Kamis, 03 Juli 2014

Sekolah Senyaman Rumah

Di waktu libur begini aku jadi punya banyak kesempatan untuk santai. Kegiatan bersantai yang paling kugemari selain menonton film atau membaca buku adalah merenung. Ya, merenung ketika waktu luang. Kepingan-kepingan peristiwa lampau datang berkelabat kembali ke dalam ingatanku. Aku suka sekali membentur-benturkan pengalaman di masa lalu dengan atmosfer dan kejadian apa yang kualami sekarang, sehingga nanti akhirnya aku menemukan sebuah benang merah.

Misalnya sore ini, aku teringat masa sekolahku dulu. Aku terenung tentang betapa nyaman dan bebasnya perasaanku ketika masih menjadi murid sekolah menegah atas. Sekolah lama yang sudah kuanggap rumahku sendiri. Datang pagi, pulang paling sore. Selain belajar, selalu ada saja kegiatan lain yang kulakukan di sekolah bersama teman-teman: belajar ngeband, berlatih break dance sampai keseleo, atau sekedar nongkrong. Kalau tak sempat mandi pagi, aku akan mandi di toilet sekolah ketika bel istirahat. Ketika sedikit telat, aku akan meminta kunci pagar belakang kepada penjaga sekolah yang keluarganya sudah kukenal baik, sehingga aku terbebas dari hukuman kepsek. Ketika lapar dan tak punya uang jajan, bukan masalah bagiku, aku juga kenal dekat dengan si mbak penjaga kantin, atau si nenek penjual lontong sayur di pinggir jalan seberang sekolah, aku diperbolehkan ngutang di sana.

Sekilas, cerita-ceritaku dulu diatas terlihat biasa saja atau malah mungkin tampak agak bandel khas anak remaja. Namun bagiku di posisi yang pernah menjadi seorang murid, dengan pengalaman macam itu, aku jadi memiliki kedekatan emosional yang intim dengan sekolahku dan orang-orang di sekitarnya. Termasuk para guru, penjaga kantin, penjaga sekolah, dan warga sekitar lingkungan sekolah. Sampai sekarang pun, setelah sepuluh tahun berlalu, aku masih tak lupa bagaimana wajah dan karakter mereka.

Mungkin inilah yang tidak dirasakan oleh teman-temanku yang lain, yang terlalu teratur hidupnya, yang ke sekolah hanya untuk belajar, pergi pagi pulang siang, sorenya les ini itu. Mereka kelak memang bisa melanjutkan ke sekolah tinggi paling favorit, bekerja di tempat bonafid, atau menjadi pegawai negri beberapa departemen. Ya, setidaknya itulah yang menjadi barometer keberhasilan sebagian besar orang-orang kita. Anggapan itu tak sepenuhnya salah.

Kembali ke dunia kampus, kebiasaanku dulu di sekolah bukannya berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Aku sering sekali tidur di kampus. Berkegiatan ini itu, organisasi ini itu, adalah anugrah yang paling indah yang pernah kurasakan selama pernah menjadi mahasiswa. Aku sering menyindir dalam hati tentang betapa kawan-kawan mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) telah menyia-nyiakan sebuah kebahagiaan hakiki dalam menjadi seorang mahasiswa. Uniknya, kawan-kawan tipikal kupu-kupu itulah yang lagi-lagi diklaim berhasil setelah mereka menamatkan kuliahnya. Bekerja di perusahaan swasta nasional atau asing, mereka pun jadi terlihat keren secara penampilan. Aih, sebenarnya standar keberhasilan seseorang itu apa sih? Dulu aku belum paham benar. Kini, aku baru bisa mengerti dan sadar bahwa setiap orang punya pilihan dan standar kebahagiaannya masing-masing. Di sisi lain, standar kebahagiaan dan kepuasan pencapaian hidup kita, tak bisa kita paksakan pula ke orang lain.

Dan sekolah atau kampus bagiku selalu sama saja. Sama-sama tempat untuk belajar, sama-sama sebuah ‘sekolah’secara harfiah. Yang satu sekolah rendah, yang satunya sekolah tinggi. Sekolah yang seperti kubilang dari awal tadi, bukanlah hanya seonggok bangunan mati. Melainkan menjadi sebuah instalasi empat dimensi yang berisikan kolase romansa kecintaan akan proses belajar dan berkehidupan.

Sekolah harusnya menjadi tempat paling nyaman dimana kita telah, sedang, dan akan terus belajar. Tempat kita berteduh, bersantai, bercanda, dan menikmati setiap detik berada di dalamnya. Kini, tangan nasib sedang menuntunku menjadi seorang guru di sebuah sekolah. Sebagai guru, aku tetap ingin menganggap sekolahku yang sekarang adalah rumahku juga, seperti dulu aku pernah menjadi murid di dalamnya. Sebagai seorang guru pula, aku harus bisa menmbuat bangunan sekolah ini beserta diriku sendiri, menjadi rumah yang nyaman bagi murid-muridku.

Aku harus menciptakan sebuah sekolah yang ramah, yang menyamankan perasaan dan pikiran murid-muridku, yang memberikan keleluasaan kepada mereka untuk menggali dan menemukan potensi diri, dan kebahagiaan mereka. Persis sama seperti yang pernah kualami dulu dan sekarang. Mereka akan ikut merasakan indahnya masa-masa bersekolah. Tentang betapa nikmatnya berada di sekolah yang senyaman rumah. InsyaAllah.

Inilah renungan di waktu santaiku sore ini. 


Fauzan Fadri
03 Juli 2014
17:13 WIB