Sabtu, 18 Januari 2014

Upi Pergi : Sekali Ini Izinkanlah Aku Menangis di Depan Anak-anak

Kata orang, jadi guru itu haruslah jaim dan wibawa. Emosi guru di depan siswa juga haruslah stabil agar tetap tampak berwibawa. Agar guru selalu dihormati siswa. Tapi ‘wibawa’ macam apa dan ‘penghormatan’ macam pula yang harus aku pertahankan demi menahan tangis haru ketika salah satu murid terbaikku harus pergi? Dalam hal ini aku tak butuh pengakuan hormat berbau feodalisme itu. Peduli apa dengan pengakuan atas ketundukan dan kepatuhan siswa terhadap guru apabila itu dianggap semu semata. Kali ini cerita tentang cinta hakiki. Tentang bertaliannya banyak hati.

Adalah cerita tentang Lutfi Zulfikar Madjid. Ia biasa dipanggil Upi. Anak kelas 4B Zaid bin Tsabit.

Tadi pagi setelah tadarusan dan sarapan pagi bersama di ruang guru, tiba-tiba Miss Mery wali kelas Upi bilang padaku:
”Tad, bundanya Upi nitip salam ke ustad Fauzan.”
“Lho, ada apa miss? Kok Tumben?” selidikku.
“Upi mau pindah tad. Kamis ini dia harus ikut orang tuanya pindah dinas.” kata Miss Mery lagi.
“Hah? Serius miss? Kenapa mendadak sekali..?” sumpah aku kaget!


Dari situ sudah kulihat perubahan nada suara dan air muka Miss Mery. Bicaranya mulai terpatah-patah. Wajahnya muram dan kedua matanya kulihat mulai berkaca-kaca. Miss Mery menjelaskan bahwa Upi harus sudah berangkat ke Jawa Timur hari Kamis besok karena ikut dinas orang tuanya.

Semalam bundanya Upi menelpon Miss Mery dan mengabarkan berita yang sangat tidak menyenangkan ini. Kata bunda, awalnya Upi tak mau pindah dan tetap bersekolah disini. Namun bundanya akan sangat kerepotan sekali merawat kedua adik Upi yang masih kecil. Makanya bunda, Upi, dan adik-adik harus ikut serta. Miss Mery bilang semalam itu ia sangat sedih sekali. Ia tak kuasa menahan tangis ketika bunda Upi menelpon.Mendengar semua itu, aku tak sanggup lagi menahan haru.

Aku sudah tidak konsen pada suapan-suapan terakhir sarapan pagi tadi. Aku tak fokus lagi mendengar penjelasan-penjelasan Miss Mery. Seketika aku membayangkan wajah ceria Upi, keusilannya, kecerdasannya, kedekatannya dengan kami (Aku dan Miss Mery adalah wali kelas Upi ketika ia kelas 3 tahun lalu), keriuhannya, tingkah konyolnya di kelas yang hobi teriak-teriak dan jalan-jalan sesuka hati, serta kedua bola mata besar dan sepasang gigi kelincinya.

Begitu sarapan kutandaskan, aku segera menaruh piring kotor di wastafel, kemudian masuk ke toilet ruang guru. Di dalam toilet, berita buruk dari Miss Mery tadi mengawang-awang dalam benakku. Wajah Upi menari-nari di kepala. Aku menangis terisak! 

Aku jarang sekali menangis. Hampir tak pernah. Dan seumur hidupku ini, hanya dua kali aku menangis di toilet. Pertama kalinya adalah sewaktu aku kuliah di Padang dulu karena ada masalah yang amat berat  menimpa aku dan mengimbas pada keluargaku. Itu pengalaman titik nadir terberat yang pernah kurasakan. Setelah mengalami dan melewati masa-masa sulit itu, aku seperti terlahir kembali. Menjadi lebih ceria dan bersyukur. Semangat dan semakin mencintai dunia pendidikan dan anak-anak. Sejak saat itu kuputuskan bahwa aku harus menjadi orang yang selalu bahagia.

Maka adalah aneh ketika aku menangis di toilet untuk kedua kalinya dalam hidupku hari ini. Itu semua karena Upi. Ya, ‘hanya’ disebabkan oleh Upi. Sebetapa kuat aku menahan haru di dada, sekuat itu pula aku menangis. Kuputar keran air toilet guru. Suara derasnya sedikit membantu meredam isakku. Aku berpikir, bila para guru lainnya mengetahui hali in, bukankah itu adalah sebuah aib bagiku?

Dari dalam toilet kudengar bel masuk berbunyi. Ini pertanda anak-anak sudah berkumpul di aula bawah untuk bersiap menjalankan sholat Dhuha bersama. Kubasuh muka, mengambil wudhu dan segera bergabung dengan mereka. Dari balik jendela ruang guru, kulihat Upi sudah duduk di barisan pertama. Bercanda usil seperti biasanya bersama teman-temannya. Aku terenyuh.

*****

Setelah mengajar bahasa Inggris di kelas 3B pada jam pertama berlangsung dengan ceria (kali ini 3 anak yang biasanya paling sulit ‘kutaklukkan’ menjadi tiba-tiba antusias dan berpartisipasi seru dalam pelajaranku) dan membahagiakan, aku kembali teringat Upi. Segera saja aku kembali ke ruang guru dilantai bawah. Membuka facebook selama 5 menit dengan terpaksa (guru sekolah kami tidak diperbolehkan main handphone ataupun online ketika jam sekolah). Aku menemukan note facebook ku yang baru beberapa hari belakangan ini aku posting. Judulnya: “Ketika Upi diatas Carel :  Another Two Heroes at My School”.

Segera aku print out, kumasukkan ke amplop yang kuminta dari bapak Kepsek kami. Ya, cerita ini akan kuhadiahkan untuk Upi nanti siang. Begitu pikirku.Tadi pagi aku memang sempat bilang ke Miss Mery bahwa nanti kita adakan saja testimoni perpisahan di kelas 4B. Miss Mery setuju, akhirnya kami sepakat akan mengadakan acara itu pada jam terakhir sebelum kegiatan pramuka mingguan.

Setelah jam makan siang. Aku langsung menuju kelasnya Upi. Di dalam kelas Miss Mery sedang mengajar PKn. Sambil mengantongi surat untuk Upi, aku menunggu diluar sebentar. Kebetulan di lorong depan kelas 4B kutemukan seorang anak ajaib bernama Bintang. Kutanyakan padanya kenapa ia tak masuk kelas. Bintang menjawab kalau ia sedang bosan. Mungkin moodnya terganggu karena celana pramukanya sobek dan harus memakai sarung. Anak yang satu ini (juga) memanglah spesial sejak pertama aku mengenalnya. Spesial tingkahnya. Spesial juga dihatiku.

Maka, alih-alih aku memaksa Bintang untuk langsung bergabung ke kelas. Selama beberapa menit aku ceritakanlah kepadanya tentang Upi yang akan pindah sekolah. Awalnya Bintang cuek. Namun aku ceritakan kepadanya bahwa aku merasa sedih karena harus kehilangan Upi. Kuceritakan semua tentang Upi dan Bintang, lengkap dengan tingkah polah mereka selama ini. Kukatakan aku menyayangi mereka. Kubilang aku menyayangi Bintang. Selain sebagai murid, aku menganggap Bintang sebagai ponakanku sendiri. Aku tambahkan padanya bahwa aku juga tak mau kehilangan Bintang.

Kupesankan, “Bintang, kamu baik-baiklah belajar, tetaplah semangat sampai kamu nanti sudah tidak menjadi murid SD ini lagi.” “Jangan bikin ustad sedih juga ya. Ustad tak akan meninggalkan kamu sampai kamu lulus SD nanti.”

Mendengar itu semua, ditambah dengan cerita saya tentang Upi. Mata sebelah kanan Bintang meneteskan air bening. Diselingi isaknya, maka mengucur deraslah kedua mata Bintang. Pertahanan anak yang dianggap jagoan sekolahan ini pun tumbang.

Setelah tangis Bintang mereda, ia tanpa sulit kuminta, dengan suka rela masuk kelas. Dengan sebuah sarung ia menutupi mukanya. Apa yang terjadi? Bintang menangis lagi. Ditutupinya semua kepalanya dan menangis terisak di pojok kelas. Kawan-kawan yang lain segera tahu. Dan berita Upi akan pindah pun tersebar cepat.Saat itu pelajaran PKn yang diampu Miss Merry sudah selesai. Semua anak, termasuk saya dan Miss Ika duduk berlingkaran dilantai.

Tibalah saat saya membuka prolog. Disana saya umumkan kepada anak-anak kelas 4B bahwa Upi akan berangkat hari Kamis ini. Besok adalah hari terakhir Upi di sekolah kita. Marilah kita saling bermaafan dan mendoakan Upi. Ketika saya sampai kepada ucapan perpisaahan terhadap Upi itulah, tiba-tiba mata saya keluar air yang cukup deras. Hidung saya ingusan mendadak.Maka tak selang sepersekian detik, meledaklah tangis seisi kelas. Tak terkecuali semua anak, Miss Mery, Miss Ika, dan saya. Kecuali Upi! 

Upi tampak tegar sekali. Walaupun kedua bola mata besarnya berlinangan, ia tidak terisak seperti teman-teman lain. Bahkan disela tangisku, aku melihat Carel, Miko, Bintang, Fallah, Agil, Chayyis, Fachri, Subkhi tersedu sedan. Sedikit meraung kecil ketika kita seperti melihat anak-anak yang merasakan kesedihan mendalam. Beberapa detik kemudian, anak-anak lainnya, laki-laki dan perempuan juga ikut menangis haru. Bahkan ketika Miss Mery dan Miss Ika menyampaikan pesan-pesan perpisahan kepada Upi, suara mereka berdua seolah dikalahkan oleh gemuruh tangis kami semua.

Tanpa dikomando, anak laki-laki berebutan memeluk Upi. Saling bermaafan. Kulihat Bintang bahkan mencium telapak tangan Upi sambil minta maaf karena selama ini ia sering mencandai dan saling mengusili satu sama lain. Sementara murid perempuan bergantian menyalami Upi. Hebatnya Upi tampak tetap tegar sekukuh karang dilautan. Ia kulihat seperti bersusah payah mengendalikan emosinya agar tak terisak.

Tak terasa bel pulang berbunyi. Anak-anak di kelas perlahan keluar menuju lapangan untuk latihan pramuka. Satu persatu mereka masih menangis haru. Murid-murid lain kelas yang melihat ini pun langsung tahu apa penyebab peristiwa langka ini. Berebutan mereka juga pun menyalami Upi.

Di lorong kelas kulihat Carel masih menangis, badannya yang bongsor, menyandang tas ransel, terlihat sebagai sebuah pemandangan yang kontras. Kudekati dia, mencoba menenangkan tangisnya. Bukannya berhenti tangis, Carel justru memelukku. Disembunyikannya wajahnya dalam-dalam di bahu kiriku sambil terus menangis haru. Butuh waktu 5 menit untuk menenangkannya sampai Miss Mery datang menyusul dan membimbing tangan Carel menuju lapangan.

Ketika semua anak sudah berada di lapangan dan setelah kakak-kakak pembina pramuka datang, barulah perlahan tangis anak-anak kelas 4B mulai mereda. Mataku, mata Miss Mery, mata Miss Ika sudah kering namun masih sedikit basah. Hal ini menarik perhatian anak-anakku kelas 5. Mereka bertanya: “Tad, abis nangis ya?” Aku tak bisa mengelak lagi dan menjawab: “Iya, bolehkan kalau ustad menangis sedikit untuk kali ini saja?”  Mereka terdiam, tak merespon lucu seperti biasa. Sepertinya mereka paham.


Fauzan Fadri
17 September 2013
Pukul 21:53


Sesaat sebelum acara perpisahan Upi.   (Kiri-kanan: Bintang yang sudah sedih duluan, Upi, dan Carel)
Sesaat sebelum acara perpisahan Upi. (Kiri-kanan: Bintang yang sudah sedih duluan, Upi, dan Carel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar