Sabtu, 18 Januari 2014

Apakah itu sebenarnya ‘Sekolah’?


Ketika saya kecil dulu, biasanya setiap kali ayah lupa waktu saat menceritakan kami dongeng-dongeng karangannya sendiri,  ibuku selalu memotong, dan dengan tegas menyuruh kami lekas tidur agar keesokan paginya tidak terlambat ke sekolah. Beliau, ibuku yang gulai jengkol buatannya sungguh nikmat itu, akan bilang:

“Kau dan adikmu harus sekolah, setinggi-tingginya. Jangan kau pikirkan biayanya, kami yang tanggung semua. Pokoknya kalian harus sekolah, agar orang-orang dikampung tak memandang rendah keluarga kita lagi, agar para tetangga yang jahil tak seenaknya mengambil tanah peninggalan nenekmu yang tak lebih dari beberapa jengkal itu. Agar dimasa tua kami nanti ada kalian tempat kami mengadu. Kalian jadi ABRI atau polisi saja, agar mereka takut. Atau dokter, agar mereka segan.”

Maka jadilah, keluarga kami yang boleh digolongkan bersahaja itu, ayahku seorang tukang las di bengkel kecil, dan ibuku hanya mengurus kami semua dirumah, mendampingi ayah. Saban hari kalau ada alasan sebuah pertengkaran, alasan aku dan adikku dimarahi karena terlalu lama keluyuran bermain, dan alasan-alasan segala macam ‘cek-cok’ lainnya adalah: karena kami disuruh belajar. Ketika itu aku masih SD, aku ingat sekali dari kelas 2 hingga kelas 6,aku hampir setiap caturwulan menggondol prediket juara umum. Orang tua kami sangat bangga bercerita kepada 
para tetangga.

Namun dibalik semua kejayaan masa kecil itu, ada rasa kosong dalam jiwaku. Semacam ada rasa tertekan dan ingin lari dari rutinitas yang selalu sama setiap hari, yakni belajar dan belajar, lalu belajar lagi. Mana aku peduli dengan pesan ibu yang menyuruhku sekolah untuk mengharumkan nama keluarga.

Aku tak suka menghafal ilmu pengetahuan sosial dan sejarah, aku tak suka guru-guruku yang cerewet dan memberikan banyak PR. Dan aku makin merasa terbebani dengan predikatku yang juara kelas itu, seolah semua mata guru dan orang tuaku meletakkan harapnya dipundakku. Waktu itu memang boleh dikata aku hampir membenci sekolah, kecuali bermain bersama teman-teman, mengumpulkan segala macam biji-bijian dan kutanam sendiri di pekarangan rumah , atau bergurau dengan kucing kesayanganku si Bandel yang ramah.

Baru belasan tahun setelah itu aku barulah sadar,merasa beruntung sungguh aku dan adikku betapa dimanjakan dalam soal pentingnya ‘pendidikan sekolah’ oleh kedua orang tuaku. Kesadaran ini jauh setelah akumelewati masa pendidikan sekolahan lanjutan tingkat pertama dan lanjutan atas yang dipenuhi keusilan-keusilan khas remaja yang penuh rasa ingin tahu pada umumnya.

Itulah kesan dan perasaanku selama belasan tahun aku ‘berurusan’ dengan institusi yang bernama SEKOLAH.

*****

Baiklah, mohon maaf bila prologku di atas terlalu panjang. Disini aku bermaksud untuk mengambil benang merah kisah masa kecil yang kualami sendiri dengan topik yang akan kuangkat dalam tulisanku kali ini. Tentang mengapa ada siswa yang merasa asing, tidak akrab, atau bahkan tak suka berada di sekolah.

Terlebih dahulu, mari kita cek apa itu definisi Sekolah? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran menurut tingkatannya. Atau sekolah adalah usaha menuntut kepandaian ilmu pengetahuan,pelajaran, pengajaran.

Saya rasa kawan-kawan dan saya sendiri pastilah sudah tahu dan tentunya setuju dengan definisi versi KBBI online ini. Karena memang,bila mendengar kata ‘sekolah’, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebahagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu umumnya memang ditujukan kepada suatu sistem, lembaga, atau organisasi besar dengan segenap perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya.

Pada data ilmiah yang saya baca dari buku “Sekolah Itu Candu” : Padahal sebenarnya, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Akar sejarahnya dapat kita runut dari zaman Yunani kuno dulu. Alkisah, orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk diketahui. Mereka mnyebut kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolaeatau schola. Keempatnya punya arti sama: “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”.

Singkat cerita, lama-kelamaan kebiasaan mengisi waktu luang dengan mempelajari sesuatu ini semakin diminati oleh banyak lelaki perempuan, dan para orang tua yang tak cukup waktu karena tuntutan kehidupan, menitipkan putra dan putrinya. Karena semakin banyak dan tak cukup daya tampung lagi, maka di buatlah semacam lembaga khusus untuk melakukan kegiatan mengisi waktu luang ini. Ditempat itulah anak-anak biasa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap patut dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus kembali pulang ke rumah menjalani kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.

Maka, sejak saat itulah telah beralih sebagian fungsi schola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi schola in locoparentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut dengan “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (alma mater).

Waktu terus berlalu, dan para orang tua semakin percaya menitipkan anak-anaknya, mempercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orang-orang atau lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah tersebut. Akhirnya, pada abad 18, Johann Heinrich Pestalozzi, tampil dengan gagasan lebih teperinci mengenai kelembagaan ini. Ia mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut dengan “pelajaran”) yang harus mereka lalui secara bertahap. Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku.

Memang akar pengertian/definisi sekolah seperti yang kita kenal  dan fahami dalam bentuknya yang umum saat ini perlu kita telusuri lebih dalam lagi dengan bertolak pada zaman dan tradisi Yunani kuno. Akar inilah yang mewarisi tradisi sekolah-sekolah kolonial nun jauh dinegeri kita tercinta. Sekolah-sekolah modern yang mulai diperkenalkan pada masa penjajahan Belanda. Biasa kita kenal dengan istilah politik etis, dimana orang-orang pribumi kita diberi kesempatan bersekolah sebagai hasil kebijaksanaan kaum sosialis-humanis Belanda dan Inggris kala itu.

Aduh, kalau begitu mudah saja menerangkan bagaimana kiranya kata ‘sekolah’ yang mulanya cuma berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu sistem kelembagaan pendidikan yang kadangkala dan celakanya sekaligus, diartikan sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri.

Pada saat sebelum penjajah tiba, nenek moyang kita tak kenal ijazah atau gelar. Sekolah juga tidak ada. Tapi mereka belajar! Belajar segala soal. Bertani, berladang, mengenal alat-alat penting. Semua orang adalah guru. Semua tempat adalah sekolah!

Paparan tulisan Roem Topatimasang yang saya kutip diatas inilah (mulai dari penjelasan definisi sekolah secara harfiah), yang sungguh telah menggoncangkan mimpi-mimpi indah saya tentang hakikat pendidikan ketika beberapa tahun lalu saya membaca bukunya. Kalau kita bicara tentang makna harfiah sekolah sebagai suatu kegiatan untuk mengisi waktu luang, tentulah orang-orang Yunani kuno dulu yang ‘bersekolah’ melakukannya dengan senang hati, sesuai minat dan kebutuhannya masing-masing, sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi passionnya.

Sementara menurut Anindito Aditomo, ahli psikologi pendidikan dan dosen di fakultas Psikologi Universitas Surabaya, tujuan utama sekolah adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru. Menurutnya pula, kedua hal ini lebih dekat pada hakikat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan.

Hemat saya, masalah inilah yang menjadi kekurangan-jelian kita selama ini, dimana kita lupa akan hakekat sekolah dan pendidikan sesungguhnya. Dan anomali prinsip dan sistem pendidikan negeri kita selama ini telah menjadi momok yang memberikan efek domino yang cukup fatal dalam perspektif kita terhadap peristiwa-peristiwa rutin dalam dunia pendidikan kita. (Contoh mutakhir, lihat saja ‘kasus tahunan’ soal UN dan katebelecenya, kawan pasti paham maksud saya). Jangan sampai apa yang saya dan mungkin sebahagian besar kawan-kawan alami ketika kecil dan masa sekolah dulu juga akan dialami oleh anak-anak dan cucu kita sekarang dan di kemudian hari.

Kesimpulannya kita harus dapat menciptakan nuansa kesenangan belajar dan kecintaan ilmu pengetahuan bagi anak-anak kita. Bukannya malah mencetak mereka seperti kita membuat mesin dan robot sesuai bentukan dan model yang kita inginkan. Apapun alasan dan latar belakang kita, tak peduli apakah keinginan anak kita mau menjadi dokter, polisi, tentara, insinyur,pilot, pelukis, penulis, penari, aktor, petani, aktivis, pengusaha, bahkan tukang cukur atau kondektur tiket kereta api sekalipun, yang penting mereka senang dan bangga dengan profesinya kelak, selalu bersyukur dan senantiasa ceria. Karena mereka memang gemar belajar dan cinta ilmu pengetahuan sedari dini. Karena mereka sebenar-benar bersekolah di sekolah kehidupan ini.

Fauzan Fadri
Senin, 29 April 2013

NB: Tulisan ini berawal dari keresahan saya pribadi soal UN, dan terilhami dari bukuSekolah Itu Candu. Sebagian besar tulisan saya mengenai paparan sejarah sekolah, saya kutip dari buku itu.

Sumber data, pengetahuan, dan informasi: Sekolah Itu Candu  karya RoemTopatimasang dan artikel online berjudul Ujian Nasional Dan Hakikat Pendidikan karya Anindito Aditomo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar