Jumat, 07 Februari 2014

Surat Cinta dari Seorang Guru Biasa


Aku adalah seorang biasa. Aku tidak terkenal, belum pernah muncul di televisi dan koran. Tapi aku juga punya mimpi seperti kalian. Impianku adalah menjadi guru selamanya, dan memiliki sebuah sekolah alam untuk anak-anak. Dengan kekuatan usaha, doa, dan bantuan kawan-kawan, aku yakin impianku itu akan tercapai nantinya. Aku tahu, aku kini sedang berada di jalan setapak menuju kesana. 

Guru adalah sebuah pekerjaan paling remeh: hanya berceramah  di depan kelas, menyuruh murid mengerjakan tugas, memberikan tumpukan pekerjaan rumah, menuliskan angka-angka nilai sesuka hati, hingga menghukum murid yang melanggar dan sulit mengerti. Jadi guru hanya akan untuk dibenci para siswa dan siswi. Jauh dari tujuan sucinya yang untuk menginspirasi. Dan sekolah tak lebih dari sekedar tembok-tembok sempit bagaikan dalam ruang jeruji penjara.

Setidaknya, itulah pemahamanku dulu. Mungkin sama seperti yang kalian anggap sekarang. Guru adalah sipir tukang perintah, menyita waktu bermain dan kebebasan ekspresi peserta didiknya.

Namun akhirnya siapa pula yang menyangka, aku dihukum Tuhan dengan sebuah hukuman yang paling tak terbayang. Tuhan maha adil, maha unik dalam memberi kita sebuah pelajaran. Aku dihukum dengan cara ‘menjadikanku’ seorang guru. Sebuah profesi yang tak pernah sedikitpun kuimpikan ketika aku masih bersekolah dulu, malah kini justru menjadi seolah tujuan hidup dan manifestasi akan sebuah pemaknaan diriku.

Lalu apa sebab pemahamanku ini bisa berputar seratus delapan puluh derajat? Semuanya bermula dari pengalamanku sendiri ketika sempat menjadi relawan trauma healing anak-anak korban gempa di kampungku beberapa tahun lalu. Ketika itu aku adalah seorang mahasiswa sastra yang resah. Banyak membaca, aktif berorganisasi, diskusi kampus membuatku sempat membenci beberapa sikap dan kebijakan pemerintah. Salah satunya dalam sistem pendidikan kita ini. Kawan pasti tahu apa saja sebabnya; ketidakmerataan fasilitas, sekolah mahal, buku mahal, seragam mahal, guru-guru yang tidak kompeten, masalah ujian nasional, dan banyak lagi, sebut saja!

Ketika itu aku hanya bisa mencaci, berkoar-koar tak berujung pangkal tanpa bisa melakukan suatu hal yang berarti. Adalah hal kecil saja yang kami lakukan setelah gempa itu terjadi. Bersama belasan rekan kampus kami belajar berbagi. Belajar turun ke lapangan, menjadi relawan untuk pertama kali. Kami melakukan apa saja yang bisa dikerjakan: mengumpulkan logistik, menghubungi para donatur, rapat dan konsolidasi, mendirikan tenda-tenda darurat, memasak, hingga berdongeng dan bernyanyi.

Sejak itulah, aku mulai belajar mengerti. Kritikan dan protes tak ada gunanya sama sekali. Kata-kata menjadi basi. Melakukan hal kecil dan sederhana jauh lebih bermanfaat. Anak-anak di pengungsian itu, bola mata mereka yang jernih kontras dengan pemandangan reruntuhan rumah dan bangunan sekitar yang miris. Keceriaan dan senyum tulus mereka berhasil mengubah jalan hidup dan pandanganku. Sejak itu aku mulai berdamai dengan diriku sendiri, berjabatan tangan dengan masa lalu, dan mulai menatap masa depan serta memutuskan satu tujuan: menjadi bagian dalam dunia anak dan pendidikan.

Semangat kerelawanan itu masih berbekas dan kugenggam hingga sekarang. Menjadi guru menurutku adalah metamorfosis dari wujud sikap kerelawanan  itu sendiri. Maka peduli apa soal gaji. Aku tak berharap muluk. Biarkan Tuhan yang Maha Baik mendatangkan rahmat dari pintu-pintu lain. Toh kesehatan dan kesyukuran hati adalah setinggi-tingginya nikmat dan rezeki.

Aku kini menjadi guru sekolah dasar di kota Depok, sudah dua tahun merantau. Aku suka sekali menjadi guru karena bisa dekat dengan anak-anak. Entah mengapa, para murid di sekolahku pun punya sorot mata yang sama dengan anak-anak pengungsi korban gempa yang kutemui beberapa tahun lalu. Kupikir mata seluruh anak-anak di dunia memang seperti itu ya. 

Cahaya ketulusan, keceriaan, dan kepolosan selalu terpancar dari mata anak-anak. Dan kebahagiaan itu menular padaku. Kawan tentu sependapat denganku, bahwa semakin kita menjadi orang dewasa maka hidup pun semakin penuh dengan tantangan dan tuntutan. Hidup menjadi semakin palsu dan tidak menyenangkan. Tak sedikit orang dewasa yang frustasi dengan masalah dirinya. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah menjadi anak-anak yang selalu berbahagia, positif, pantang menyerah, selalu penasaran dan gemar belajar hal baru serta jujur. Dengan berbaur bersama anak-anakku di sekolah, aku mempertahankan keceriaan masa kecil yang pernah kualami dulu. Inilah hal utama yang kudapatkan secara gratis dengan menjadi seorang guru: Rasa Bahagia.

Tentunya aku tak ingin menjadi tipikal seorang guru seperti yang kusebut di awal ceritaku tadi. Aku ingin menjadi guru biasa yang menginspirasi. Makanya aku perlu banyak belajar lagi. Latar belakang pendidikanku yang bukan keguruan justru menjadi penyemangatku untuk mempelajari dunia yang sedang kugeluti ini. Banyak sekali percobaan trial-error yang kulakukan ketika belajar dan mengajar siswa di sekolahku. Namun satu yang pasti, aku harus selalu mengajar mereka dalam keadaan ceria, dengan semangat rasa senang hati.

Dari anak-anak itu justru akulah yang belajar. Entah siapa yang guru, entah siapa yang menjadi murid. Aku tidak menganggap muridku sebagai cangkir kosong yang harus diisikan ilmu dariku sebagai sebuah teko. Muridku bukanlah cangkir kosong itu! Mereka adalah sahabatku, partnerku dalam proses belajar kami sendiri-sendiri.

Seperti yang kubilang tadi. Aku belajar kebahagiaan, memaknai hal, berbagi, menjadi berarti, dan mensyukuri hidup dari anak-anak muridku di sekolah. Sederhana sekali kan kawan? Ya, menjadi seorang guru biasa dan sederhana ternyata amatlah menyenangkan. Oiya, kini aku tak lagi gemar mencaci.


Fauzan Fadri
Depok, 13:17 WIB, 08-02-2014

2 komentar:

  1. semangat dan selamat menginspirasi kawan...pekerjaan guru memang bukan apa-apa tapi dari cinta seorang guru seseorang akan menjadi apa-apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali apa yg miss ovi bilang, saya juga bnyak belajar dari miss ovi..
      mari kita selalu bersemangat! :)

      Hapus