Tadi siang adalah hari dimana giliran kelas kami pergi berkuda. Istal yang sekaligus pusat pelatihan kuda itu dekat saja. Hanya sekitar 200 meter dari sekolah kami. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di sana ada juga kolam renang yang dikelilingi oleh pohonan cemara rindang yang sangat asri, ada pula beberapa pohon rambutan yang memerah warnanya, diselubungi ratusan buah yang sedang ranum masak di batang.
Rencana berkuda ini telah kami kabarkan kepada anak-anak kami semenjak seminggu lalu. Semua anak bersorak-sorai mendengar berita ini, mereka sungguh antusias. Kecuali satu anak. Dialah Anggi Yunitasari. Panggilannya Anggi saja. Air mukanya lucu, wajahnya bulat, tubuhnya lumayan subur, suaranya cempreng dan menggemaskan, hobi sekali bertanya tentang apa saja di kelas.
Dua hari sebelumnya, begitu ada kesempatan: saat pergantian pelajaran, saat istirahat, saat setelah makan siang, kapan saja, Anggi selalu merengek kepadaku: “Paaaaaak, akuuu takut naik kudaaa. Hari Kamis besok aku sakit aja ya paaak. Aku gak mau sekolaaaah.” Begitu katanya. Dan aku selalu memberinya iming-iming semangat: “Berkuda itu keren sekali lho Anggi, bapak saja ingin sekali naik kuda, tapi belum pernah. Anggi beruntung lho bisa naik kuda nanti.”
Begitulah. Sampai tadi pagipun, kendati ia telah memakai baju olah raga seolah bersiap untuk naik kuda seperti teman-temannya yang lain, Anggi masih saja merengek bahkan sampai menangis. Terlebih saat setibanya kami di depan istal. Anak-anak terkaget-kaget melihat beberapa ekor kuda asal Swiss dan Australia dengan tubuh kekar yang sangat tinggi menjulang lebih dari dua meter. Ditunggangi joki pelatih professional, sedang berlarian keliling lapangan latihan dan melompat-lompati pagar halang rintang.
Tebak saja. Tangis dan rengekan Anggi memang semakin menjadi-jadi. Semenjak di perjalanan menuju istal ini, Anggi selalu menguntitku, tak pernah lepas dari jangkauan tanganku, merengek-rengek tak ingin naik kuda di urutan pertama (karena namanya berawalan ‘A’ sesuai abjad). “Baiklah Anggi, nanti kamu diurutan ke-lima saja ya, atau ke-limabelas”, begitulah aku membujuknya.
Setelah menunggu beberapa menit, datanglah kuda bookingan kami, ternyata bukanlah kuda Swiss ataupun kuda Australia yang datang, kuda-kuda gagah itu memang tidak untuk ditunggangi oleh anak-anak. Sebagai gantinya adalah empat makhluk manis bernama Mulan, Ayu, Dollar, dan Beauty. Merekalah kuda-kuda poni turunan asli Indonesia. Mereka juga lucu dan menggemaskan, dengan ekor terjurai dan poni yang ditata rapi. Masing-masing kuda poni itu didampingi oleh seorang petugas yang memegang tali kekang.
Demi melihat makhluk-makhluk lucu itu, tangisan Anggi mulai mereda. Terlebih karena nama-nama kuda itu lucu-lucu. “Pak, kuda yang itu kok namanya Dollar ya, emangnya dia gak makan rumput ya, dia makan uang dollar ya pak”, celetuk Salsa. “Waah, yang itu namanya malah Ayu, emang dia masih saudaraan sama Ayu Tingting ya pak?”, Nadhir mencoba menganalisis. “Nah, kalau yang itu namanya Beauty, warnanya putih kok mirip unicorn ya pak, tanduknya sih gak ada, tapi kuda itu bisa terbang gak ya”, kata Putri. Aku menanggapi komentar mereka dengan tertawa-tawa dan menjelaskan sebisanya.
Lalu aku pun turut sok menganalisa seperti seorang ahli kuda: “Eh, yang itu namanya Mulan, mungkin diambil dari nama tokoh pahlawan perempuan China seperti di film kartun Mulan kali ya”, kataku pada mereka. “Bukannya Mulan Jamila, pak??” celetuk yang lainnya. “Bukaan, tapi tokoh perempuan bernama Mulan, dulu ada film kartunnya lho, tapi mungkin saat itu kalian belum lahir”, aku menjelaskan. “Lah, iya lah mas, itu kan film di jaman kita dulu.” Komentar barusan datang dari sesosok suara lain, bukan dari anak-anakku. Sosok pemilik suara itu adalah Annisa, seorang gadis berperawakan kecil namun bersorot mata tajam dan kukuh teguh pendirian (terlihat dari cengkraman tangannya yang kuat saat kami bersalaman). Sepertinya ia terlihat seusia denganku. Dari komentarnya itu akhirnya kami berkenalan, ia resign dari tempat kerjanya dan ingin magang di istal itu selama sebulan untuk merawat kuda-kuda. Alasannya: ia suka kuda. Setiap hari ia bersepeda pulang pergi 30 km dari rumahnya menuju istal ini. Ia juga gemar bersepeda. “Wah, gadis ini keren juga ya”, pikirku dalam hati. Kami sempat akrab dan saling bertukar cerita kami masing-masing, sangat seru.
Eits, kok malah ceritaku tentang Annisa ya?? Jadi, maaf kawan, mengenai Annisa kuceritakan lain kali saja ya. Toh akupun hanya sekilas berkenalan dengannya. Hehe. Lalu, bagaimana dengan Anggi? Nah, lewat Annisa lah aku jadi ikut terbantu membujuk Anggi hingga bersedia menunggangi kuda poni bernama Beauty. Sehingga tangisnyapun mereda, Anggi bahkan terlihat menikmatinya.
Aku jadi tertawa-tawa sendiri kalau mengingat kembali komentar Anggi setelahnya: “Aku ketagihan naik kuda paaak, aku mau naik kuda lagi”, Anggi malah cengengesan. “Hahahaha, naaah, benarkan kata bapak, pastilah Anggi tak kan menyesal naik kuda. Pengalamannya seru dan menyenangkan bukan? ”, sahutku. “Setiap jam olah raga kita mending naik kuda aja terus ya paaaak, hehe”, pinta Anggi disertai rengekan, kali ini bukan rengekan tangis lagi, justru semakin cengengesan, sepertinya Anggi telah menjadi seorang Anggi yang setiap harinya kukenal. “Haaah!!! Ya, gak bisa lah Anggi, kalau naik kuda tiap hari Kamis di jam olah raga, sekolah kita bisa bangkrut lho untuk menyewa kuda-kudanya, ahahaha.”, aku bercanda. “Hahahahaha, iya ya pak, hahahaha.”, Anggi ikutan tertawa-tawa.
Moral of this story: Anak-anak, meskipun ia takut mencoba suatu hal, namun jauh di dalam dirinya, ia tetap ingin untuk mengalahkan ketakutannya itu. Dan lihatlah hasilnya: anak-anak itu semakin menjadi bahagia setelah ia berhasil melewati ketakutannya itu. Kita orang dewasa, bisa belajar dari cerita Anggi ini. And I also feel soooo happy, just because of those inspirational kids. They’re miracles!
Fauzan Fadri, Kamis, 07 Februari 2013, Pukul 21:17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar