Yang terpikirkan pertama kali dalam benak kita ketika mendengar kata sampah adalah menjijikkan, bau, kotor, atau kumuh. Apalagi bagi kita yang bermukim dan beraktifitas di kawasan yang relatif bersih, perkotaan, atau komplek perumahan kelas menengah atas. Ya, tepat sekali. Kesanalah tempat tujuan ‘outing class’ kami, kelas 5 Khalid bin Walid hari ini. Sebuah tempat pengolahan sampah plastik yang cukup luas.
Bicara soal sampah, aku punya pengalaman pribadi yang romantis. Semenjak kecil ketika masih SD, ada sebuah tempat pengepulan sampah rongsokan tak jauh dari rumah. Aku sering sekali kesana, sendirian atau bersama teman-teman tetangga. Tujuan kami kesana adalah untuk mencari mainan-mainan bekas yang kondisinya sudah lumayan parah. Aku masih ingat benar, dulu pernah mendapatkan ‘action figure’ Ksatria Baja Hitam yang sudah buntung kedua kaki dan sebelah tangannya. Tubuh tak utuh KBH itu menjadi mainan favoritku sampai kelas 6.
Lalu apa sih romantisnya? Adalah kejadian disuatu hari ketika aku kebetulan tak punya teman untuk pergi ketempat pengepul rongsokan itu. Aku merengek-rengek kepada Ayah. Padahal Ayah saat itu lagi sibuk mengerjakan sebuah terali besi pesanan pelanggan. Ayahku adalah tukang las. Kami punya bengkel kontrakan kecil seukuran 4x5 meter dirumah.
Waktu itu kalau Ayah tak bekerja, maka kami tak jajan dan berbelanja. Namun akhirnya dengan rela hati Ayah menemaniku pergi ke tempat rongsokan itu untuk memburu mainan berupa tutup botol bekas kecap, soft drink, atau limun (ketika itu mainan tutup botol bekas sedang menjadi trend di lingkungan anak-anak kami). Taktik kami adalah: Ayah sibuk mencari besi bekas untuk bahan terali, dan aku asik hunting mainan sendiri. Padahal aku tahu bahwa saat itu Ayah sedang tak begitu butuh membeli besi bekas, semata tujuan utama adalah hanya untuk menemaniku. Ayah rela meninggalkan pekerjaannya asalkan kemauanku terpenuhi. Mungkin pikir Ayah: “Walaupun saya tak bisa membelikan mainan baru, setidaknya anak saya senang telah bisa mencari mainannya sendiri.”
Belakangan aku sadar. Itulah bukti cinta Ayah. Peduli apa aku dulu soal beban hidup Ayah untuk menghidupi dan memberi makan keluarga. Yang aku tahu hanyalah keinginanku yang walaupun tak muluk (tak meminta mainan mahal) harus terwujud! Kalau tidak terpenuhi aku akan merengek sepanjang sore hingga malam. Inilah salah satu pengalaman masa kecilku yang paling romantis. Sejak saat itu pula aku selalu suka dengan tempat-tempat pengepulan sampah dan rongsokan. Tempat yang romantis.
**********skip..skip..skip************
Lanjut ceritaku ke masa sekarang. Makanya ketika pertama kali diusulkan oleh Bu Puji (Wakasek Kurikulum)untuk mensurvey sebuah tempat pengolahan sampah plastik yang berada tak jauh dari sekolah kami, aku langsung suka. Hari Senin kemaren aku menuju ke lokasi dengan ditemani seorang OB sekolah yang biasa dipanggil Uncle Herman. Ternyata beliau pernah bekerja disana selama dua tahun. Alhamdulillah, urusan tetek bengek perijinan dan perkenalan dengan mandor beserta para pekerja disana berjalan lancar.
Hari ini kami bersama anak kelas 5 berkunjung kesana.
Seperti yang kawan-kawan ketahui, aku mengajar di sebuah SDIT yang notabene latar belakang strata sosial ekonomi murid-muridku adalah kalangan mengengah atas. Dalam benak murid-muridku selama ini, outing class mungkin adalah acara jalan-jalan, naik bus AC berkunjung ke tempat wisata atau semacamnya. Kali ini aku ingin sesuatu yang lain. Sebuah tujuan lain. Inilah “Outing Sampah!”
Lantas apa alasanku menganggap outing class kali ini adalah sesuatu yang perlu? Pertama, anak-anak haruslah dikenalkan dengan kepekaan akan lingkungan sekitar sedari dini. Gedung sekolah yang ‘mewah’ harus diterobos dengan bukaan mata hati yang lebih detail namun luas. Kita hidup bermasyarakat. Berdampingan satu sama lain. Aneka jenis pekerjaan, keragaman tingkat sosial. Di ruang kelas kita belajar menghargai dan hormat kepada sesama, terutama yang lebih tua. Di pelajaran PAI kita sama setuju dan yakin bahwa Allah tidak menilai hambanya dari tingkat ekonomi tertentu melainkan kadar ketaqwaan, iman, dan semangatnya bekerja keras, serta peduli sesama. Kini saatnya kita keluar sebentar dan memaknai bahwa teori-teori pelajaran dan keyakinan itu memang benar adanya.
Aku mencoba mengenalkan sisi sosial humanis kepada anak-anak dengan mengunjungi sebuah tempat pengolahan limbah sampah. Memang awalnya ada beberapa siswa yang mengeluh kecapean, bau, becek dan lain sebagainya. Namun dalam peristiwa kunjungan dan observasi kami kali ini, aku ingin sekali mengatakan kepada anak-anakku secara implisit bahwa sesuatu yang berharga dan tak ternilai bahkan ada di tempat-tempat seperti itu. Kerja keras dan semangat dalam mencari harta halal yang ditunjukkan oleh para ibu dan bapak pekerja di tempat pengolahan sampah itu akan ‘berbicara’ lebih banyak. Lebih dari sekedar petuah kata-kata nasehatku dalam ruang kelas di mata pelajaran pendidikan karakter.
Kedua, adalah soal pemahaman tentang persoalan kepekaan lingkungan. Banjir terjadi karena sampah. Dengan melihat sendiri bahwa sampah bisa diolah dan bisa menghasilkan uang, paling tidak anak-anak akan lebih sadar untuk tetap menjaga kebersihan. Aku harap begitu. Proses pembelajaran anak-anak bersumber dari apa yang mereka lihat dan lakukan, bukan dari yang mereka dengar. Makanya masih sering kita temui kasus anak yang sulit dinasehati, karena mereka hanya mendengar nasihat-nasihat saja, tanpa melakukan dan mengalami sesuatu yang konkrit. Sesuatu yang dapat diamati langsung, dirasa, diraba, dicium, dan melakukan hal tertentu. Anak-anak lebih banyak belajar dari contoh perbuatan yang kita dan sekitar lakukan. Memberi contoh yang baik adalah metode mengajar yang paling ampuh, walaupun perlu proses dan kesabaran kita sebagai guru dan orang dewasa.
Ketiga, anak-anak tetap bisa ‘menyalurkan hobi’ mereka sebagai seorang observer secara alamiah. Apa yang dilakukan hampir seluruh anak kelas 5 adalah mereka begitu asik dan selalu penasaran terhadap aneka sampah plastik yang mereka temukan. Boneka bekas, pistol-pistolan bekas, kaset, compact disc, video, bahkan stick PS bekas, adalah hal menarik bagi mereka. Ketika melihat betapa antusiasnya mereka, aku jadi teringat kembali pengalamanku waktu kecil seperti yang kuceritakan diawal tadi. Bagaimanapun juga, meskipun tempat pengolahan sampah ini tidak sebagus pemandangan mall dan tempat wisata, namun dimata anak-anak yang kaya akan imajinasi, semuanya tampak seperti arena taman bermain.
Terakhir dan yang paling utama adalah tentang rasa kesyukuran akan keberadaan mereka yang mungkin saja kini lebih beruntung dari pada para pekerja di sana. Anak-anakku dengan rumah dan sekolah mereka yang nyaman, para orang tua mereka yang tak perlu berpikir dua kali untuk membelikan seragam, buku, dan mainan. Serta limpahan hidup berkecukupan sebagai karunia dari Tuhan, adalah sebuah alasan untuk mereka, kami, dan kita agar dapat lebih mawas diri, gemar berbagi, bahkan sampai tak kepikiran nanti untuk ikut-ikutan jadi pejabat yang korupsi. Melihat keatas kita tak kan pernah merasa puas, melihat ke bawah kita akan belajar bagaimana meningkatkan solidaritas antar sesama dan ukhuwah.
Ah, saya tiba-tiba teringat perkataan Tan Malaka:
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!”
Anak-anakku kelas 5 Khalid bin Walid, merdekalah kalian! Kelak jadilah kalian apapun, jadilah ‘kaya’. Namun tetaplah belajar berbagi dan menjadi pribadi yang sederhana seperti Rasul junjungan kita, Gandhi, maupun Hatta.
Fauzan Fadri
Selasa 11 Februari 2014
Pukul 23:24 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar