Anak-anak senantiasa memiliki ingatan yang kuat tentang apa yang pernah mereka alami dan rasakan. Tak jadi soal, kesedihan ataupun sedikit keceriaan yang kita sempat bagi kepada mereka, maka mereka akan selalu mengingatnya. Tugas kita adalah bagaimana memberikan sedikit keceriaan itu sebagai salah satu kepingan mozaik indah yang akan mereka rangkai dalam lukisan kaca yang terpatri di hati mereka.
Ada kejadian sangat langka yang kualami tadi siang. Seseorang ibu muda menelponku tiba-tiba, dia mengaku bernama Wati. Aku dibangunkan dari tidur siang yang asik, maklum tiga hari belakangan ini aku sering tidur siang, kondisi tubuh kurang fit dikarena demam.
Wati. Siapa Wati? Aku tak pernah kenal seorang ibu bernama Wati, pikirku dalam hati. Namun ibu ini tetap ngotot pernah kenal denganku. Dia menyebutkan dimana aku dulu kuliah, mengatakan tentang kebiasaanku dulu yang suka nongkrong di kafetaria kampus ketika jam-jam kosong, menyebutkan siapa saja teman-temanku, sampai dia juga mengaku dulu pernah bekerja sebagai karyawan kafetaria itu.
Aku masih saja belum ngeh. Memang aku dulu selalu dekat dengan karyawan kafe, siapapun mereka. Disamping mereka asik diajak ngobrol, satu nilai lebih bila kita mengakrabkan diri dengan karyawan kafe adalah kita akan mendapatkan hak istimewa: selalu didahulukan, dilebihkan, dan dimaklumkan.
Didahulukan maksudnya kawan pasti tahu. Ya, begitu jam sibuk makan siang, nasi ayam gulai dan goreng pete kesukaanku pasti akan selalu tersedia, bahkan sebelum aku memesannya. Dan pesananku juga sering kali sudah terhidang dalam porsi jumbo, tanpa perlu berteriak minta tambuah ciek ni.., inilah yang saya maksud dilebihkan. Lumayan untuk mengisi perut hingga tahan sampai malam hari. Begitu sampai di kosan, ya saya tinggal tidur dalam keadaan perut masih kenyang.
Sedangkan dimaklumkan adalah ketika akhir bulan tiba, ketika kantung sudah menipis, aku masih tetap bisa makan kenyang ala kenduri tanpa kendala yang berarti. Istilah sederhananya : ngutang. Mereka, karyawan kafe itu sungguh tahu kapan musimnya mahasiswa seperti ku mengalami defisit anggaran jatah jajan dari orang tua, masa-masa panceklik. Tentu saja untuk poin ketiga ini aku juga terlebih dahulu mengakrabkan diri dengan si empunya kafe. Kebetulan aku dan teman-teman juga sudah cukup dekat dengan bapak dan bu haji pemilik kafe itu. Jadi alur koordinasinya sudah lancar, aman, dan terkendali. Hehe..
Kembali ke cerita telepon ‘nyasar’ tadi. Aku masih belum bisa mengingat siapa ibu muda pemilik nama Wati ini. Barulah setelah ibu ini menyebutkan nama anaknya, aku mulai bisa merangkai memori-memori yang sudah lama tertimbun dalam benakku.
“Papau, kok gak inget sih, saya ini Wati yang punya anak bernama Muthia!” , ujarnya dari seberang.
“Muthia, muthia siapa, anak kampus Unand juga?” tanyaku lagi.
“Bukan. Si Muthia itu lho. Mumut...mumut..yang dulu sering pau ajak main di kafe.”
“Oh...oh...Si Mumut ya? Mumut yang dulu belum masuk sekolah itu kan, uni?”
“Iya, pau. Ini uni, ibunya si Mumut. Skarang Mumut udah kelas 4 lho.”
“Hah! Udah kelas 4, wah cepat sekali, uni. Ya, ya, Pau ingat sekarang, dulu Pau sering ajak main Mumut di kafe.” sahutku antusias.
Dan cerita kami pun berlanjut. Aku ingat kejadian dulu ketika tahun 2009, empat tahun yang lalu. Karena mata kuliah yang belum diambil hanyalah mata kuliah seminar sebagai syarat wisuda, maka kafe kampus kujadikan alat legitimasi bahwa aku masih berstatus mahasiswa. Uni Wati adalah salah seorang karyawan kafe yang tugasnya membantu memasak dan menghidangkan makanan. Karena ia sudah berpisah dengan suaminya, ia sering mengajak anak semata wayangnya Muthia alias Mumut ke kafe.
Disebabkan aku tipikal orang yang tidak bisa melihat anak kecil nganggur, dengan beberapa teman, aku suka mengajak Mumut bermain. Apakah itu memetikkan buah ceri dari pohonan yang tumbuh di samping kafe, sesekali membawakannya permen lolipop atau membelikan coklat choki-choki, mengajaknya main ke Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) sambil melihat teman-temanku berlatih paduan suara, tari tradisional, ataupun teater. Atau sekedar memberikannya buku gambar dan krayon.
Ya, sebagaimana anak-anak pada umumnya Mumut senang sekali menggambar dengan krayon. Aku kembali ingat, ketika itu akhir tahun 2009. Sumatera Barat dihoyak gempa besar. Aku sempat beberapa minggu tergabung dalam tim relawan trauma healing pasca gempa untuk anak-anak Padang, Pariaman, dan sekitarnya. Dan waktu itu kami masih punya banyak sisa buku-buku tulis, buku-buku gambar, dan krayon. Peralatan tulis dan gambar itulah yang selalu ku bawa dalam ranselku setiap hari. Kadang kalau ada anak-anak di jalanan, anak-anak yang menangis di angkot, atau dimana saja, maka aku akan mengeluarkan peralatan itu, memberikan kepada mereka secara cuma-cuma hingga anak-anak itu menjadi kembali ceria. Walaupun kadang diselingi oleh tatapan heran dan kaget dari ibu-ibu mereka. Mungkin dikira saya mau nyulik anaknya. Hehe...
Tak terkecuali Mumut. Ia sering kubawakan buku gambar dan krayon. Biasanya setelah puas bermain, setelah memesan jus mangga untuk kami bertiga: Aku, Mumut, dan Habib (cucu pemilik kafe) biasanya kami menggambar dan belajar menuliskan nama bersama-sama.
Peristiwa inilah yang ternyata masih lekat diingatan Mumut dan Ibunya tentang kami. Ibunya, uni Wati, bahkan tadi bilang kalau Mumut masih menyimpan buku-buku gambar pemberianku hingga saat ini. Kadang ia memperlihatkan buku-buku itu kepada ibunya dan berkata seolah mengingatkan:
“Ma...ini kan buku-buku Papau yang dulu. Mut masih simpan. Ini buku-buku dari Papau.”
Dan ketika tadi aku sempat berbicara dengan Mumut lewat telepon, ia terdengar agak canggung.
“Halooo, ini Mumut ya. Sudah kelas 4 ya.. Masih ingat sama Papau gak Mut?” aku memancingnya.
“Masih Om Papau, kapan Om pulang ke Padang, main ke rumah Mumut ya??”, katanya malu-malu.
“Wah, tahun ini sepertinya Papau belum akan pulang, tapi nanti kalau ke Padang, pau singgah kerumah Mumut ya... ”
“Iya, Om..baik-baik di jakarta ya, jangan lupa sholat..”
“Oke, Mumut juga ya, belajar yang rajin, kalo pulang ntar pau belikan buku lagi ya..”
“Iyaaa....”
(Lucu saja mendengar Mumut memanggilku dengan panggilan Om, biasanya dulu anak-anak usia 5 tahun ke bawah selalu memanggilku dengan sebutan Papau saja. Biar akrab, biar seperti teman. Apa daya sekarang Mumut sudah besar.)
Begitulah, obrolan singkatku dengan Mumut dan ibunya. Tadi ibunya juga sempat cerita kalau 3 tahun belakangan ini ia bekerja menjadi TKW di Malaysia. Meninggalkan Mumut yang dahulu masih berusia 6 tahun. Karena ingin mempersiapkan Mumut masuk SMP dua tahun lagi, Uni Wati pun pulang. Alhamdulillah beliau sudah bisa bantu-bantu bangun rumah di kampung. Sekarang Uni Wati tak ingin lagi kembali ke Malaysia dan memilih mencari kerja di Padang. Alasannya kasihan sama Mumut karena tak ada yang menjaganya di kampung. Dalam hati, aku sepakat dan mengamini. Semoga aku bisa bertemu Mumut lagi suatu hari nanti.
NB: Mengapa Uni Wati masih menyimpan nomorku bertahun lamanya? Ternyata justru nomorku tak disimpan di dalam handphone nya, melainkan ditulis tangan oleh Mumut di salah satu lembaran buku lama yang masih disimpannya itu. :)
Fauzan Fadri
21 Juli 2013
23:01 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar