Sabtu, 18 Januari 2014

Festival Gerakan Indonesia Mengajar : Catatan Kecil Tentang Sebenarnya Cinta

Adalah sebuah gerakan bernama Indonesia Mengajar. Kalau kawan belum tahu silahkan searching google, karena aku tidak membahas gerakan hebat ini secara rinci. Namun yang jelas, gerakan ini adalah salah satu inspirasi dan motivasi terbesarku hingga saat ini. Tulisanku kali ini akan menceritakan pengalamanku dan beberapa sahabat dalam kerja bakti Festival Gerakan Indonesia Mengajar, hari Minggu kemaren, tanggal 6 Oktober 2013.

Kembali sejenak ke masa setahun belakang, aku sebenarnya punya ‘dendam’ pribadi kepada program Indonesia Mengajar (IM) ini. Berawal dari keinginan terdalamku tahun lalu yang tak lolos seleksi menjadi pengajar muda. Aku sempat terpuruk. Harapanku menjadi guru di pelosok pulau terasa tak akan pernah tercapai lagi. Aku cinta anak-anak, aku cinta alam Indonesia. Maka bila seseorang tak mendapat apa yang dicintainya, apa yang akan terjadi? Kegalauan. Aku pernah mengalaminya, kawan.

Tapi itu dulu. Email balasan dari Pak Anies Baswedan telah kembali mengangkat semangatku. Beliau berkata: “Walaupun tak lolos seleksi, tetaplah mencintai apa yang menjadi pilihan dan jalanmu. Tetaplah bergerak. Tetaplah menjadi inspirasi dalam dunia pendidikan dan anak-anak. Ayo bantu wujudkan salah satu janji kemerdekaan kita : Mencerdaskan kehidupan bangsa!” Begitu kira-kira kesimpulannya. Dan ‘dendam’ yang kusebutkan diatas adalah bukan dendam dalam pengertian biasa. Melainkan sebuah dendam positif (memangnya ada dendam positif ya? hehe) yang menjadi cambuk semangatku untuk menerjunkankan diri kedalam telaga nirwananya dunia anak dan pendidikan.

Maka singkat cerita, aku nekad merantau ke pulau Jawa setahun lalu. Tak lain tak bukan, hanyalah untuk menjadi guru sekolah dasar. Kesempatan seleksi bekerja di beberapa instansi yang menggiurkan kuabaikan. Aku tetap penasaran ingin menjadi guru. Lantas kenapa tak menjadi guru di kampungku saja? Aku berpikiran lain kala itu, yaitu aku tak boleh setengah-setengah. Aku harus merantau. Mencari ilmu, sahabat, dan pengalaman baru terlebih dahulu. Ini modal utamaku sebelum suatu hari nanti pulang membangun kampung halaman. Lagipula sebagai orang minang dengan tradisi merantau sepertinya akan terlihat keren dan selaras dengan petuah Imam Syafii. Hehe.. 

Impianku menjadi Pengajar Muda mungkin sirna, tapi puluhan impian lainnya yang senada akan kujemput segera. Alhamdulillah, adikku kini menjadi Pengajar Muda di kepulauan Bawean. Lewatnya, aku kenal dengan banyak Pengajar Muda. Cerita-cerita dan diskusi kami menjadi salah satu senjataku untuk belajar menginspirasi para muridku di sekolah tempat aku mengajar kini.

Berikut cerita ajaibku yang baru kemarin aku alami:

Adalah sebuah acara yang bernama Festival Gerakan Indonesia Mengajar. Diadakan di Ancol. Ini bukan festival biasa. Lebih dari 9000an relawan ikut aktif terlibat di dalamnya. Para relawan akan bekerja bakti untuk menyiapkan materi dan alat bantu ajar yang nantinya akan di kirim keseluruh pelosok Indonesia dimana para Pengajar Muda ditempatkan. Disana para relawan akan membantu mengemas ratusan ribu buku untuk dipaketkan, menulis surat semangat untuk para siswa dan guru di pelosok tanah air, membuat kartu bergambar, membuat puzzle, bernyanyi bersama dan merekam lagu anak-anak, merekam video tentang aneka macam profesi, hingga berdongeng di depan kamera.

Maka tanpa berpikir dua kali, lebih sebulan lalu begitu aku pertama kali mendengar kabar tentang festival karya bakti ini, aku segera mengontak teman-teman ku yang berada di sekitar Depok dan Jakarta. Mereka sangat antusias. Kami yang awalnya hanya tiga sampai lima orang saja, akhirnya berhasil berkenalan dengan belasan teman baru lainnya.

Satu hal yang paling ajaib menurutku adalah, walaupun kami baru kenal, namun kami langsung menjadi akrab dan bersahabat. Tak ada itu yang namanya jaim-jaiman. Para sahabat terkasih yang sudah lama kukenal seperti kak Ega, Ani, Betrin, Stella, dan Vivi menyambut berita ini dengan animo yang luar biasa pula. Dan tugas mengumpulkan karcis pendaftaran kudelegasikan kepada Ani. Tanggungjawab ini pun dia terima dengan hasil yang sangat memuaskan.

Inti acara festival kerja bakti ini sebenarnya sudah dituliskan pula oleh sahabat kami Rima dan Yani dengan menarik dan gaya cerita luar biasa. Kami memang berjanji untuk menuliskan pengalaman luar biasa ini ke dalam note facebook masing-masing kami. Maka pada kesempatan kali ini, aku ambil bagian saja dalam penceritaan tentang peristiwa ajaib yang dialami masing-masing kami. Khususnya kisah tentang sahabat yang baru kami kenal sebelum hari ‘H’ ketika kami menjadi relawan kerja bakti. 

Kenalkan, para sahabatku:

Yani Jayani
Adalah sahabat baru kami, mahasiswi keperawatan asal Bogor. Ia aktif di kampusnya dan suka melakukan aksi bakti sosial untuk anak-anak jalanan. Setiap minggu ia berjualan pakaian layak pakai yang kemudian dananya digunakan untuk kegiatan sosial. Usianya hampir sepuluh tahun dibawahku. Tapi semangatnya membuatku iri setengah mati. Ketika kami janjian bertemu di stasiun pondok cina, aku menunggunya hampir satu jam. Tapi tak terasa. Rasa antusiasku mengalahkan putaran jarum jam yang biasanya membosankan. 

Rima dan Noni
Mereka berdua dari Bogor. Rima adalah juniorku dulu di kampus, tapi kami tak begitu kenal akrab karena jarak angkatan kami terpaut 4 tahun. Dia kini sedang menyusun thesis S2 nya di salah satu kampus di Bogor, juga seorang penulis. Sudah terbit satu buku karyanya (aku kapan ya? harus menyusul segera nih). Noni adalah seorang analis kimia. Orangnya sedikit pendiam diawal, eh setelah kenal seharian ternyata orangnya asik juga. Mereka berdua adalah ‘orang-orang penting’ yang harus kami tunggu di stasiun pondok cina sebelum kami semua bergerak menuju Ancol.

Ani dan Uwie
Ani sudah lama kukenal, junior angkatanku di kampus dulu. Takdir mempertemukan kami di kota ini, sehingga aku punya tandem diskusi yang ideal terkait hobi dan pemikiran-pemikiran kami soal dunia pendidikan. Nah, Ani ini punya sahabat satu kosan yang hebat bernama Uwie. Aku baru sekali bertemu Uwie. Ia adalah seorang psikolog muda, usianya sama denganku. Seperti seorang psikolog pada umumnya, Uwie adalah sosok yang ramah. Walaupun awalnya ia juga pendiam, namun menurutku itu adalah caranya untuk ‘membaca’ kami yang baru pertama kali dikenalnya. Aku senang sekali bisa berkenalan dengan satu orang lagi psikolog. Kelak ia akan sering kutodong pertanyaan dan curhatan tentang anak didikku di sekolah.

Didi
Sahabat yang satu ini namanya mirip sekali dengan salah satu merk shampo anak-anak. Karena namanya yang berkaitan dengan anak-anak inilah, aku langsung tertarik. Haha.. Ternyata ia adalah mahasiswi tahun akhir sebuah universitas negri di Jakarta, jurusan tata rias. Cewek tomboy yang keren satu ini juga punya warung lesehan di dekat gang Kober. Kami tahunya belakangan, ketika sudah pulang dari Ancol. Aku senang mengenalnya karena kalau wisuda atau nikahan nanti aku bisa mengontaknya untuk tata rias dan minta potongan harga. Terlebih karena Didi juga punya warung makan lesehan, kalau lapar dan nanggung bulan, aku kan bisa ngutang disana. Hahaha..

Kak Ega, Betrin, dan Stella
Kak Ega adalah seniorku di kampus dulu. Ia sekarang ngambil S2 di UI. Beliau ini selain juga pernah menjadi guru SD, juga pintar sekali menari Minang lho. Oiya, satu hal yang aku salut dari kak Ega adalah semangat belajarnya. Di kereta, di angkot, di Bus, bahkan ketika berjalan kaki selama diperjalanan hari Minggu lalu, ia tak pernah lepas dari lembaran fotokopian tugas kuliahnya. Kemampuan multi tasking nya patut diacungi jempol.
Betrin dan Stella adalah juniorku di kampus dulu. Kini Betrin bekerja pada sebuah bank di Jakarta. Yang aku salutkan juga adalah ia juga sangat memerhati dunia pendidikan. Ia pernah ikut menginisiasi sebuak komunitas relawan peduli anak jalanan. Kecintaannya pada dunia pendidikan juga tak kalah menakjubkan. Begitu juga dengan Stella, gadis muda yang juga sedang S2 di UI inipun punya komunitas aksi sosial untuk anak-anak yatim, sekolah-sekolah, dan tempat-tempat lainnya di sekitaran Jawa Barat bersama rekan-rekan alumni SMA nya.

Desfi dan Icha
Desfi adalah anggota termuda dalam ‘tim relawan dadakan’ kami. Ia baru kuliah semester pertama. Usianya jauuuuh sekali di bawahku. Yang aku senangi adalah ia tetap memanggilku ‘kakak’. Padahal sangat mungkin sekali kalau ia memanggilku dengan sebutan Paman atau Mbah. Hahaha..Oiya, Desfi ini ternyata kuliah PGSD lho. Sebuah kuliah yang sempat aku idam-idamkan karena dari dulu aku salut sekali dengan sosok seorang guru SD. Dan Icha adalah sepupunya Ani. Ia seorang mahasiswi tahun akhir yang punya jiwa entrepeneur. Aku belum tahu banyak tentangnya. Tapi yang kutahu dari Ani, Icha ini juga punya cita-cita yang sama yakni ingin mengelola sebuah sekolah nantinya. Ini luar biasa. Satu persatu seiring berjalannya waktu, aku menemukan sahabat-sahabat yang memiliki impian sama.

*****

Begitulah, kawan-kawan. Seharian minggu kemaren aku bertemu dengan orang-orang hebat dan menginspirasiku. Mereka adalah sahabat dan saudari-saudari baruku. Aku sebenarnya ingin sekali menceritakan dengan detail tentang semua kegiatan dan keseruan yang kami alami ketika ikutan kerja bakti di Festival Gerakan Indonesia Mengajar. Namun kali ini tak ada kata-kata yang bisa kupilih selain mengucapkan syukur dari hati terdalam karena telah ‘menemukan’ mereka semua.

Satu hal yang kucatat adalah:
“Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia kecil saja dibandingkan jutaan orang-orang yang telah mengabdi kepada bangsa kita tercinta ini, khususnya dalam bidang pendidikan dan anak-anak. Aku seperti sebutir pasir di lautan. Apa yang aku lakukan selama ini, dan selama ikut membantu menjadi relawan sehari di kerja bakti itu, mungkin hanya hal remeh saja bagi sebagian orang. Kuakui itupun memang belum seujung kuku. Namun aku yakin dan sangat percaya, bahwa sebutiran pasir akan membentuk sebuah pantai yang indah tak terperi ketika jutaan butiran pasir lainnya ikut bergabung, bergandengan, berkumpulan bersama-sama.”

Dari pengalaman sehari itu. Aku kembali merefresh janjiku kepada diri sendiri untuk selalu mengabdi dalam dunia pendidikan dan anak-anak. Karena lewat tangan anak-anak kita nantilah kemudi kapal bangsa kita ke depan. Kita tak hanya mencintai anak-anak karena mereka semua itu lucu, kita juga mencintai mereka karena masa depan bangsa kita tercinta ini terletak di tangan mereka.

Kita punya dua tangan kecil, namun ketika jutaan tangan-tangan kecil lainnya bersatu, apa yang tak bisa kita lakukan bersama untuk kebaikan? Dengan hobi, passion dan kesukaanku, aku akan terus belajar dan berusaha mengabdi kepada bangsa ini. Semoga Allah selalu memberikan jalan dan petunjuk serta rahmatNya berupa pengalaman berharga seperti kegiatan kami tempo hari. Aamiin..




Fauzan Fadri
8 Oktober 2013
Pukul 19:40 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar