Sabtu, 18 Januari 2014

Hakikat (Ber)pendidikan : Rasa Bahagia karena Kecintaan pada Ilmu Pengetahuan. (Catatan tentang Bincang Seminar bersama Prof. Dr. Arief Rahman M.Pd)



Menikmati Sabtu pagi yang cerah, adalah dengan cara bersantai di rumah. Tidak melakukan apa-apa selain membaca, mendengarkan musik, atau memilah-milih program televisi yang layak tonton akan membuat tubuh dan pikiran jadi segar kembali. 

Namun ini adalah Sabtu yang lain. Bukan Sabtu yang biasa-biasanya. Oleh pihak sekolah, saya kemarin beruntung sekali diberikan satu dari empat undangan untuk menghadiri seminar pendidikan di aula SMP-SMA Avicenna (dulunya bernama Lab School) yang akan diusung oleh Prof.Dr. Arief Rahman M.Pd. Siapa yang tak kenal tokoh nasional sekaligus praktisi pendidikan yang acap kali kita lihat di layar televisi ini. Hampir semua kita, saya rasa sudah mengenal beliau.

Maka jadilah, dari sore kemarin saya selalu mengidam-idamkan menghadiri acara ini. Saya bayangkan Pak Arief ini adalah sosok yang kaya akan ilmu dan pengalaman tingkat nasional dan dunia, dan itu benar. Saya bayangkan pula beliau seorang pria tua yang kaku dan ‘tidak menarik’ seperti banyaknya tokoh-tokoh politik yang biasa kita lihat bercuap-cuap di layar kaca. Alamak! Dugaan terakhir saya ini ternyata salah total. Saya benar-benar surprise dengan sosok beliau. Begini ceritanya...

Seminar, atau kalau boleh saya anggap sebagai bincang-bincang ringan penuh canda yang berjudul : “Optimalisasi Peran Orangtua dan Sekolah Mendampingi Anak Meraih Prestasi”  ini tepat dimulai pukul 09:00 WIB. Sebelumnya, acara dibuka dengan penampilan paduan suara sekolah yang membawakan lagu Indonesia Raya (peserta undangan juga turut serta) dan lagu We are The World. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan seorang gadis sekolah bergitar dan temannya yang menyanyikan lagu Bunda. Selanjutnya pertunjukan siswi-siswi SMA Avicenna yang membawakan Tari Saman dengan sunguh sensasional, menggugah dan berkelas internasional.

Rentetan pembukaan acara dengan menampilkan bakat-bakat siswa ini menghadirkan romantisme tersendiri bagi kami berempat para guru yang mewakili sekolah kami, terlebih bagi saya pribadi. Gadis sekolah bergitar itu, sudah menarik perhatian saya ketika di penampilan pertama paduan suara ketika ia menjadi dirigen, kemudian saat ia memetik gitar, terakhir ketika ia dan teman-temannya menarikan tarian Saman dan (masih) menjadi leader pemberiteriakan aba-aba dalam tarian itu.

Waaah.., seandainya umur saya berkurang sepuluh tahun saja, dan misalkan saya sekarang adalah murid SMA di sekolah yang sama, pastilah saya mengidolakan dan jatuh hati dengan gadis itu. Dia, gadis sekolah itu, dan tentunya teman-temannya, terlihat sangat bahagia. Tak lepas sedetikpun senyum mereka kepada para tamu undangan. Di sinilah, saya merasakan ada aura kebahagiaan yang bersumber dari suatu yang dalam pada diri anak-anak itu. Suatu yang membuat kami benar-benar merinding ketika menyaksikan penampilan bakat mereka. 

Ternyata nanti ketika acara inti, Pak Arief juga sempat nyeletuk dan punya pandangan dan komentar sama terhadap apa yang terbersit dalam benak saya tentang penampilan bakat anak-anak dan bakat gadis bergitar itu. Sungguh sebuah ‘kebetulan’ yang mengagumkan dan membuat saya tersenyum sendiri ketika itu.

Acara inti bermula, saya tambah terkesan dengan PakArief yang menolak menggunakan mikrofon dan memilih bicara tidak duduk dipodium depan, melainkan dengan mengitari kami di kursi-kursi peserta seminar. Sebegitu dekatnya sehingga saya mungkin dapat menghitung berapa helai sisa rambutnya yang masih menghitam, selebihnya memang sudah dipenuhi uban. Maklum, beliau kelahiran tahun 1942, kawan bisa hitung sendiri usianya.

Dengan metode penyampaian yang demikian, kami merasa lebih dekat dengan beliau. Tidak ada batasan dan protokoler yang njelimet. Semuanya terasa sangat cair dan menyenangkan. Saya pun mencoba mengambil kesimpulan dan inti dari penyampaian yang diberikan oleh Pak Arif tadi pagi :

Pertama, adalah tentang hakikat fungsi pendidikan itu sendiri, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Membentuk watak dan menjadikan manusia ‘beradab’ bukan pekerjaan mudah. Bukan fungsi pendidikan yang sebelumnya kita pahami sebagai penghasil anak-anak dengan nilai tinggi, mendapatkan pekerjaan yang hebat, dan menjadi kaya. Yang menjadi landasan utama disini adalah bagaimana kita berperan mendampingi pembentukan watak dan mental yang kuat, cakap, mandiri, berakhlak dan kreatif pada diri anak-anak kita. Kenapa poin di atas lebih penting, karena di kehidupan nyata, yang menjadi modal utama anak-anak kita ketika menjadi bagian dan berperan di masyarakat adalah syarat-syarat di atas. Bukan hanya semata nilai-nilai akademis yang bersifat kognitif, walaupun ini juga tak boleh kita pandang sebelah mata.

Menurut Pak Arief, anggapan banyak orang tua yang menitipkan anaknya di sekolah selama ini bisa dianalogikan seperti membawa mobil ke bengkel. Serta merta si pemilik mobil ingin mobilnya segera diperbaiki dan dapat melaju kencang. Padahal, anak kita bukan mobil, bukan mesin. Pendidikan itu sendiri adalah proses yang mempunyai tahapan-tahapan. Meskipun hakikat fungsi pendidikan yang saya kutip di atas sangat banyak dan tampak rumit, tapi memang begitulah adanya. Tidak ada sesuatu yang instan. Apalagi dalam proses pendidikan.

Kedua, menyinggung tentang pola asuh orang tua. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Anak-anak adalah cerminan orangtua mereka.Perilaku orang tua terhadap anak-anak mereka dapat dibagi dalam empat tipe yakni, orangtua otoriter, orangtua melindungi, orangtua membebaskan, dan orangtua suri tauladan.

Orang tua tipe otoriter adalah biasanya yang merasa paling tahu, berkuasa, memerintah dan merasa selalu benar. Pola asuh ini akan menghasilkan watak anak yang penakut, tempramen, menerima saja, dan terlalu menurut, sehingga akibatnya anak akan sulit mengaktualisasikan diri, tidak berprestasi, kurang peduli sekitar, mendahulukan emosi dalam menyelesaikan masalah, dan mudah terpengaruh.

Orang tua tipe melindungi adalah orang tua yang terlalu memanjakan anaknya, memenangkan, dan membela. Dampaknya adalah anak-anak yang berwatak serba ketergantungan kepada orang tua, dan selalu berlindung, sehingga anak akan sulit berperan dewasa, merasa berkuasa dan rentan/tidak tahan banting.

Sementara tipikal orang tua yang membebaskan yang berciri sangat percaya kepada anak dan mengizinkan semua permintaan anak-anaknya akan menghasilkan anak yang berwatak binal, selalu ingin dituruti keinginannya, dan menganggap dewasa karena ia merasa tidak terikat aturan apapun.

Terakhir adalah tipe orang tua keempat, orangtua suri tauladanlah yang paling ideal. Disini orang tua berperan sebagai yang mengarahkan/menjelaskan, berdialog, memberikan pedoman/berprinsip, bekerjasama dengan anak, dan dapat membimbing. Pola asuh ini, akan menciptakan watak anak yang hormat kepada orang tua, senang berdiskusi, berkesadaran tujuan hidup,merasa diperlukan dan merasa memiliki tempat untuk bertanya. Anak-anak yang diasuh dengan keteladanan akan menjaga nama baik keluarganya, dapat bersosialisasi, berprinsip, dewasa, dan memiliki akar dalam keluarga.

Pola asuh keteladanan diatas juga sangat patut dan mutlak diaplikasikan oleh para guru di sekolah. Sehingga nantinya akan tercipta chemical connection antara orang tua dan para guru dalam membimbing dan mendidik anak-anak kita.

******

Akhirnya, kita tentulah sepakat bahwa inti dan kesimpulan dari paparan mengenai teori-teori diatas adalah: Bagaimana kita sebagai sahabat anak, guru, dan orang tua untuk dapat menciptakan suasana menyenangkan bagi anak. Sebagai guru, saya dan rekan-rekan terlecut untuk senantiasa mempertahankan atmosfer belajar yang menyenangkan bersama anak-anak.

Adalah sebuah keyakinan pribadi bagi saya (sampai saat ini) untuk menjadi sosok yang ceria dan menyenangkan di mata anak-anak. Karena lewat senyuman, tingkah kelucuan, dan keceriaanlah salah satu jalan cepat untuk mendapatkan hati anak-anak (khususnya anak-anak sekolah dasar), sehingga dengan demikian hakikat proses dan fungsi pendidikan dapat berjalan dengan menyenangkan.

Dan dengan cara yang beginilah akan munculnya kebahagiaan kita dan anak-anak selama belajar bersama di sekolah. (Buktinya? Kawan musti menyaksikan langsung bakat penampilan dan senyuman 'si gadis sekolahan bergitar' bersama teman-temannya). Bukan hanya tujuan tentang kebanggaan akan nilai-nilai diatas kertas dan simbol-simbol berupa piagam dan piala. Proses pendidikan hakikatnya sungguh menyenangkan, membahagiakan, dan bermuara pada jiwa-jiwa beradab yang cinta akan ilmu pengetahuan. 
Selamat hari Pendidikan Nasional.

Fauzan Fadri
Sabtu, 4 Mei 2013, 14:48 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar