Siapa yang tak kenal Ghoni di sekolah? Kelas 4 SD, tubuhnya gempal, menjadi pentolan, tingkahnya cuek dan seringkali tidak betah duduk berlama-lama di belakang mejanya. Dia senang berkeliling kelas saat pelajaran berlangsung, selonjoran di depan papan tulis atau tiduran telungkup di lantai sembari mencatat kosa kata dan kalimat bahasa Inggris sederhana yang saya tuliskan dengan spidol saat pelajaran sedang berlangsung.
Bulan Mei lalu adalah awal pertemuan saya dengan Ghoni, ketika itu dia masih kelas 3. Saat itu saya sedang menjalani tes micro teaching sebagai salah satu dari rangkaian persyaratan sebelum diterimanya saya sebagai guru bahasa Inggris di sekolah. Ruang kelasnya Ghoni bersih namun tidak terlalu besar, meja dan kursinya bagus, dan tentu saja berpendingin udara. Pada dinding sebelah kiri dan kanan tergantung hasil karya anak-anak berupa gambar, lukisan, atau tulisan-tulisan. Ada juga peta, poster-poster tumbuhan dan hewan, kalender, jam dinding, dan benda-benda umumnya yang biasa kita lihat di sebuah ruang kelas sekolah dasar. Saya masih ingat, waktu itu saya dimintai untuk menyampaikan materi tentang arah mata angin.
Kelas yang terdiri dari sekitar dua puluh dua anak itu begitu menyita perhatian saya. Seperti yang pernah saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya, anak-anak kelas 3 itu, Ghoni dan teman-teman sekelasnya seperti Kiki, Zidan, Diaz, Dimas, Salma, Nida, Esti, dan lainnya adalah anak-anak yang unik. Entah ini karena saya yang memang menganggap semua anak unik dan sering membuat kagum (kadang saya juga senyum-senyum sendiri saat melihat tingkah mereka), atau entah karena alasan apa, yang jelas saya langsung merasa nyaman saat berdiri dihadapan mereka.
Terlebih saat melihat rasa antusias mereka yang sangat tinggi terhadap saya yang mengajar ketika itu. Saat itu Ghoni yang tak kalah antusiasnya, mengalungkan sebuah raket badminton yang senar-senarnya sudah bolong di lehernya. Sepanjang micro teachingia tak lepas dari raket bolong kesayangannya itu.
Belakangan hari saya baru tahu sebab lain kenapa anak-anak bertingkah demikian: mereka selalu tertarik dengan orang baru yang datang ke sekolah, apalagi orang itu adalah calon guru mereka. Dan kesempatan itu mereka manfaatkan untuk mendapatkan perhatian lebih dengan segala cara khas, kreatifitas, dan keunikan yang mereka punya. Salah satu sifat dasar anak-anak adalah selalu menginginkan perhatian lebih dari kita orang dewasa. Dan mereka akan senang alang kepalang saat diberikan pujian. Perhatian lebih dan pujian tentunya akan membuat mereka makin bersemangat dan kian terpacu dalam belajar.
Kini Ghoni sudah naik kelas 4. Ia bergabung bersama duapuluhan teman-teman satu sekolahan dalam ekskul Languange Club (LC), dimana saya bersama Miss Nita, Miss Novi, dan Miss Fitri menjadi pengajar bahasa Inggris. Sebenarnya saya tahu benar bahwa Ghoni sangat menggemari olah raga bola. Namun atas saran orang tuanya Ghoni didaftarkan di LC. Awal mula ekskul, sangat berat rasanya untuk mendapatkan perhatian Ghoni, matanya selalu tertuju ke lapangan dimana teman-temannya yang tergabung dalam ekskul futsal sedang berlatih. Ia turut menyoraki, dan bila ada bola yang nyasar ke Gazebo bawah (tempat kami belajar bahasa yang bersebelahan dengan lapangan futsal sekolah), Ghoni pasti menendang bola itu dan ikutan bermain bersama anak-anak futsal.
Namun, atas saran Miss Nita, semenjak ruang belajar ekskul LC dipindahkan ke ruang kelas di lantai 3, dan latihan futsal tak lagi diadakan di lapangan sekolah (karena sekolah sedang direnovasi dan akan dibangun gedung tiga lantai sekaligus untuk lapangan futsal indoor), minat Ghoni terhadap bahasa Inggris mulai berangsur-angsur terlihat. Di hari biasa saat mengajar di kelas 4 pun, saya lihat ia cukup antusias. Semua teman-teman di kelas pun hampir selalu bersemangat belajar, terlebih saat saya meminta mereka mengeja kata dengan intonasi-intonasi lucu dan berirama, mengajarkan lagu-lagu baru terkait materi pelajaran, dan menayangkan video-video kartun bahasa inggris lewat infokus.
Sesekali, dengan dalih: “Kalian hari ini bebas tidak belajar! Dan anak-anak berteriak: “Horeeeeeeeee..” Maka saya memutarkan film-film anak sebagai hadiah kepada mereka bila nilai tugas atau ulangan harian mereka cukup bagus. Di sela-sela pemutaran film yang bagi mereka sangat menarik itu, saya sering membahas satu atau dua kosa kata dan beberapa istilah bahasa Inggris yang berhubungan dengan pelajaran mereka. Menurut saya, mereka mungkin tak menyadari bahwa saat menonton film pun mereka tanpa sadar juga belajar.
Dan Ghoni, si gempal lucu yang berwajah polos, terlihat semakin antusias kendati ia masih perlu banyak belajar dalam menuliskan huruf-huruf yang tepat sehingga membentuk satu kesatuan kosa kata bahasa Inggris yang sempurna. Ya, dia pernah menuliskan kata tabledengan tulisan “tebel”, atau keliru menyebutkan May I go to the toilet? dengan “Mei ai borou yor toilet?” (maksudnya: Bolehkah saya meminjam toiletmu?). Kata go to dan borrowseringkali tertukar-tukar olehnya dan anak-anak lain, mengingat kami juga mengajarkan kalimat sederhana: May I borrow your pencil?
Satu hal yang saya catat dalam keseharian Ghoni dalam belajar adalah rasa antusiasnya yang teramat tinggi itu. Ia begitu bersemangat. Selalu mengacungkan tangan saat saya meminta teman-teman kelas 4 untuk menuliskan jawaban tugas harian ke papan tulis. Bahkan ia cenderung ngotot sambil merengek-rengek dan merayu bila permintaannya tidak saya penuhi lagi karena ia sudah lebih dari dua kali ke depan untuk menuliskan jawaban di papan tulis.
Walaupun ejaan tulisannya masih salah, namun saya begitu memuji keberanian dan semangat belajarnya. Menurut saya, anak-anak harus memiliki rasa ketertarikan dan merasakan senang terlebih dahulu terhadap sebuah mata pelajaran tertentu sebelum ia kita berikan ilmu. Mengingat pelajaran bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran tersulit bagi anak-anak usia sekolah dasar karena cara mengeja kata dan menuliskannya seringkali jauh berbeda, saya memanfaatkan kerumitan dalam mengeja kata-kata itu dengan mengenalkan 2 cara pengucapan bahasa Inggris sekaligus, yakni dialek American dan British.
Biasanya anak-anak lebih tertarik dengan dialek British yang pengucapannya lebih halus dan mendayu berirama, ketimbang dialek American yang cenderung lebih lugas dan cepat tanpa nada. Bersama-sama, kami menemukan ‘musik’ dalam mengucapkan dan menghafal kosa kata bahasa Inggris. Dan anak-anak ternyata suka dengan metode itu. Anak-anak dan musik (walaupun hanya irama sederhana), memang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kadang saya juga menciptakan lagu dadakan (terinspirasi dari metode ustad Syam) terkait dengan hafalan kosa kata yang iramanya dicomot dari beberapa lagu anak-anak.
Begitulah keseharian kami, Ghoni dan teman-teman di kelas 4 dalam belajar bahasa Inggris. Tentu saja tidak setiap harinya pelajaran berjalan semulus yang saya duga. Ada kalanya beberapa anak kurang fokus dan bermain saat pelajaran sedang berlangsung. Namun karena di setiap kelas selalu ada dua orang guru yang mendampingi siswa, maka tugas kami sebagai guru yang sedang mengajarkan mata pelajaran pun lebih terasa ringan, karena terbantu oleh seorang guru lagi yang ikut mengondisikan kelas agar tetap menyenangkan. Dan rasa saling bantu sesama guru pun menciptakan sebuah kondisi yang senantiasa harmonis. Saya harap dapat selalu demikian. Aamiin.
NB: Mulai Senin besok, 10 Desember 2012, Ghoni dan semua teman-teman di sekolah akan menjalani Ulangan Akhir Semester 1. Mohon doanya ya kawan-kawan.
Fauzan Fadri Sunday, December 9, 2012 7:13 p.m.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar