Sabtu, 18 Januari 2014

Stereotip di Perantauan: Orang Minang Pelit (?)

Halo kawan-kawan, kali ini saya ingin mengangkat tema tentang stereotip. Apakah stereotip itu, seperti apa contohnya, dan bagaimana fakta sebenarnya. Hal-hal tersebut akan saya ulas sedikit di tulisan ini. Bermula dari kunjungan saya ke rumah seorang sahabat di Jakarta ketika liburan lebaran kemarin. Karena kesempatan langka itu, kami ngobrol sampai pagi tentang apa saja hingga akhirnya nyangkut dengan tema menarik ini. Mumpung saya masih ingat detail ceritanya, maka alangkah baiknya saya bikinkan saja reportnya dalam tulisan ini. Dan berhubung masih suasana lebaran, saya haturkan dulu permintaan maaf lahir batin kepada kawan-kawan semua. Selamat membaca.

Menurut Walter Lippmann, stereotip itu adalah picture in our head. Dapat juga diartikan sebagai persepsi yang dianut yang dilekatkan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang dengan gegabah yang mengabaikan keunikan-keunikan individual. Sedangkan menurut KBBI, stereotip adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif.


Sebagai contoh saya ambil dari skripsi saya dulu tentang stereotip perempuan. Disana saya mengutip bahwa perempuan biasanya dianggap lemah, gampang terbujuk, pasif, tidak cerdas, licik, dan lain sebagainya yang menurut Marry Ellmann, itulah anggapan-anggapan negatif yang bersifat subjektif. Anggapan-anggapan negatif diatas sungguh tidak adil karena sifat tersebut juga ditemukan pada diri laki-laki. Namun apa daya, seiring dengan hegemoni sistem patriarki, anggapan itu telah mendarah daging dalam kultur masyarakat dunia secara luas khususnya sebelum era modern. Nah, anggapan-anggapan negatif tadilah yang disebut dengan istilah stereotip.

Contoh lain, misalnya yang terjadi di dunia pasca peristiwa 9/11 di Amerika, atau pasca peledakan bom di hotel J.W. Marriot dan di Jimbaran, Bali yang terjadi beberapa tahun belakangan. Ketika isu ini masih panas, dunia mengecam umat islam sebagai sarang teroris. Para ahli, praktisi, dan aktivis non muslim mengutuk keras. Ini semua karena ketidaktahuan serta ketidakpahaman mereka tentang apa yang sebenarnya diajarkan dalam agama Islam. Mereka hanya mengambil sampel beberapa peristiwa yang sempat menggoncangkan dunia itu sebagai amunisi untuk memojokkan dan mendiskriminasi umat muslim. Islam dianggap agama kekerasan, umatnya adalah pelaku anarkis dan teroris. Itulah stereotip yang dilekatkan kepada semua muslim dunia. Kendati memang pada akhirnya justru karena peristiwa-peristiwa ngeri diatas, yang terjadi malah sebaliknya. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap jumlah umat Islam di Amerika dan Eropa, karena mereka penasaran, mempelajari Islam, dan akhirnya memeluk agama Islam setelah benar-benar paham apa sebenarnya.

Itulah dua perihal yang saya ambil dari wacana umum yang semua kita tentu sudah tahu. Sedikit menggambarkan tentang stereotip tadi. Berikut saya akan menambahkan contoh ketiga. Lebih sederhana. Lekat dengan keseharian kita. Juga karena saya senang dengan hal-hal sederhanalah, makanya saya mengangkat cerita dari obrolan kecil bersama sahabat saya itu. Yakni tentang stereotip orang minang itu pelit. 

Sebelum dan ketika sudah merantau ke pulau Jawa ini, sekali dua saya membaca atau sekedar mendengar celetukan yang mengatakan bahwa para perantau minang itu pelit. Berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin berabad silam, orang Minang telah dikenal sebagai kaum perantau. Mungkin stereotip itu timbul karena memang biasanya para perantau asal Sumatra Barat, khususnya orang Minang mencari peruntungan dengan berdagang, atau mendirikan rumah makan. Dimana kehidupan kota atau daerah perantauan yang keras memaksa mereka mengencangkan ikat pinggang, sehingga pengeluaran sekecil apapun haruslah dipikir matang. Sehingga nantinya mereka berhasil dan sukses di negeri orang. 

Tidak hanya itu, sepertinya merantau sudah dan masih menjadi tradisi. Ada sebuah pantun Minang yang saya baca dulu ketika SD, kalau tak salah berbunyi: Karatau madang diulu/Babuah babungo balun/Marantau bujang dahulu/Dek mamak baguno balun. Dalam pantun ini menyoal betapa pentingnya merantau sebagai salah satu manifestasi dari semangat juang dan pencarian kehidupan yang lebih baik bagi seorang pemuda Minang. Itupun (setelah merantau) belum tentu dapat ‘berguna’ bagi Mamak. Sosok mamak di sini menurut saya adalah metafora dari kampung halaman dan sosial masyarakat kampung itu sendiri. 

Seperti dalam Syair-syair Imam Syafi’i yang mengatakan:

Merantaulah, engkau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang kautinggalkan; dan bekerja keraslah karena sesungguhnya kelezatan hidup itu ada dalam kerja keras. Sungguh aku melihat menggenangnya air itu akan membuatnya rusak; jika ia mengalir maka ia menjadi bagus, dan jika tidak mengalir maka dia tidak bagus.

Juga dari Imam Syafi’i dalam buku kumpulan syair Alala Tunalul ‘Ilma menyebutkan : 

Merantaulah meninggalkan tempat asal demi mencari kemuliaan; dan bepergianlah karena dalam bepergian itu terdapat lima faedah, yaitu melonggarkan kesusahan, mendapatkan penghidupan, ilmu, adab, dan berteman dengan orang-orang terpandang.

Kutipan-kutipan di atas, hingga saat ini masih menjadi cambuk semangat dalam merantau bagi orang Minang termasuk saya sendiri. Merantau adalah sebuah jalan untuk meraih kesuksesan sesuai dengan impian masing-masing sekaligus menjadi proses pematangan jati diri seseorang.

Lantas, kenapa sampai ada stereotip yang mengatakan bahwa orang Minang, khususnya lelaki Minang itu pelit? Jujur saja, selama lebih setahun merantau di tanah Jawa ini, saya belum menemukan kasus yang mengindikasikan bahwa orang Minang memang dianggap pelit, atau saya dituduh pelit.

Dari topik yang diangkat dalam obrolan bersama sahabat saya itu, kamipun tak berhasil menemukan indikasinya. Kami mengambil permisalan ketika pergi makan di restoran. Misalnya dulu ketika masih di Padang, saat kami masih sekolah atau kuliah, kami terbiasa makan dengan membayar sendiri-sendiri. Kecuali ketika ada teman yang mentraktir ulang tahun, kelulusan, atau wisuda. Itu soal lain.

Kini setelah dewasa dan masing-masing bekerja, ketika berkumpul bersama teman-teman lelaki seperantauan, adalah suatu kesenangan ketika siapa yang berinisiatif terlebih dahulu membayari makanan yang kami makan. Bukannya wujud kebanggaan karena bisa mentraktir teman lebih dulu, bahkan seringkali teman-teman yang lain berebutan untuk membayari. Kalau kalah cepat, ya terima saja nasib ‘tak enak hati’. Biasanya yang kalah ini akan mencari kesempatan membalas ketika membayari ongkos taksi/kereta misalnya, atau ketika membeli makanan kecil.

Bahkan menurut sahabat saya itu yang kebetulan satu kosan dengan sahabat kami yang lain, selama bulan ramadhan lalu, iya selalu ‘ditraktrir’ makan sahur oleh sahabatnya kebetulan selalu lebih dulu bangun dan mencari makanan untuk sahur. Hal ini terjadi terus menerus. Tanpa adanya kesepakatan uang harus dikembalikan. Justru ketika seandainya sahabat saya itu mengatakan akan mengganti ‘uang makan sahur’ selama puasa, bisa saja sahabatnya akan merasa tersinggung. Maka dengan jalan lain, tanpa disadari (ini sudah menjadi kesepakatan tak tertulis) sahabat saya itu akan membalas dengan kebaikan-kebaikan dalam bentuk lain. Dalam kasus ini, sahabat yang mentraktir pun tak ada terbetik niat untuk menagih. Menurutnya ini hanyalah perkara remeh saja. Bukan masalah uang, bukan masalah angka-angka, toh mereka berdua sudah berpenghasilan lumayan.

Ada contoh lain yang saya alami ketika pergi makan bersama teman-teman perempuan saya yang sama-sama berasal dari Padang.  Waktu itu kami bertiga akan berbuka puasa bersama, satu senior saya, satu lagi junior saya di kampus dulu. Saya datang belakangan. Senior dan junior saya telah mengambil meja dan memesan menu terlebih dahulu. Kemudian setelah tiba, giliran saya memesan menu makanan. Tiba giliran ketika bill sudah diminta, karena belum tahu ‘ritual dan prasyarat’ makan bersama teman-teman wanita, saya mengambil inisiatif jalan tengah membayar patungan sedikit melebihi jatah menu yang saya pesan. Kemudian senior dan junior saya menambahkan sisanya. Ternyata ketika sudah keluar dari tempat makan dan hendak pulang, senior dan junior saya memberikan sisa dari kelebihan uang saya. Padahal saya sudah mengikhlaskan.Saya tidak menghitung-hitung rincian nominal menu kami semua.  Karena sedikit dipaksa, ya akhirnya saya terima kembali sisa uang itu.

Contoh kedua, ketika saya pergi makan bertiga bersama teman makan yang lain lagi. Sebut saja yang satu junior A, satunya junior B. Keduanya adalah junior saya, tapi yang A lebih senior dari junior B. (Kawan pasti sudah tahu, kalau saya yang paling tua diantara mereka, haha). Kejadiannya mirip sama dengan contoh diatas. Hanya saja junior B mengambil inisiatif seperti saya: membayar lebih dari pesanan menunya. Lalu saya menambahkan semua sisanya sehingga tidak ada kesempatan junior B untuk patungan. Sembari berseloroh setengah mengeluh, junior B hanya berujar: “Yaah, apakah ini karena aku yang paling kecil (usianya)”. Dia merasa seolah dianggap sebagai adik terkecil, sehingga tugas kamilah sebagai kakaknya untuk mentraktir makan. Kami hanya tertawa menanggapinya.

Pernah juga pada kesempatan lain ketika pergi makan berdua junior saya. Si junior B. Sekali dua saya ini saya berhasil mengambil inisiatif membayari duluan. Yes! Tak ada ‘perlawanan’ berarti dari junior saya itu. Tapi apa yang terjadi ketika kali berikutnya? Tiba-tiba junior saya itu mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan uang dari dompetnya terlebih dahulu sebelum kami memesan makanan. Secara implisit, ini berarti dialah yang mentraktir. Begitulah, tak ada hitung-hitungan.

Terakhir, pengalaman makan dengan junior perempuan saya yang lain. Ketika hendak mentraktirnya, junior saya itu menolak dengan halus: “Kita bayar sendiri-sendiri saja bang.” Saya berkilah:  “Ah tak apa, sesekali ini kok, lagian kamu kan masih nyari kerja, biar bang traktir deh.” Kembali junior saya itu menolak dengan alasan ia masih punya tabungan. Apa boleh buat. Kami akhirnya bayar sendiri-sendiri.

Dalam lingkungan kerja saya pun, tak sekalipun saya mendengar ada stereotip bahwa orang minang itu pelit. Bahkan rekan-rekan guru di sekolah saya sama pemurah hatinya dengan teman-teman yang saya ceritakan dalam contoh-contoh diatas. Alhasil, saya mengakui bahwa saya belum dapat menemukan pembenaran (contoh kasus) dari stereotip yang mengatakan bahwa orang-orang Minang itu pelit. Tapi saya pribadi tidak memusingkan ini, toh stereotip hanyalah sekedar kepercayaan negatif dan tendensius belaka. Hakikatnya, siapapun seseorang itu, dari suku, ras, agama, dan golongan manapun, kita semua adalah manusia, selalu punya sisi dan sifat baik dan buruk. Marilah berprasangka baik, namun tetap kritis. Stereotip terhadap siapapun hanya akan memisahkan kita dari kemanusiaan itu sendiri. Merdeka! 


Ps. Untuk menjaga privasi, nama teman-teman yang saya ceritakan diatas sudah saya ganti dengan: Sahabat saya, Sahabat saya yang lain, Senior, Junior A, Junior B, dan Junior saya yang lain. Tapi kesemuanya sudah saya tag ke dalam note ini kok. Hehe..


Fauzan Fadri
17 Agustus 2013
Pukul 22:57 WIB

1 komentar:

  1. ATM AJAIB MELALUI DUNIA GAIB
    Bagi minat telpon aki songo di 085 217 519 919 atau klik www.paranormal-kisongo.blogspot.com karna kami pernah dibantu beliau terima kasih banyak ki udah bantu kami.

    Insya’Allah kami bisa memberikan Solusi Masalah Keuangan AndaBismillahirrahmanirrahim
    Assalamu’alaikum Wr. Wb. dan Salam Sejahtera
    CARA CEPAT JADI KAYA DENGAN ATM Ajaib Adalah Kartu atm sama seperti kartu atm lainnya yang bisa dipakai di ATM untuk menarik uang di atm manapun atau atm bersama. Dimana kartu ATM ajaib ini bisa dipakai menarik uang di ATM tanpa membuat saldo anda berkurang dan saldo ajaib bukan!! jadi anda bisa mengambil uang di atm setiap hari sama seperti kartu ATM biasanya dimana atm ajaib ini sudah terbukti keampuhannya dan sudah banyak yang menggunakan tanpa epek samping dan tanpa tanpa tumbal,yang paling ajaib kartu atm ini tidak merugikan kedua belah pihak antara pemilik/calon pembeli kami dengan pihak jasa perbankan/ bank jadi dengan menggunakan kartu ini anda tidak melakukan pelanggaran hukum dan tidak menyimpan dari aqidah.
    Ajaib bukan??
    SYARAT & KETENTUAN PENGGUNAAN
    1. Maksimal penarikan 20 juta tiap hari tidak boleh melebihi.
    2. Setiap pengahsilan anda /hari harus di sumbangkan sebesar 5 persen dari penghasilan anda /hari, 3 persen di panti asuhan sebesar 600 ribu dan 2 persen di mesjid sebesar 400 ribu.jadi total penghasilan anda setiap hari 19 juta rupiah.
    3. Penarikan uang di atm tidak boleh melebihi batas apa bila melebihi atm ajaib tidak bisa digunakan lagi.
    4. Penggunaan Atm ajaib ini bisa anda gunakan seterusnya selama dirawat dan disimpan dengan baik.
    Sungguh sangat ajaib!!!
    ATM AJAIB BISA ANDA DAPATKAN DENGAN HARGA TERJANGKAU
    MAHAR RP: 25.000.000.
    Bagaimana Cara Mendapatkan Jimat Pesugihan?
    Untuk mendaptakan Jimat Pesugihan kami Anda bisa telpon aki, Anda juga bisa memesan secara jarak jauh dengan menghubungi staf administrasi Saya melalui telepon dan SMS.
    PERHATIAN SERIIUS..!!
    Ky hanya melayani pasien yg serius & mempunyai kemampuan pendanaan yang cukup..!! aki tidak menerima curhat tentang apakah aki bisa mena
    langi dulu maharnya..?? apakah mahar bisa dibayar setelah berhasil..?? saya sudah ditipu sana sini, saya tidak punya mahar untuk beli perlengkapan ritual & sajen serta alasan alasan lain yg tidak masuk akal..!! anda menghubungi aki berarti memang anda sekarang dalam keadaan sedang kalut..!! ruwett..sengsara.!! jika anda serius berniat ingin mendapatkan bantuan spiritual dari aki berarti anda semestinya sudah yakin & siap untuk memenuhi syarat syarat & mahar yg sudah aki tentukan, harap maklum & mohon dimengerti.

    BalasHapus