Sekolah di Amerika dan Mata Bintang yang Berkaca-kaca
Bulan ini adalah saat sekolah kami membuka pendaftaran bagi guru-guru baru. Karena sekolah kami ini juga baru, terhitung masih 4 tahun berdiri, dan kuota murid untuk tahun ajaran baru pun telah terpenuhi, maka otomatis datanglah beberapa calon guru yang ikutan tes micro teaching di sekolahku.
Kelasku, 3B juga kebagian. Seorang guru Al-Quran bernama Eliana menjalani tes itu di kelasku. Aku dipercaya oleh wakasek kesiswaan untuk menilai performa guru itu. Maka aku pun duduk di belakang kelas, layaknya seorang juri dengan berkas-berkas form penilaian, menyilang kaki, memegang pulpen, dan memerhati setiap ‘detail’ sang calon guru.
Saat beliau mengajar, aku mencuri tanya kepada Bulan, salah satu anak paling kritis di kelasku. Bulan duduk persis di depanku. “Bul, gimana gurunya, seru gak?” “Iya, seru, Pak”, kata Bulan pendek. “Seru banget atau seru aja”, aku bertanya lagi sambil menggoda Bulan. “Hmm.. seru ajah, hehehe..”, komentar Bulan. “Yaah, kok seru aja sih Bul..” aku menimpali sambil ikut cekikikan pelan-pelan.
Analisis Bulan tidak salah. Memang, sang guru kelihatan sedikit grogi. Mungkin karena ia masih baru, merasa kurang nyaman karena kuperhatikan sejak tadi, atau dia yang terlalu banyak menulis di papan tulis sehingga lupa berinteraksi dengan intens kepada setiap anak-anak di kelas. Dan sang calon guru itu juga lupa melucu. Anak-anak kan paling senang kalau ada guru yang lucu. Hehe.. Tapi secara keseluruhan, dia cukup bagus kok, menurutku. Diakhir kelas dia mengevaluasi setiap anak dan mulai mencair bersama anak-anak. Dia bahkan memimpin anak-anak untuk berdoa dan beberapa ‘ritual’ lainnya sebelum pulang. Padahal itu biasanya menjadi tugasku. Ya, barangkali dia memang sedikit grogi diawalnya membuka kelas.
Nah, cerita inti sebenarnya bermula setelah kejadian diatas ini. Adalah Bintang Saloka, anak kelas 3A yang pernah kuceritakan dalam note terdahulu, yang kujuluki Si Anak Satu Miliar. Aku juga mengajar satu mata pelajaran Bahasa Inggris di kelasnya Bintang. Saat itu, sang calon guru baru saja selesai dan anak-anak sudah berhamburan pulang. Bintang Saloka yang bisanya cuek, suka jalan-jalan di kelas, moody dan kreatif namun memiliki rasa keingintahuan yang sangat akut itu, datang menghampiriku dan bertanya. “Pak, yang barusan itu siapa?” tanya Bintang. “Oh, itu guru baru buat Bintang”, kataku. “Oooh..” bintang hanya bilang itu dengan cueknya. “Eh, tapi guru itu yang bakalan gantikan bapak lho, Bin.” Aku menggodanya. “Lho, emangnya bapak mau kemana?” “Oh, bapak kan akan pergi ke Amerika, bapak mau sekolah lagi ke sana.”, aku bercerita seolah-olah itu benar-benar akan terjadi sebentar lagi. Tiba-tiba, raut wajah Bintang seketika berubah. Air mukanya serius, tengadah menatap mataku. Mencoba menyelidik apakah yang barusan kuucapkan hanyalah sebuah candaan. “Bapak gak boleh pergi!” Bintang sedikit teriak dan mendekatiku. “Lho, kenapa Bin? Bapak kan juga punya cita-cita bisa terus sekolah seperti kamu. Biar bapak juga pintar kayak kamu. Makanya bapak ingin ke Amerika, di sana keren lho Bin.” “Gak! Pokoknya gak boleh! Bapak harus disini terus.” Kedua mata Bintang mulai berkaca-kaca. ….. ….. (Aku terdiam sejenak, menyadari bahwa aku salah telah mengaduk emosinya)
“Baiklah, kalau gitu bapak undur saja ke Amerikanya. Ntar kalau bintang udah lulus SD aja, baru bapak ke Amerika ya Bin.” aku memegang kedua bahunya, menatapnya, meyakinkannya. “Iya, tapi aku juga ikut bapak ya. Aku mau pergi jalan-jalan ke Amerika sama bapak. Aku juga ingin beli oleh-oleh.” Emosi Bintang sudah mulai normal kembali. “Okee Bin, lagian kamu kan masih punya hutang 5 ribu ke bapak. Kan belum kamu lunasi. Makanya bapak tunggu hutang kamu lunas dulu, baru kita pergi bareng ke Amerika ya,” ujaraku. “Iyaa, tapi bapak masih di sini kan? Ntar hutangnya gak aku bayar lho.” tegas Bintang. “Iya Bin, tenang aja..bapak akan masih jadi guru dan temanmu di sini, hehe.."
*******
(Tentang hutang Bintang sebanyak 5 ribu rupiah padaku ini terjadi saat outing class ke museum transportasi TMII hari Rabu lalu. Di salah satu toko souvenir, ia ingin sekali membeli sebuah mainan kerangka dinosaurus Teranodon. Sebuah mainan karet yang unik. Bentuknya sekilas seperti naga di film How to Train Your Dragon. Bintang menyebut mainan itu fosil naga. Bintang memang sangat tergila-gila dengan naga, dinosaurus, dan hewan-hewan mitologi lainnya. Beberapa bulan yang lalu, di kelas 3A, aku pernah bercerita tentang mitologi naga dan sejarahnya. Dan ini tampaknya begitu melekat dalam benak Bintang.
Saat itu ia lupa membawa uang. Ia ngambek, gak mau pulang. Duduk nelangsa di tangga bus outing class kami seperti orang dewasa yang berputus asa. Semua guru pendamping tak berhasil membujuknya. Bintang memang sangat teguh, kalau tak boleh dibilang ngotot terhadap hal yang diinginkannya. Akhirnya aku berlarian kembali ke toko itu. Membeli mainan itu untuk Bintang. Sehingga bintang mau pulang bersama kami.
Ia kuminta berjanji untuk membayar hutangnya kepadaku. Seribu rupiah cicilan seminggu. Bukannya aku pelit. Namun aku ingin mengajarkan Bintang tentang upaya mendapatkan suatu hal. Tak ingin memanjakannya dengan memberikan mainan itu secara cuma-cuma. Agar ia tidak menjadi manja dan menggampangkan sebuah proses mendapatkan apa yang dinginkannya. Bintang sepakat. Ia pun menepati janjinya dengan memberiku seribu rupiah pada hari jumat lalu. Caranya unik, saat aku duduk santai pada jam istirahat. Tiba-tiba ia memasukkan uang itu ke saku bajuku, dan berlarian lagi. “Pak, tinggal empat ribu lagi ya”, katanya berbisik. Takut ketahuan temannya. Hehehe. “Lho, gak 2 ribu aja skalian Bin, biar hutangya cepat lunas”, kataku sambil mengejarnya. “Katanya kan seribu seminggu Pak!” “Oh iya, maaf bapak lupa, tapi Bintang jangan lupa ya, minggu depan seribu lagi lho.” “Iyaaa..” katanya. Kutatap Bintang berlarian lagi ke lapangan, tak tahu mau main apa.)
*******
Begitulah. Ceritaku bersama Bintang Saloka. Si Anak Satu Miliar. Dimataku, ia dan anak-anak kami yang lain bahkan lebih berharga dari apapun. Mereka sahabatku. Aku merasa sungguh berharga bila bersama mereka. Aku bangga menjadi bagian kecil dan singgah sejenak di masa kanak-kanak mereka yang murni, tulus, dan penuh kasih cinta.
Apa ada lagikah, yang lebih membahagiakan di dunia ini (bagiku) selain peristiwa dan kisah-kisah seperti ini? Tak ada. Di usiaku tepat 27 tahun hari ini, aku patut lebih banyak bersyukur dan terus belajar, ke ‘sekolah’ yang bahkan lebih jauh dari Amerika sekalipun. Belajar menyelam ke ruang-ruang “sekolah hati dan jiwa anak-anak” kita.
NB: Dan tetap semoga aku bisa melanjutkan sekolah formalku kelak setinggi-tingginya. Aamiin.
Fauzan Fadri
24 Maret 2013
14:51 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar