Foto di bawah adalah sebuah peristiwa langka yang baru pertama kali aku saksikan di sekolah kami. Kejadiannya tadi siang, fresh from the oven, setelah kegiatan pramuka mingguan. Kawan dapat jelas melihat seorang anak bongsor (kok bersarung?), sedang menggendong temannya si mata besar dengan gigi kelinci. Mereka berdua terlihat riang. Makanya momen langka ini patut kuabadikan.
Sebagai guru yang ‘baik’ tentu saja aku akan mencegah dan melarang peristiwa yang cukup berbahaya ini. Bagaimana kalau si gigi kelinci jatuh, kakinya keseleo. Atau bagaimana kalau pegangan tangan si bongsor terlepas dan badannya tertimpa. Kedua anak dapat saja terluka, masuk rumah sakit, aku ditegur keras, terjadi hal yang tak kuinginkan, dan bla..bla..bla.
Namun naluriku mengatakan lain. Aku justru tersenyum mendekati mereka. Sambil berjaga-jaga didekat mereka kalau seandainya jatuh, aku mengeluarkan handphone dan malah memotretnya. Untuk ini aku punya alasan, kawan. Bukankah sudah kukatakan ini adalah sebuah peristiwa langka dari awal mula aku bercerita? Kedua anak di foto ini punya ‘sejarah’. Makanya aku merasa harus menceritakan latar belakang, peristiwa, siapa, serta bagaimana sebenarnya kedua anak ajaib ini. Setelah itu kawan kubolehkan menilai sendiri apakah tindakanku membiarkan mereka itu salah atau tidak.
Anak bongsor bersarung itu Carel. Si gigi kelinci adalah Upi. Pada kesempatan ini, ‘keajaiban’ mereka berdualah yang akan kuceritakan kepada kawan-kawan.
Carel. Melihatnya aku ingat seorang teman SDku dulu. Postur tubuhnya kurang lebih sama. Dalam hukum tak tertulis di dunia persilatan sekolah dasar, siapa yang berpostur paling besar adalah jagoan. Lakon bintang utama. Seorang bos yang punya banyak pengikutnya. Dulu aku takut sekali dengan temanku itu. Jagoan itu. Maka begitu pulalah tampaknya pada diri Carel, khususnya ketika ia masih di kelas 3, setahun lalu ketika aku mengampu mapel bahasa Inggris dikelasnya.
Walaupun sedikit usil pada temannya, namun aku masih melihat kelucuan dan kepolosan khas anak-anak pada diri Carel. Aku mendapat celah untuk mendekatkan diri padanya dengan cara sering mengajaknya bercerita dan mencandainya ketika jam-jam istirahat. Itulah dua ‘metode’ yang kulakukan secara naluriah ketika aku butuh mendekatkan hati kepada anak-anak. Alhamdulillah cara ini hampir selalu 80% ampuh. Makanya aku tak pernah melabel Carel atau siapapun adalah anak yang nakal.
Asal kawan tahu, Carel ini anaknya dermawan sungguh. Juga setia kawan. Ia akan bersedia membagi bekal makan siangnya kepada teman-temannya. Kadang mentraktir jajan. Tak sekali dua aku melihat ia membela kawannya yang sedang bertengkar memperebutkan mainan atau apa. Namun seperti yang kudeskripsikan sebelum ini, Carel tetaplah seorang pentolan. Dulu di kelas 3A.
Anak kedua, Upi. Aku adalah wali kelasnya di 3B tahun lalu. Walaupun kurus, ia juga menjadi salah satu pentolan kelasku. Upi suka sekali mencuri perhatian setiap guru yang mengajar dikelas (termasuk aku) dengan celetukan-celetukan lucu. Hal tersebut hampir selalu membuat gelak tawa seisi kelas. Ia menjadi penyulut bagi banyak celetukan lain dari teman-temannya sehingga kelas menjadi sungguh riuh. Kadang (masih ketika proses belajar), ia santai saja berjalan ke depan kelas, berjoget-joget, teriak, tertawa, menyikapi materi pelajaran dan peristiwa penceritaanku.
Namun dibalik itu semua, Upi adalah anak paling cerdas dan luas wawasan yang pernah kutemukan di angkatannya. Ia adalah ‘ensiklopedia berjalan’. Tak heran, ketika aku berkunjung kerumahnya dalam kegiatan home visit, aku menemukan banyak sekali buku pengetahuan anak dirumahnya. Ketika umurnya belum genap sembilan tahun waktu itu, ia sudah tahu dan bisa menjelaskan siapa itu Galileo Galilei, Marie Curie, Cleopatra, hingga Tuthankamun. Di kelas pun, ia punya beberapa buku yang diambilnya dari perpustakaan sekolah, disimpan dalam kolong mejanya. Ketika aku lengah sedikit, ia sering kali kulihat mencuri baca buku-buku itu. Aku menegurnya. Bertanya tentang materi yang sedang kusampaikan. Berharap syukur-syukur Upi melewatinya dan gagal menjawabnya. Tapi yang terjadi, ia justru berhasil menjawab dengan detail pertanyaan-pertanyaanku itu. Ajaib benar anak ini. Ingin rasanya ia kusimpan dan kubawa pulang. Hahaha..
Itulah Carel dan Upi setahun lalu. Carel anak 3A. Upi di 3B. Kedua kelas ini dulu sering sekali bersaing. Saling tak mau kalah dalam pelajaran, permainan, dan perlombaan. Carel dan Upi juga sering menjadi pencetus ‘perdebatan’ khas anak-anak.
Kini mereka berdua dipertemukan dalam satu kelas di 4B. Aku masih tetap mengampu mapel bahasa Inggris dikelas mereka. Uniknya, ada yang berubah dalam diri kedua anak ini. Carel kini lebih cenderung kalem dibanding saat di kelas 3. Ia kini tak lagi punya banyak pengikut, melainkan teman-teman baik. Ia kini lebih fun dan semakin antusias dalam pelajaranku.
Upi yang masih lucu dan cerdas seperti dulu pun kini juga sedikit berubah. Ia hampir tak pernah lagi kulihat mengolok-olok temannya. Dua anak ajaib, Carel dan Upi, yang dulu adalah pesaing bebuyutan, kini menjadi sahabat akrab. Mereka berdua yang dahulu mengisi top list-ku sebagai anak-anak yang harus kutaklukkan hatinya itu, kini sudah mulai berubah.
Setahun lalu aku perlu menguras otak setiap kali sebelum memasuki kelas mereka, mencari cara bagaimana anak-anak ajaib seperti Carel dan Upi tetap merasa fun dalam mata pelajaran-mata pelajaranku. Syukurlah kini setelah sedikit banyaknya lebih tahu bagaimana karakter dan gaya belajar mereka, aku selalu merasa kangen berjumpa mereka berdua dalam pelajaran bahasa Inggris yang hanya dua kali seminggu itu.
Dari kisah ini, aku melihat bahwa anak-anak, betapapun tingkah dan keusilannya, adalah pribadi-pribadi yang selalu dinamis, berkembang dan belajar, tidak menyimpan dendam, tulus persahabatan, dan yang terpenting selalu menjadi ceria secara alamiah. Dari murid-muridku sendiri aku juga belajar. Dan kepada siapapun aku belajar, maka ia kuanggap pahlawan. Foto mereka di bawah ini akan bercerita jutaan kata melebihi kedalaman makna dari kisah singkatku kali ini. Ya! Carel dan Upi adalah pahlawanku. Another two heroes at my school.
NB:
Kenapa Carel bersarung? Jawabannya: saking lincahnya dia bermain di sekolah, celananya sampai robek. Hingga salah satu guru meminjaminya sarung untuk dipakai. Kata guru itu tadi siang sambil tertawa kepadaku: “Pak Fauzan lihat itu Carel, lucu sekali dia! Ayo abadikan!”
“Tenang bu, sebelum ibu bilang, aku sudah memotret Carel dan Upi tadi.” Ujarku tertawa balik.
Bahkan tak hanya itu, dengan senang hati aku bahkan menuliskan kisah mereka malam ini.
Fauzan Fadri
10 September 2013
Pukul 21:01 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar