Sabtu, 18 Januari 2014

Setahun Menjadi Guru dan Kisah-kisah Kecil di Sekolah

Aku tak pernah menyangka akan jadi guru. Yang aku tahu hanyalah bahwa aku senang dengan anak-anak. Ketika bersama mereka, aku bebas menjadi diriku sendiri. Dan menjadi guru kuanggap adalah sebuah pekerjaan yang (semestinya) dilandasi dari panggilan jiwa. Panggilan yang berasal dari dalam diri sendiri. Bukan karena disuruh-suruh teman, bukan karena disarankan orang tua, bukan dari faktor-faktor luar diri.

Disini aku mengaku. Ternyata menjadi guru itu memang tidaklah mudah. Selain alasan bahwa di negeri kita yang kaya raya ini (walaupun negara banyak masalah dan korupsi, namun bila setidaknya kita sudah jenjang strata 1, mencari kerja tidaklah sulit, asalkan mau berusaha), menjadi guru tetaplah bukan pilihan profesi terfavorit. Belum menjadi sebuah pekerjaan yang dianggap elit.

Namun nyatanya pilihanku kini bermuara menjadi guru. Seperti ada sebuah medan magnet yang teramat kuat menarikku untuk memilih ini. Oh ternyata, kehadiran anak-anak di sekolah itu sendirilah yang menjadi magnetnya. Aku senang belajar bersama anak-anak.

Kawanku, aku memulai profesi ini dari nol. Aku bahkan tidak tahu dulu apa definisi kurikulum. Maka jangan ditanya lagi soal tanggung jawab administratif seperti membuat lesson plan, KKM, program semester, program tahunan, RPP dan silabus. Persamaan hitung sederhana dalam mengakumulasi nilai raport pun aku tak tahu. Miris sekali ya, kawan.

Suatu anomali kenapa aku dapat diterima mengajar di sekolah dasar kami kini. Sebuah keanehan ajaib yang membuat aku bersyukur. Kenapa aku bersyukur, salah satu alasannya adalah kisah-kisah kecil yang akan aku ceritakan kepada kawan.

Seperti yang kubilang tadi, aku memulai profesi ini dari kekurangtahuan. Dulu aku selalu cemburu dengan teman-teman yang sempat kuliah keguruan. Setidaknya mereka sudah tahu teori-teori mengajar dan segala kewajiban administrasi yang perlu dilakukan guru. Karena inilah aku sempat minder. Merasa paling bodoh. 

Namun, guru-guru di sekolahku sangatlah mengerti dan mendukung, memberikan semangat. Sungguh hidup atmosfer pergaulan para guru di sekolah. Kalaupun aku sering melakukan kesalahan-kesalahan kecil, selalu dimaklumi dan dimaafkan. Itulah yang membuatku termotivasi untuk belajar. Posisiku jadi tak ada bedanya dengan murid, sama-sama belajar di sekolah dasar itu. Layaknya seorang bayi yang mulai belajar berjalan, di sekolah kami akupun memulainya dengan merangkak, tertatih-tatih diawal, jatuh kemudian bangkit lagi untuk mulai berlari.

Bulan-bulan awal di sekolah, adalah masa adaptasi yang berat. Dengan aksen dan dialek khas Padang yang aku miliki, aku kesulitan untuk berbicara di depan murid-murid dan guru lain. Namun rasa humor para guru di sekolah dan kesenanganku ketika bertemu anak-anak, telah menjadi penyemangatku.

Tahun lalu aku ditempatkan sebagai guru pendamping/wali kelas tiga. Setiap kelas disekolah kami punya dua orang wali kelas sekaligus. Partnerku itu Miss Meri namanya. Dengannya aku belajar banyak sekali. Syukurlah aku mendapatkan chemical connection yang solid dengannya. Miss Meri sangat pengertian dan tahu benar kalau aku masih perlu dibimbing.

Kini, aku mendampingi Miss Astri di kelas 5. Orangnya penyabar sekali. Anak-anak kami di kelas 5 hampir semuanya aktif, kritis dan punya rasa keingintahuan yang tinggi. Tentu dibutuhkan kesabaran seorang guru seperti Miss Astri dalam mendidik anak-anak. Ia lulusan kampus nomor satu di Indonesia. Di sisi lain, aku mengambil peran lain di kelas: sebagai pencerita. Dengan bercerita, aku berusaha memuaskan rasa haus anak-anak akan pengetahuan baru dan membagi kisah-kisah kecil yang kualami terkait dengan empati kepada sekitar, terhadap masyarakat akar rumput. Kuharap, selain mendapatkan ilmu akademis, aku dapat menyentuh hati mereka untuk memiliki rasa empati dan kepedulian terhadap sesama. Ya, anak-anak di sekolahku rata-rata berasal dari keluarga berada yang mungkin sedikit sekali dapat bersinggungan dengan peristiwa kecil di sekitar.

Lewat cerita-cerita yang kusampaikan itu, sedikit banyak kuharap akan memberikan sedikit warna berbeda. Tahun lalu aku pernah memperkenalkan sosok Helen Keller kepada anak-anak kelas 3. Menceritakan kisahnya, memutarkan film Miracle Worker kepada mereka, menganalisis bersama, dan menyemangati mereka agar terus semangat belajar. Salah satu siswiku, Nadhir, bahkan sempat menangis haru karena ingat adiknya yang memiliki keterbatasan fisik. Hari itu, Nadhir berjanji untuk selalu menyayangi adiknya dan bersyukur karena adiknya sangat cerdas. Anak-anak yang lain pun antusias sekali. Sampai-sampai kelas-kelas lain pun penasaran untuk diceritakan juga. Hingga akhirnya satu sekolah tahu siapa itu Hellen Keller dan mereka terinspirasi karenanya.

Pernah juga aku memutarkan sebuah video yang kuambil di youtube. Tentang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang buta. Sang Ibu memberikan kedua matanya untuk si anak. Setelah Si Anak dewasa ia malah tak mengakui ibunya sendiri. Si Anak akhirnya tahu ibunya yang kini telah buta itulah yang memberikan matanya. Tapi semua terlambat, Sang Ibu sudah menemui ajalnya. Ketika itu kami satu kelas menangis terisak. Anak-anak dikelasku memanggil-manggil ibunya dalam rasa haru. Hal ini pun diketahui kelas-kelas lain, sehingga semua anak di sekolah juga ikut menangis karena menyaksikan video itu. Dalam hati aku berharap, semoga ini cara yang bisa menyentuh hati anak-anak agar lebih menghargai orang tua mereka khususnya ibu.

Disamping dua kisah dramatis diatas, tentu ada juga kisah-kisah kecil yang mengimbas balik kepadaku sendiri sebagai guru. Misalnya ketika jam istirahat, aku lebih senang berbaur bersama anak-anak. Duduk dan bertukar cerita dengan mereka sambil makan. Waktu itu aku bercerita seru bersama Bulan dan Bintang serta teman-teman lain di kelas 4. Bulan dan Bintang adalah dua anak kembar. Mereka sungguh cerdas. Wajar saja karena ibu mereka adalah pemerhati anak dan mantan konselor psikologi perkembangan anak. Tak tahu kenapa, eh keesokan paginya aku dipanggil Bulan: “Ustad fauzan, ayo sini. Ada sesuatu dari ibu buat ustad!” Aku dibikinkan bekal nasi uduk spesial ekstra sambal pedas khusus untukku dari ibunya Bulan Bintang. Aku senang sekali, karena aku tak pernah memintanya. Hari itu aku makan dengan lahap bersama anak-anak. Persis di tanggal tua ketika kantong sudah menipis. Hehe..

Cerita lainnya, segerombolan anak-anak kelas satu suka sekali menghampiriku sambil bertanya: “Tad, mana Koko? Dudu mana?” Koko dan Dudu adalah tokoh boneka dongeng yang aku perankan ketika bulan puasa kemarin. Mereka selalu bertanya padaku kapan akan mendongeng lagi untuk mereka. Walaupun aku tak mengajar di kelas 1, namun hal ini menciptakan kedekatan tersendiri diantara kami. Anak-anak kelas 1 itu hobi mengajakku makan bersama mereka ketika istirahat. Sambil makan biasanya aku menceritakan kisah lucu yang kukarang sendiri atau memberikan mereka tebak-tebakan. Mungkin karena itulah mereka suka.

Repotnya adalah ketika kelompok-kelompok anak berbeda kelas secara bersamaan mengajakku makan bersama. Aku bingung memilih di kelompok kelas berapa aku akan bergabung. Kadang-kadang aku mengunjungi kelompok mereka bergiliran. Atau membuat kelompok baru beriksikan anak-anak lintas kelas. Menurutku hal itu baik, karena akan semakin mengakrabkan anak-anak bersama kakak-kakak dan adik-adik kelasnya.

Ada juga satu anak di kelasku yang kerjanya tiap hari selalu curhat denganku. Ia menceritakan masalah-masalah pribadinya yang menurutnya rahasia besar. Walaupun menurutku itu hanyalah masalah kecil yang biasa dialami anak-anak seusianya, namun aku dengan antusias dan rasa penasaran yang tak dibuat-buat selalu suka mendengarnya bercerita. Karena bagiku bercerita adalah terapi yang bagus ketika seseorang ketika menghadapi masalah. Di situ aku mencoba bantu mencarikan solusi-solusi yang kadang lucu untuknya. Ketika kutanya apakah ia pernah menceritakan curhatnya itu kepada orang tuanya, ia hanya menjawab: “Orang tuaku sibuk tad, aku sering sendirian dirumah!” Aku rasa, disinilah aku mengambil sedikit peran sebagai pengganti sementara orang tuanya ketika si anak berada di sekolah.

*****

Begitulah kawan-kawan, beberapa fragmen dari kisah-kisahku bersama anak-anak di sekolah. Setiap harinya selalu ada cerita baru yang menarik dan dapat kuambil pelajaran berharga. Alasan yang membuat aku merasa senang, bersyukur, dan termotivasi untuk menggali ilmu lebih dalam.



Fauzan Fadri

01 September 2013

Pukul 15:47 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar