Note kali ini akan mengisahkan tentang kegiatan saya selama berada di sekolah dalam dua minggu belakangan. Berhubung waktu saat memulai menulis ini telah menunjukkan pukul 00:35, ketika dimana biasanya saya telah kehabisan ide dalam menjelajahi dunia maya, belum mengantuk, tak ada kegiatan lain, ditambah dengan suara live band di sekitar kontrakan yang menendangkan lagu-lagu reggae yang menghentak. Maka alangkah baiknya saya menulis saja ketimbang bingung di kamar sendirian. Mumpung pikiran masih semangat dan ide-ide berloncatan dalam benak, kendati tubuh terasa penat. Mari bercerita tentang peristiwa-peristiwa sederhana ketika saya bersekolah:
Tragedi Angkot Jurusan D-03
Beberapa hari lalu ada sebuah peristiwa yang sangat jarang terjadi di kota ini. Sembilan trayek angkot yang melewati terminal depok, salah satunya angkutan kota jurusan D-03 ke Parung Bingung, kompak berdemonstrasi dan mogok. Hal ini dikarenakan karena ribuan angkot tersebut tak lagi diperbolehkan melewati terminal, agar jalan protokol Margonda Raya tidak lagi macet pada jam-jam sibuk. Alhasil ketika hendak pulang dari sekolah, saya menjadi panik seketika karena rute yang ditempuh menuju kontrakan masih teramat jauh. Sayapun membeli pulsa dan menelpon salah seorang teman yang tinggal di kawasan Kober untuk menjemput. Syukurlah, walaupun telah berdiri menunggu di pinggir jalan selama hampir dua jam teman saya pun hadir menjemput. Ia menjadi semacam oase di gurun gersang.
Pada dasarnya saya tak gampang panik dalam situasi begini, namun kali ini nyata berbeda dikarenakan uang yang ada dalam kantong celana cuma tinggal lima ribu rupiah. Sementara bila naik ojeg akan mengeluarkan biaya 25 ribu rupiah, itu pun hanya sampai terminal depok. Saya musti naik angkot sekali lagi menuju Pondok Cina tempat dimana kontrakan saya bercokol. Alhamdulillah, ada saja alternatif solusi pada saat kita terdesak seolah di hadapan mata tak lagi ada harapan jalan keluar.
Dapatkah Ini Kita Sebut dengan Tausiah?
Kemarin lusa, sebelum rapat pembahasan kurikulum, kami semua para guru wali kelas dan mata pelajaran, memulai pagi dengan membaca Al-Quran secara bergiliran. Sebelumnya Sang Kepala Sekolah meminta saya untuk menyampaikan tausiah inspirasi pagi, selama 10 menit sebelum rapat nanti. “Nanti sampaikan saja hadist-hadist atau ayat untuk memberikan inspirasi ya pak Fauzan”, begitu kata beliau. Ekspresi pertama saya adalah: “Hah?! Waduh, saya gak bisa pak, saya belum hafal hadist dan ayat”, saya kaget dengan ekspresi mulut menganga. “Yaudah, ntar pak Fauzan sampaikan cerita yang bisa menginspirasi aja”, begitu tukas beliau. “Baiklah pak”, saya senyum kecut, namun tetap menerima tantangan ini.
Dan kamipun mengaji bergiliran. Sembari menyimak bacaan para ustadz, saya berpikir keras mencari ide apa yang akan saya sampaikan untuk tausiah nanti. Pas pada saat giliran saya mengaji, seperti yang pernah saya ceritakan pada note sebelumnya, sayalah yang paling ‘kurang pandai’ mengaji. Bacaan saya seringkali dibetulkan oleh para rekan guru yang lain, namun saya terus saja mengaji sebisa saya, karena saya penasaran sekali sekaligus kagum dengan bacaan Al-Quran rekan guru lain, seolah mendengarkan seorang Qori mengaji.
Akhirnya sampailah pada giliran acara berikutnya: saatnya tausiah. Testimoni pertama saya adalah: “Kepada para guru, mohon jangan malu berteman dengan saya karena sayalah yang paling ‘kurang pandai’ mengaji.” Berikutnya saya kembali menceritakan saja pengalaman kenapa saya berada di sekolah yang luar biasa menarik ini. Saya utarakan alasan saya merantau berdasarkan prinsip analogi bahwa air yang mengalir lebih baik daripada air yang diam tergenang. Juga penjelasan mengenai analogi: ikan kecil di samudera yang luas, lebih baik ketimbang ikan besar di kolam kecil. Dua faktor inilah yang membuat saya senang dengan pilihan merantau.
Dengan merantau, saya bisa belajar ilmu yang sama sekali baru, bertemu dengan orang-orang baru yang inspiratif, berada di sekolah yang menarik, belajar menjadi guru kendati latar belakang pendidikan saya bukanlah untuk menjadi guru, dan tentu saja pada akhirnya pengalaman-pengalaman ini akan menjadi mozaik-mozaik kecil yang nantinya akan saya rangkai menuju impian saya. Sebuah modal yang tak ternilai harganya untuk bekal saya menjadi ‘seseorang’ nantinya. Karena pada dasarnya, saat kita semakin tau banyak hal, maka kita akan semakin haus akan ilmu, sebab diatas langit pasti ada langit. Proses belajar tak akan pernah putus dan habis-habisnya.
Syukurlah, apa yang saya sampaikan dalam tausiah barusan mendapat sambutan yang cukup antusias dari rekan guru yang lain. Bahkan seorang rekan guru memotivasi saya dengan mengatakan: “Saat seseorang mengaji, para malaikat datang menaungi. Dan keutamaan orang yang belajar mengaji ada dua, pertama ketika ia mendapat pahala saat mengaji, kedua adalah pahala saat ia terpatah-patah dalam belajar mengaji dengan benar.”
Kembali Menjadi Siswa Taman Kanak
Hal menarik lainnya selama saya bergabung di sekolah adalah peran serta guru yang sangat dinamis dan dituntut untuk menjadi kreatif. Tugas guru di sekolah kami tak hanya mengajar di kelas. Beberapa peristiwa menyenangkan yang saya alami antara lain: menemani anak-anak kami outbond, sholat dhuha, mengaji bersama, shalat zuhur berjamaah (ini jarang saya lakukan sebelumnya), makan siang bersama, bercanda bersama rekan guru, dsb.
Kali ini saya akan menceritakan sedikit kisah tentang menjadi siswa taman kanak. Apa yang dilakukan siswa taman kanak? Tak lain tak bukan adalah: mengunting kertas, menggambar, bernyanyi dan menghias kelas. Untuk poin terakhir, saya melakukannya bersama Miss Meri, wali kelas 3 B tempat dimana saya menjadi pendamping beliau di kelas.
Inilah yang saya lakukan selama dua hari belakangan. Kegiatan ini sungguh sangat mengasikkan, kreatifitas kami dituntut untuk dapat menciptakan tampilan menarik dalam kelas agar anak-anak merasa nyaman saat belajar. Prinsipnya adalah: kelas adalah ‘kamar tidur’ kedua para murid. Disini saya bersama Miss Meri selalu pulang senja hari, ruangan kelas sempat jadi berantakan oleh sampah potongan kertas warna-warni, lem, gunting, penggaris, pensil, penghapus, benang, plastik kresek, dan spidol. Kami membuat jadwal pelajaran, menempel nama anak di meja belajar dan loker, membuat mading kreasi anak, menempel poster, hiasan bunga dan kupu-kupu, juga membuat sebuah ‘lukisan dinding’ bertemakan pemandangan pantai dari potongan-potongan kertas warna. Lengkap dengan pohon kelapa, pasir pantai, bintang laut, gelombang ombak, matahari senja yang bersinar cerah, burung-burung camar, dan seekor paus berwarna pink!
Setelah semua hasil kreasi kelas kami selesai, rasa puas hati tak dapat lagi tergambarkan. Inilah karya kami, sepasang murid ‘taman kanak-kanak’ yang sudah over age: sang wali kelas dan pendampingnya.
Nasib para ‘Lajang’ di Sekolah
Yang terakhir ini adalah cerita yang cukup menggelikan. Sebagai lelaki berusia 26 tahun, masih lajang, saya selalu jadi bahan guyonan para guru yang notabene 90 persennya telah berumah tangga sejak di usia muda. Hampir setiap hari dalam dua minggu belakangan ini, saya selalu disarankan untuk segera mencari pendamping hidup. Tentu saja saran bijak yang saya terima ini senantiasa diselingi oleh guyonan, karena para guru disini memiliki rasa humor yang cukup tinggi. Adapun saya selalu berkilah bahwa saya menargetkan menikah paling lama saat usia 30 tahun. Dan alasan saya ini tentu saja kembali dimentahkan oleh beliau-beliau yang lucu itu. Hehehe, saya pun akhirnya hanya bisa tersenyum simpul, tak berani berkilah lagi, sembari menundukkan kepala karena malu. Dalam hati saya berdoa, semoga Allah memberikan waktu yang tepat dan indah nantinya bersama seseorang yang kelak menjadi istri seumur hidup saya. Tentu saja saat itu saya akan selalu tetap mengejar impian saya untuk dapat membangun sekolah sendiri nantinya di kampung halaman tercinta. Amin ya Rabbal’alamin..
Fauzan Fadri
Depok, 15 Juli 2012
Pukul 02:30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar