anak itu justru akulah yang belajar. Entah siapa yang guru, entah siapa yang menjadi murid. Aku tidak menganggap muridku sebagai cangkir kosong yang harus diisikan ilmu dariku sebagai sebuah teko. Muridku bukanlah cangkir kosong itu! Mereka adalah sahabatku, partnerku dalam proses belajar kami sendiri-sendiri.

Seperti yang kubilang tadi. Aku belajar kebahagiaan, memaknai hal, berbagi, menjadi berarti, dan mensyukuri hidup dari anak-anak muridku di sekolah. Sederhana sekali kan kawan? Ya, menjadi seorang guru biasa dan sederhana ternyata amatlah menyenangkan. Oiya, kini aku tak lagi gemar mencaci.


Fauzan Fadri
Depok, 13:17 WIB, 08-02-2014