Sabtu, 16 Agustus 2014

Antara Spiderman, Kuaci, dan Rendang Jengkol


Melakoni profesi sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah dasar sepertinya telah menjadi pengisi waktu luang paling menyenangkan bagiku. Tiga tahun lalu, aku tak punya ide sama sekali tentang bagaimana caranya mengajar. Aku hanya kenal tentang dunia anak dan pendidikan secara serabutan dari buku-buku bacaan, film-film yang di tonton, diskusi-diskusi kecil, hingga kegiatan-kegitan kampus.
Memiliki latar belakang pendidikan berbeda, adalah tantangan yang lain lagi buatku. Harapan dan tuntutan lingkungan sekitar juga menjadi momok yang pernah menghantuiku beberapa tahun lamanya. Namun apabila kita memang sudah kadung cinta, hambatan seberat dan serupa apapun tetap akan terasa ringan dan nikmat untuk dijalani. Kata orang-orang tua dahulu: “Kalau sudah jelas dan benar keinginan, maka terbukalah jalan.” Paolo Coelho dalam The Alchemist juga pernah menulis: “Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, maka alam semesta akan mendukungmu.” Sama prinsipnya dengan hukum tarik-menarik.
Berangkat dari pengalaman yang masih kurang itu, aku mencoba mengolahnya menjadi sebuah peluang untuk belajar sesuatu yang baru. Sebuah proses belajar akan terasa sangat menyenangkan ketika kita telah benar-benar menyukai apa yang sedang kita pelajari. Hal ini menjadi salah satu prinsip yang aku pegang teguh hingga kini.
Maka ketika mengajar anak-anak di sekolah pun, aku selalu menjalani prinsip ini. Kegiatan belajar harus dikondisikan dalam suasana hati gembira. Belajar adalah sebuah ritual sakral tentang pembebasan pikiran, hati, dan jiwa. Ketika seseorang belajar dalam keadaan terpaksa, itu hanya akan menjadi sia-sia. Membuang-buang energi dan tenaga saja.
Lantas apa hubungan prolog cerita yang saya curhatkan diatas dengan tokoh superhero Spiderman, cemilan kuaci, bahkan rendang jengkol?
Nah kawan-kawan, berikut kisahnya.

Spiderman.
Di tahun pertamaku, ada seorang anak kelas tiga yang terkenal sangat aktif dan sulit sekali untuk diajak fokus belajar. Suasana hatinya gampang sekali berubah. Bahkan tak jarang membuat guru yang sedang mengajar menjadi pusing tujuh keliling. Akupun sempat merasakan hal yang sama.
Namun pengalaman pribadi masa kecil telah membuatku untuk tidak lekas berprasangka kepada anak-anak. Aku tidak ingin memberi label negatif kepadanya. Pada suatu kesempatan saat makan siang bersama, ketika hanya ada aku dan dia, aku mulai bedongeng kepada anak ini.
“Maukah engkau mendengar sebuah rahasia?” ujarku mengawali cerita.
“Rahasia apa pak?” ia bertanya penasaran.
“Nih, dengarkan dengan hati-hati ya.., sebenarnya dulu bapak pernah menjadi spiderman!”
“Haaah??! Bapak bercanda nih! Mana buktinya?”
“Maaf, bapak gak bisa ngasih bukti sekarang, karena bapak gak ingin anak-anak yang lain tahu. Ini rahasia yang sangat besar! Jangan beritahu teman-temanmu ya.”
“Hahaha...bapak ada-ada aja nih.”
“Beneran lho, kalau malam hari biasanya bapak berubah jadi spiderman untuk menumpas kejahatan, nasehatin anak-anak yang usil pada temannya, dan anak-anak yang malas belajar.” Ujarku meyakinkan.
“Hahaha...”, dia tertawa.
“Baiklah, kalau kamu tak percaya, bapak gak akan maksa. Toh ga ada ruginya buat bapak. Nanti malam bapak akan beraksi lagi menjadi spiderman. Tolong jangan kamu bilang siapa-siapa ya..”
Dari percakapan singkat itu, sebenarnya aku tahu bahwa dia tidaklah sungguh percaya bahwa guuru bahasa Inggrisnya ini adalah seorang spiderman asli seperti di film. Tapi aku sudah mulai menarik perhatiannya. Peristiwa pembocoran ‘rahasiaku’ itu telah menjadi sebuah momentum yang asik. Sejak saat itu, setiap kali aku masuk kelasnya, dia pasti selalu tersenyum penuh arti kepadaku, menghampiriku dan berbisik “Hai bapak spiderman...”. Kemudian aku mendekatkan satu jariku ke bibir sembari berbisik pelan: ”Sssttt... ini rahasia.. yok kita belajar dulu.”
Lama-kelamaan, anak ini semakin fokus mengikuti kelasku, ia jadi semakin antusias dan selalu nurut ketika aku mengajar. Teman-teman guru lain mungkin sempat heran kenapa aku bisa ‘mengondisikan’ anak ini. Bahkan sampai kini, sudah dua tahun berselang. Anakku yang satu ini masih suka sesekali memanggilku bercanda, “Pak spiderman, ntar aku bilangin rahasianya ke teman-teman lho!” Aku berteriak; “Jangaaaaan...bahaya ntar kalo bapak ketahuan”. Hahaha..
Sekarang anak ini telah berubah menjadi salah satu pentolan yang paling bersemangat dan selalu menanti-nantikan mata pelajaran bahasa Inggris yang kuampu. Hanya kepada kawan-kawan yang sedang membaca cerita inilah, aku juga membocorkan rahasia ini. Selain aku, anak itu, dan kawan-kawan, tidak ada yang tahu. Bahkan keluargaku sendiri juga tak pernah tahu. Ini rahasia kita saja. Oke?

Kuaci.
Di sekolah kami ada peraturan reward and punishment. Anak yang bersemangat, berprestasi, atau fokus dalam mencapai sebuah target, akan mendapatkan hadiah. Anak yang lalai akan mendapat punishment seperti membaca istighfar, menyalin surat pendek Al-quran, atau membersihkan sampah. Sedangkan hadiah bisa berupa piala, piagam, buku-buku, alat tulis, hingga traktiran makan.
Nah, reward yang terakhir kusebut itulah yang menjadi sajian favoritku kepada anak-anak. Alih-alih memberikan mereka kue tart atau bolu sebagai hadiah, aku lebih memilih traktiran kuaci. Bukannya pelit, tapi ini awalnya adalah sebuah guyonanku (kawan-kawan tentu sudah tahu kalau aku selalu menyampaikan dengan santai, penuh humor becandaan, dan games menarik) di kelas bersama anak-anak.
“Ayo anak-anak, siapa yang bisa menjawab pertanyaan bapak akan ditraktir makan besaaaaaaaaar!” teriakku.
“Makan dimana pak? Restoran ya? Ayam goreng? Pizza?” seru anak-anak antusias.
“Bukan, bapak akan traktir kalian kuaci.” Ujarku kalem sambil merendahkan volume suara, dan dengan tampang serius meyakinkan.
“Yaaaaaaaah....Cuma kuaciiiiiiiiii.” Sorak anak-anak protes!
“Tenang, tenang...bapak akan traktir kuaci sekarung!”
“Gak mauuuuuuu....gak mauuuuu...hahahahaha” anak-anak tertawa ngakak.
Hampir di setiap kelas bahasa Inggrisku, aku selalu menggunakan trik kuaci ini. Dan benar, aku keesokan harinya membawakan beberapa bungkus kuaci untuk mereka. Meskipun hari sebelumnya mereka protes, tapi toh ketika kusodorkan kuaci, mereka asik makan camilan itu dengan senang, berbagi dengan teman-temannya yang lain, yang belum beruntung mendapatkan reward dariku.
Maka sejak saat itu, aku dikenal pula sebagai ‘ Sang Guru Kuaci’. Dan tanpa kuduga, efek kuaci ini menjadi sangat berperan penting bagiku dalam menarik minat belajar dan semangat anak. Bahkan di akhir tahun ajaran dua tahun lalu, pernah kami mengadakan lomba makan kuaci segala. Karena semua anak di kelas semakin antusias dalam belajar bersama. Aku mendapat sponsor ekslusif dari seorang guru wali kelas yang juga ternyata adalah penggemar kuaci. Sehingga semua dana pengadaan logistik camilan rakyat ini ditanggung sang wali kelas.
Metode ‘kuaci learning’ ini bertahan selama dua tahun aku mengajar. Kendati terhitung hanya beberapa kali saja aku memberikan mereka hadiah kuaci, anak-anak tetap bersorak protes sambil tertawa-tawa ketika aku menawarkan mereka rewardku. Anak-anak satu sekolahan, entah mengapa, menjadi semakin senang belajar denganku hanya dikarenakan satu kata ajaib : ‘Kuaci.’

Rendang Jengkol.
Seingatku, dari semenjak aku mulai tumbuh gigi dan sudah bisa mengunyah nasi, aku sudah menjadi penggemar berat jengkol yang tiada taranya. Padahal aku tak pernah meminta hobi makan ini. Kegemaran akan jengkol sepertinya sudah mengalir dalam darah keturunan nenek moyangku. Dulu ayahku bilang bahwa almarhum kakek juga adalah seorang profesional maniak olahan jengkol.
Suatu hari, ketika ayahku masih kecil, kakekku pernah mengalami penyakit ‘jengkolan’ yang begitu menyiksa. Kakek berteriak-teriak memegang pinggang dan menahan sakit hingga berhari-hari lamanya. Semenjak kejadian itu, almarhumah nenek selalu mengubur jengkol di dalam tanah selama beberapa hari lamanya sampai kecambah jengkol itu bertunas. Setelah itu, jengkol bertunas itu baru diolah menjadi masakan. Konon katanya, cara itu bisa mengurangi zat asam jengkol sehingga si pemakan jengkol terhindar dari ‘jengkolan’.
Pernah juga, ketika ayahku masih berumur sekitar lima-enam tahunan, di tengah malam buta menangis berteriak-teriak meminta jengkol. “Jariaaaaaaaaaaaang! Jariang! Jariaaaaaaang! Nio makan jariang abaaaaaak!” (Jengkoooool...! Jengkol! Kepingin makan jengkooool, ayaaaah). Semua penduduk kampung kecilku jadi gempar. Dulu kakek adalah salah satu tetua kampung yang sekaligus menjadi tabib obat tradisional, hal ini membuat kakekku jadi cukup terkenal. Mendengar anak dari seorang tetua berteriak-teriak membuat keributan aneh begitu, para penduduk bukannya malah marah dan merasa terusik. Mereka lari kian kemari mencari setiap rumah yang sedang memasak menu olahan jengkol. Semua tetangga membantu menenangkan tangisan ayahku. Hingga hampir pagi tiba, barulah tangis ayah mereda karena ada salah seorang penduduk kampung yang datang dengan suka rela membawakan sambal jengkol yang baru saja dimasaknya.
Itulah sedikit cerita bersejarah tentang jengkol dalam silsilah keluargaku. Kalau saja kakek masih hidup, aku ingin sekali bertanya kepada beliau tantang asal-muasal kegemaran jengkol ini.
Lalu apa hubungannya denganku kini yang sedang menjadi guru sekolah? Apa kaitannya dengan anak-anak dan trik mengajarku di kelas?
Begini, dalam pelajaran bahasa Inggris juga ada topik tentang makanan dan minuman. Di buku peganganku berisi contoh makanan asing dan luar negeri semua. Anak-anakku sudah hapal betul apa itu fried chicken, pizza, sushi, fondue, dumpling, tacos, curry, spaghetti dan sebagainya. Sekaranglah saatnya aku juga mengenalkan makanan-makanan khas Indonesia.
Semua anak di sekolah tahu aku berasal dari Padang, dan mereka pun tahu salah satu makanan khas Minangkabau adalah rendang. Tapi mereka belum tahu bahwa ada olahan rendang jengkol. Nah, dalam sela-sela pelajaran tentang makanan itu aku menyelipkan cerita lucu tentang kisah kakek dan ayahku seperti yang kawan-kawan baca barusan.
Cerita diatas aku bumbui dengan mimik lucu, intonasi turun-naik, gerak tubuh yang liat, volume suara yang tinggi-rendah, sehingga menarik bagi anak-anak. (Aku bersyukur dulu di kampus pernah sedikit belajar tentang teater dan keaktoran. Ilmu ini ternyata sangat berguna sekali ketika menjadi seorang guru SD). Tak satupun dari mereka yang tidak memperhatikan. Mereka semua larut dalam ceritaku. Mereka turut tersenyum, terkaget-kaget, berceloteh bersahut-sahutan, melongo, hingga tertawa-tawa ngakak bersama. Kelaspun menjadi riuh. Gaduh. Tapi, inilah sebuah kegaduhan yang sudah aku skenariokan sebelumnya.
Dengan cara menarik perhatian anak-anak didik ketika mengajar, membuat mereka selalu penasaran dan ketagihan dengan cerita-ceritaku, aku pun jadi sangat diuntungkan. Bercerita kepada mereka tentang banyak hal unik dan seru terkait materi pelajaran, akan memudahkan prosesku ketika mentransfer ilmu kepada mereka. Dan aku jadi tidak bisa berbohong, mengajar di kelas kini menjadi sangat menyenangkan buatku. Membuatku mencandu.
****************
Inilah sedikit ceritaku tentang cara-cara dan trik unik karanganku sendiri selama mengajar. Aku memang belum pernah mempelajari ilmu keguruan dalam pendidikan formal sebelumnya. Makanya aku harus selalu terus belajar, salah satunya melanjutkan sekolahku dalam bidang ilmu pendidikan. Kini aku sudah akan memasuki semester ketiga di kampusku yang baru. Semoga ilmu-ilmu yang kuperoleh, dari manapun itu, dapat kuabdikan kepada semua anak-anak didikku dimanapun mereka berada.
Aku sering bilang kepada diriku sendiri bahwa, kunci menjadi guru yang menyenangkan itu cuma satu: “Senangkanlah hati anak-anak didikmu! Buat mereka bahagia dengan keberadaanmu. Dengan begitu proses belajar akan berjalan dengan sangat mengasikkan. Bahkan lebih asik dari yang pernah engkau duga dan kau rasakan sebelum-sebelumnya!” Oiya, jangan lupa sering-sering baca buku.

Semoga bermanfaat, kawan-kawan. Sampai jumpa dalam cerita-cerita sekolahku berikutnya.
Merdeka!!!

Fauzan Fadri
17 Agustus 2014
Pukul 13:11 WIB

AKU TELAH BERHUTANG BESAR..!!!

AKU TELAH BERHUTANG BESAR..!!!

Empat tahun yang lalu, kapal kami merapat di pelabuhan Sikakap, Kepulauan Mentawai, setelah hampir empat belas jam terombang ambing gelombang. Di pinggir pelabuhan, ada seorang Ibu tua tanpa suami mengajakku ikut serta ke gubuknya. Ibu itu memintaku untuk memoto setiap sudut pekarangan dan gubuk yang hampir roboh itu. Berikut foto diri dan anak laki-laki kecilnya.

Ibu itu mungkin menganggap kami adalah anggota relawan atau wartawan internasional lainnya yang akan menyalurkan dana bantuan untuk memperbaiki gubuknya dengan bantuan link yang kami punyai, mempublishnya ke media

Namun sayang, kami hanyalah sekumpulan kecil 'mahasiswa nekat' yang akan melakukan kegiatan 'trauma healing' pasca gempa dan tsunami yang telah menimpa kepulauan indah itu beberapa minggu sebelumnya. Kenapa kami dibilang nekat, waktu itu Sumbar mendapatkan isu tsunami dan gelombang susulan, masyarakat yang tinggal di kota Padang dan pesisir pantai mengungsi kedaratan yang lebih tinggi, termasuk ke kampus kami Universitas Andalas yang berada di kawasan perbukitan. Keberanian kami timbul karena dukungan dan doa dari orang tua dan dosen, meskipun kami dilepas oleh sedikit linangan air mata.

Saat turun menjadi relawan, kami tak membawa uang tunai sama sekali. Yang kami bawa hanyalah sedikit beras, daging sapi dan kambing yang sudah kami masak menjadi irisan dendeng kering dan rendang (bantuan dana hewan kurban dari Muslim Inggris melalui lembaga IHSAN – International Humanitarian Social Aid Network), beberapa mainan anak, dan ukulele kesayanganku yang biasanya kugunakan sebagai alat musik bantu dalam mendongeng. Memang tujuan utama kami adalah untuk menghibur anak-anak korban.

Aku tak kuasa menjelaskan siapa sebenarnya kami, aku malah menuruti permintaan Ibu itu. Dan anaknya, terlihat suka sekali dengan ukulele yang ku bawa itu. Si anak kecil bahkan meminta ukulele tersebut, namun dengan halus aku menolaknya karena ukulele tersebut begitu berarti buatku, selalu menemaniku ketika sendiri, mengamen bersama kawan-kawan di kampus, atau berdongeng.

Salah satu kejadian kecil yang sampai kini pun tak pernah aku lupakan sama sekali: aku telah tak dapat memenuhi permintaan si Ibu tua dan anaknya, untuk memperbaiki gubuknya dan memberikan ukulele ku. Aku telah berhutang kepada mereka. Dan kini ukulele itu masih tergantung setia di dinding kamarku. Menjadi saksi bisu.

Sebuah peristiwa seolah 'perjalanan spiritual' yang terus membuatku terlecut untuk berusaha lebih mengabdikan diri kepada bangsa ini. Membaktikan jiwa raga kepada anak-anak negeri dan dunia pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah, yang dapat mengangkat mereka dan kita semua dari jurang kemelaratan.

Ya, aku telah berhutang besar sekali kepada Si Ibu dan anak lelakinya, kepada bangsa ini. Hutang ini harus terbayarkan, hari ini dan nanti-nanti. Tanpa terasa sudah empat tahun berlalu. Kini aku menjadi guru di sebuah SDIT di kota Depok. Aku jauh-jauh merantau ke sini dengan sebuah alasan: belajar untuk menjadi guru sebenarnya dan mendalami dunia pendidikan.
Di sekolahku pun kini aku menjadi salah satu guru pendongeng rutin ketika ada acara-acara sekolah, pesantren ramadhan, dan kegiatan-kegiatan pengajian warga sekitar. Meskipun aku kini belumlah menjadi pendongeng profesional, namun aku yakin sekali, salah satu hobiku ini sudah menjadi candu bagiku. Betapa tidak, keriuhan kanak-kanak, gelak tawa riang dan canda mereka ketika menyaksikan dongeng adalah obat bagiku. Menjadi penyemangat dan pengingat janjiku empat tahun yang lalu.
Orang boleh menjadi apa saja, boleh memilih pekerjaan baik apa saja yang menyenangkan menurut mereka. Namun bagiku, menjadi guru yang pendongeng adalah sebuah jalan dan proses membahagiakan menuju impian terbesarku: memiliki sekolah gratis untuk anak-anak di salah satu pelosok Indonesia. Aamiin.. Kawan-kawan pembaca, mohon bantu doakan aku juga ya.. Salam damai. Salam sahabat kanak..

Fauzan F.    (21 Juli 2014)
(Guru bahasa Inggris di SDIT Darojaatul Uluum, Meruyung, Limo, Kota Depok)
(Mahasiswa Pasca Sarjana Pend. Bhs. Inggris, UNINDRA, Jakarta)