Beberapa minggu lalu, sore hari sepulang sekolah, saya mengunjungi salah satu toko buku terbesar di kota Depok. Tujuan saya ke sana bukanlah untuk berbelanja, karena alokasi dana untuk membeli buku bulan ini telah saya geser ke bulan depan, maklum saya belum gajian.
Saya pun nangkring di stand bazaar buku murah yang terletak di lantai dasar, membaca gratis sembari duduk santai di atas lantai. Ada sebuah buku yang menarik perhatian saya, menceritakan tentang kearifan hidup masyarakat kita tempo dulu yang penuh kesederhanaan dan minim fasilitas, namun tetap merasa Bahagia (dengan ‘B’ besar).
Pada buku tersebut dijelaskanlah alasan mengapa orang jaman dulu jarang sekali menderita penyakit berat dan parah, bersikap jujur apa adanya, bersahaja, saling tolong tanpa pamrih, ikhlas, serta peduli kepada sesama. Hal ini tak lain dikarenakan kehidupan masyarakat kita hari ini yang serba instan dan kecanggihan teknologi yang salah kaprah. Bukankah tak jarang kita dengar sekarang banyak pasangan yang bercerai, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak, tingkat stres dan depresi golongan pekerja produktif, dan lain-lain. Semata disebabkan karena hal ‘sepele’ seperti keruwetan transportasi yang kian sesak, anak-anak yang kecanduan game online dan jejaring sosial, makanan cepat saji, serta tayangan media yang tak mendidik.
Namun, ada satu artikel dalam buku itu yang perlu saya garis bawahi. Disana dijabarkan betapa sosok seorang guru pada jaman dahulu sangat dihargai dan dijadikan panutan. Bukan hanya bagi anak didik, melainkan juga bagi masyarakat sekitar. Guru yang walaupun berpenghasilan kecil dan hidup pas-pasan, sangat berdedikasi tinggi, dihormati, dan menjadi tempat bertanya bagi masyarakat sekitar.
Lalu apa yang terjadi sekarang? Profesi guru tak lagi menempati tempat ‘terhormat’ seperti dulu. Entahlah, saya belum bisa menemukan apa sebenar penyebab pergeseran pemaknaan sosok guru. Irisan yang mungkin dapat kita gariskan terhadap dua variable antara guru tempo dulu dan guru jaman sekarang hanyalah: penghasilan pas-pasan! Padahal hingga sekarang, negara maju seperti Jepang sangatlah menghargai dua profesi: dokter dan guru.
Dan saya adalah seorang (yang sedang belajar menjadi) guru. Bagi saya pribadi, menjadi seorang guru bukanlah sekedar pekerjaan. Melainkan sebuah pilihan dimana hati berperan penting dalam memutuskan apa yang hendak saya lakukan dalam hidup dan menjadi bahagia karenanya. Secara hitung-hitungan akal manusia, menjadi guru tentu saja tak akan bisa meningkatkan perekonomian keluarga, jauh dari kata makmur sebagaimana layaknya para wakil kita di gedung DPR sana. Ya, jauh panggang dari api.
Satu hal yang luput oleh perhatian kita semua adalah campur tangan tuhan dalam hidup kita. Dari seorang sahabat, saya mendapat cerita bahwa orang tuanya hanyalah seorang guru honorer sekolah negeri, namun beliau sanggup menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana. Coba pikir, berapakah honor seorang guru? Mungkin anda akan dengan gampang menyebut nominal satu atau dua juta rupiah per bulan! Wah, anda ternyata terlalu tinggi menerkanya. Gaji beliau hanya lima ratus ribu rupiah per bulan. Ada juga seorang sepupu perempuan saya yang menjadi guru honorer SD, gajinya hanya dua ratus lima puluh ribu rupiah per bulan. Darimanakah mereka memperoleh uang untuk biaya hidup dan makan sehari-hari, kontrakan, biaya listrik ataupun cicilan motor?
Inilah yang saya maksudkan dengan isltilah tangan tuhan. Ada saja rezki yang datang dari pintu-pintu yang tak terduga. Bukankah Allah yang maha mengatur rezki kita. Ketua yayasan sekolah tempat dimana saya akan mengajar pernah mengatakan bahwa bila kita menjadi guru dengan ikhlas, maka berkah tuhan akan senantiasa menghampiri kita. Bukan hanya meteri, namun rasa senang hati dan kebahagiaan. Ketenangan hati dan kesehatan adalah hal yang tak bisa dibeli di dunia ini. Teramat banyak orang menghamburkan harta kekayaannya hanya untuk mendapatkan hiburan, semata untuk menjadikan diri mereka bahagia. Yang tak mereka sadari adalah bahwa kebahagiaan bukan datang dari unsur-unsur eksternal melainkan bersumber dari hati kita sendiri. Bilamana kita merasakan senang dan hati lapang, maka stres dan rasa tertekan akan hilang, penyakit tak kan pernah datang, dan kebahagiaan pun datang menjelang.
Akhirnya, entah ingin menjadi siapa kita, pun seorang guru, tetaplah patut. Tak ada yang salah, tak ada yang melarang. Selama kita bisa berguna bagi sesama dan merasakan kebahagiaan. Ah, saya tiba-tiba teringat dengan sebuah film berjudul Pursuit of Happynessyang diangkat dari kisah nyata kehidupan seorang Chris Gardner berjuang dari nestapa hingga menjadi seorang pialang saham terkaya dunia, namun tetap mencintai anak lelaki kecilnya pada masa sulit saat ia ditinggalkan istrinya karena ia miskin. Di film itu ada kutipan yang menyebutkan bahwa dalam pidato kemerdekaan Amerika sekalipun, seringkali diucapkan berulang-ulang kata “Happiness”. Lihatlah betapa pentingnya sebuah rasa bahagia bagi sebuah pribadi dan bangsa.
Apalagi dengan bangsa (bukan negara, maklum negara kita kini masih dalam proses pencarian kebahagiaan, hehe..) kita yang kaya dengan potensi alam dan jiwa masyarakat yang selalu kritis, optimis, dan penuh semangat.
Marilah menatap ceria ke arah langkah bangsa kita ke depan. Hidup anak-anak Indonesia!
Fauzan Fadri
Rabu, 4 Juli 2012
Pukul 14:11 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar