Sabtu, 18 Januari 2014

Liburanku adalah Ketika Bertemu dengan ‘Orang-orang Biasa’ yang Luar Biasa

Dulu ketika kita masih menjadi anak sekolahan, hal apa yang paling kawan nanti-nantikan selain liburan panjang? Yup! Itulah masa yang (mungkin) paling kita tunggu-tunggu. Untuk sementara kita akan terbebas dari PR dan tugas-tugas rutin di sekolah. Saatnya bertamasya bersama keluarga pulang ke kampung halaman bertemu nenek, bermain kubangan sawah dan digigiti lintah, ikut memetik jeruk ranum di kebun belakang rumah, asik memanjat pohon jambu bol yang sedang berbuah lebat, atau sekedar bermain layangan yang dibuat sendiri di halaman depan pinggir jalan.Itulah sedikit pengalamanku dulu ketika masih sekolah dasar.

Namun lain dulu lain sekarang, kendati tetap masih ada keseruan-keseruan yang sama. Hal menarik yang masih tetap kurasakan adalah masa liburan sekolah. Sungguh asik ketika anak-anak libur, akupun libur. Ketika anak-anak sekolah pergi bertamasya, akupun ikut ‘berliburan’ dengan caraku sendiri. Itulah salah satu kenikmatan menjadi guru sekolah. Ya, jalan yang sedang kupilih sekarang adalah belajar menjadi seorang guru. Aku guru yang sedang dan masih akan terus belajar.

Lalu apa yang aku lakukan untuk mengisi liburan selain kebiasaan mendengarkan musik, menonton film-film inspiratif dan membaca buku-buku? Bukan pelesiran, ke bioskop, ke mall, atau sejenisnya, kawan. Adalah aku bertemu dengan ‘teman-teman lama’ku. 

Berada di rantau hampir setahun lebih, adalah sebuah kemewahan bagiku untuk dapat mengunjungi beberapa sahabat lama. Kita yang sudah sibuk dengan rutinitas pekerjaan masing-masing, tentulah tidak bisa sebebas dulu membuat janji bertemu walaupun hanya untuk sekedar mengobrol beberapa jam, untuk bertukar kisah sembari menyeduh kopi atau secangkir teh. Maka kuputuskan inilah saatnya bertemu mereka.

Aku bukan tipikal orang yang memiliki hanya satu sosok role model. Aku tidak menjadi fans fanatik seorang yang hebat dan terkenal, filsuf, tokoh pergerakan, aktivis kemanusiaan, penyair, musisi atau ilmuan. Bagiku selama ada hal baik yang inspiratif dari kisah-kisah mereka, maka aku akan menjadikannya teladan. Termasuk teman-teman baru dan para sahabat lamaku. Tanpa mereka sadari, aku diam-diam mungkin saja telah menjadikan mereka pahlawan dimataku.

Berikut sedikit kisah tentang orang-orang dan teman-teman yang sempat kutemui dalam liburan seminggu belakangan:

Arif Si Tangguh yang Cinta Keluarga

Rabu lalu 26 Juni aku dikunjungi seorang teman lama dari Padang. Ia sudah hampir 5 tahun bekerja menjadi seorang tentor fisika disebuah lembaga kursus yang cukup terkenal. Ibunya pindah ke Sukabumi. Dan dia memanfaatkan waktu libur beberapa hari untuk mengunjungi orang tua serta adik-adiknya sebelum akhirnya ia ‘kupaksa’ untuk singgah ke Depok sebelum pulang.

Hanya semalam Arif kuajak menginap di kosan Tawiank, teman kami yang lain. Kami bertukar cerita, tentu saja. Dari sekian banyak kisah yang kami utarakan, aku mencatat hal penting dalam dirinya. Arif, menurutku adalah seorang yang tangguh dalam hidupnya. Keadaan membuat dia sudah bekerja sejak kuliah. Bukannya sekedar iseng, tapi bertujuan untuk turut membantu ekonomi keluarga. Ia turut membiayai sekolah dan kuliah beberapa adik-adiknya. 

Sebagai anak lelaki pertama, ia mengatakan padaku akan menunda sementara tujuannya menikah tahun ini karena masih ada adik bungsunya yang masih bersekolah dasar. (Disini aku tak akan menceritakan detail perjalanan hidupnya yang penuh juang itu, karena aku menghargai privasinya). Saat itu padahal aku masih sedang asik-asikan menjadi mahasiswa, sibuk berorganisasi macam-macam. Aku hanya bisa menadahkan tangan setiap bulan kepada orang tua untuk jajan atau bayar semesteran.

Dari situ, 5 tahun lalu aku melihat ia telah mendahuluiku untuk menjadi orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Maka ketika aku setahun lalu memutuskan untuk merantau, salah satu teman yang aku ingat dan membuatku berani adalah Arif. Kalau dia bisa setangguh itu, kenapa aku tidak bisa untuk belajar juga seperti dia.

Satu hal lain yang membuat aku kaget disela obrolan kami adalah ketika Arif bilang padaku: 

“Zan, hanya ada 2 orang teman yang bisa membuatku iri (maksudnya: ingin seperti mereka) sampai saat ini! Yang pertama adalah temanku Aidil yang kini menjadi pengusaha muda sukses dan seorang pembicara hebat. Yang kedua adalah kamu, Zan!”

Tentu saja aku kaget, kenapa dari sekian banyak orang yang dikenalnya, aku menjadi salah satu teman yang membuatnya iri. Alasannya ternyata sederhana. Karena jiwa sosialku (itu katanya). Aku sempat protes padanya karena merasa ‘kurang pantas’ walaupun kuakui dalam hati, aku senang alang kepalang.

Arif menjelaskannya lebih detail, menceritakan kembali sejarah hidup dan 'proses'ku dulu, dan melihat aku yang sekarang. Ternyata dengan menjadi guru sekolah dasar yang sederhana begini, itu sudah cukup untuk membuatnya merasa iri. Rasa kagumnya itu justru mencambukku. Aku kembali teringat tentang niatku yang ingin bergabung disalah satu LSM anak yang ada di Jakarta. Aku kembali teringat wajah-wajah polos anak-anakku disekolah yang mungkin masih belum mendapatkan pelayanan terbaik dariku sebagai guru mereka.


Tawiank Si Pengejar Mimpi

Nama aslinya Aris, tapi sejak SMA kami memanggilnya Tawiank. Aku tak tahu sejak kapan nama panggilan itu melekat padanya. Namun teman-teman dekat tetap memanggilnya Tawiank sampai hari ini.Di kosan temanku Tawiank inilah aku mengajak Arif menginap.

Kamis 27 Juni, setelah mengantar Arif ke terminal Damri di Pasar Minggu untuk selanjutnya ia menuju bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba Tawiank mengajakku ke Bogor :

“Pak Guru, ke Bogor yuk! Kita ke IPB, temani aku mengantarkan surat lamaran kerja!”, ajaknya.
“Okeh!”, jawabku singkat.
“Hah! Serius?” ,dia seolah tak percaya.
“Serius lah! Kan lagi libur! Aku bebaaaaaaaass...”, teriakku sambil mengangkat kedua tangan terkepal ke udara dan tertawa. Beberapa detik sorakanku itu sempat menjadi pusat perhatian orang-orang di terminal, beruntung aku tak ditimpuki sandal jepit. Hehe..

Dan kamipun segera menuju stasiun, tiket ke Bogor. Sampai disana kami yang belum sempat sarapan, aku ditraktir makan ayam goreng. Asik juga nih, kalau sering-sering menemaninya aku akan ditraktir terus, ujarku dalam hati.

Singkat cerita, setelah dua kali naik angkot kami pun sampai. Di kampus IPB yang ternyata lumayan luas itu aku hilir mudik menemaninya mengurus berkas-berkas lamaran. Siang hari itu cuaca sangat terik, kami berjalan kaki dari ujung ke ujung. Ke fotokopian yang terletak diujung sana, dan kembali lagi menyerahkan berkas diujung situ.

Ketika sedang berjalan kaki itulah, entah langkah kaki yang keberapa ratus, Tawiank nyeletuk:

“Pak Guru pasti belum pernah melamar kerja seperti ini kan?”, ia menyindirku.
“Ya, perjuangan melamar kerjamu memang keren banget deh wiank, sampai ngos-ngosan begini.”
“Hahahaha, ini sih belum seberapa”, ujarnya.

Memang kuakui, ia adalah salah satu temanku yang paling ulet. Tak hanya Bogor, ia bahkan sampai melamar kerja ke Bandung, Semarang, Jogja, dan kalau di Jakarta jangan ditanya, ia bahkan hafal diluar kepala seluk beluk jalanan ibukota melebihi sopir taksi dan tukang bajaj. Hehehe..

Temanku Tawiank, yang satu-satunya orang yang senang memanggilku dengan sebutan ‘Pak Guru’ ini sempat menceritakan ketika di Semarang dan Jogja ia bahkan sempat tidur di teras masjid, nyasar angkot, dan lain sebagainya. Menurutku itu menunjukkan keuletannya dalam mencari pekerjaan yang menjadi impiannya: bekerja sebagai akuntan di bank.

Ia sebenarnya sempat bekerja di Kalimantan beberapa bulan yang lalu dengan gaji hampir 7 kali lipat gajiku sebagai guru. Namun itu hanya bertahan 2 minggu saja, ia kembali ke Depok dengan alasan masih penasaran dengan pekerjaan yang menjadi impiannya.

Bagi orang yang tak mengenalnya, keluar dari pekerjaan di pertambangan Kalimantan dengan gaji besar dan fasilitas lengkap mungkin saja adalah sebuah hal aneh. Tapi aku mengerti akan pilihannya. Pekerjaan memang tak semata soal uang dan prestise.

Pekerjaan adalah passion. Ia mengingatkanku pada diriku sendiri yang sempat ditelpon dua kali oleh orang kementrian luar negeri untuk mengajak bekerja disana, namun secara halus kutolak karena aku lebih memilih berkumpul dan belajar bersama anak-anak di sekolah. Kalau Tawiank punya passion di ranah ekonomi, aku pun miliki gairah dalam dunia anak-anak dan pendidikan. Dari Tawiank, aku belajar tentang impian. Tentang keinginan yang akan diwujudkan, tak peduli seberapa terjal dan berliku jalan menuju ke sana. Belajar menjadi tak terpatahkan, apalagi goyah hanya karena omongan dan ‘pendapat-pendapat’ miring di sekitar.


(bersambung...)

NB: Tak terasa sudah 3 halaman ketikan, esok nanti InsyaAllah akan kulanjutkan cerita menarik tentang sahabatku Bobi dan Ojik, juga tentang pertemuanku dengan dua orang Pengajar Muda angkatan 4 (Wahyu dan Recka) dari program Indonesia Mengajar  yang sempat kutemui di Jakarta.


Fauzan Fadri
03 Juli 2013
19:44 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar