Sabtu, 18 Januari 2014

Seharusnya Kita Merasa Beruntung Pernah Menjadi Mahasiswa



Tak dapat dipungkiri, meskipun saya kini sedang belajar menjadi seorang guru sekolah dasar, dimana ini saya pilih sebagai langkah awal gairah tujuan saya dalam berkarya, semenjak memasuki dunia kerja, sedikit banyak telah mulai memudarkan rasa yang selama ini saya bangun bersama kawan-kawan selama masih berkampus dulu. Kalau ini dibiarkan, maka akan sangat berbahaya.

Rasa itu adalah manifestasi dari sebentuk akumulasi kegelisahan seorang pemuda-pemudi biasa yang getir melihat nasib bangsa. Tak terhitung kali dulu kita mencaci-maki penyimpangan sistem yang ada, keinginan mendalam untuk  melakukan sesuatu bagi diri sendiri dan saudara/i sedarah kaum akar rumput. Kita membaca apa yang tak terbaca, berpikir apa yang tak hendak dipikirkan orang kebanyakan, membentuk forum diskusi walaupun itu cuma di kedai kampus saat kita bosan memasuki beberapa mata kuliah yang monoton, atau beradu argumentasi sengit di kamar-kamar kosan yang sempit dan pengap, hingga kita menjadi semakin merasa resah saat mengetahui lagi sesuatu yang salah dalam tatanan sosial. Terlebih karena kita merasa belum bisa melakukan apa-apa.

Dulu, seperti itulah surga kita. Yang akhirnya membulatkan tekad kita untuk tidak sepenuhnya berharap lagi untuk ‘bekerja kepada negara' , melainkan mengabdikan cinta terhadap bangsa. Karena sebuah negara bisa saja runtuh, tetapi bangsa, akan selamanya menjadi naungan dan tumpah darah kita bersama. Bangsa yang kita cintai, bangsa Indonesia.

Dunia kerja, dapat menjadi tiang gantungan! Keras saya katakan demikian. Kenapa? Karena bila telah hilangnya semangat muda serta gairah kita untuk mengaktualisasi diri sendiri, apa yang akan terjadi, kawan? Maka kita tak ubahnya adalah robot, yang lebih rendah derajatnya ketimbang makhluk melata. Atau kita akan menjadi patung-patung batu, seolah penghias halaman istana para tuan tanah feodal di jaman Belanda. Kini, kita memang tak ubahnya hidup di masa penjajahan baru yang ribuan kali lebih kejam. Jaman ini pikiran kita dijajah habis-habisan, kita didoktrin, kita menjadi korban mitos, kita hanya menemukan kata ‘Kebenaran’ di dalam kamus berdebu. Ya, memang! Ini rasanya seperti neraka kedua.

Lantas apa yang musti kita perbuat, kawan? Dunia kerja, jujur saja, (bisa saja) tak lebih merupakan ‘tempat suci para penyembah berhala' , dimana kita dibaiat menjadi hamba-hamba kapitalis. Kita mengejar harta, materialistis, rela menjadi tidak bahagia dengan hanya duduk di belakang meja, tak lagi banyak membaca, tak lagi senang berpikir. Hiburan kita bukan lagi membeli dan membaca buku-buku bagus, kita beralih kepada mall-mall tempat perbelanjaan, tempat-tempat hiburan, menghamburkan uang gaji sebulan yang kemudian raib sekejap mata. Kemudian keesokan harinya kita kembali menjadi robot usang di pabrik-pabrik pendegradasian moral berupa ruang-ruang ber-AC, atau menjadi patung batu lumutan di halaman istana para feodal berdasi!

Hilang, hilanglah sudah bara api yang memanas di dalam jiwa kita kawan, yang bara itu semestinya menjadi kobaran api semangat nan membakar jiwa kita untuk tetap bertumbuh sebagaimana layaknya kita sebagai MANUSIA. Kita tak lagi berpikir, kita tak lagi kritis, kita tak lagi bersitegang urat leher, kita tak lagi peduli kepada hal-hal kecil dan sederhana, kita tak lagi ingin berubah dan merubah, karena kita tak lagi membaca sekitar.

Sadarkah kawan, apakah kita ini telah mulai perlahan menjadi ‘golongan tua’ yang dahulu selalu kita kritik pedas, kita cemooh, lalu kita gulingkan? Kita yang kelak sudah tak muda lagi, mungkin akan lebih mendapat perlakuan kejam sebagai bahan cacian sinis anak-anak kita sekarang yang telah beranjak menjadi pemuda/i yang tentunya semakin banyak membaca dan berpikir dari kita hari ini.

Andai saja ini benar kawan, bila dengan menjadi 'pekerja' kita malah terbuai dengan pencapaian dan prestise semu bentukan kapitalisme, maka saya hanya bisa melemparkan sebuah pertanyaan sederhana: Kenapa jutaan kita, para pemuda/i bangsa yang besar ini, begitu semangatnya berlomba-lomba menuju “Tiang Gantungan” setelah susah payah mendapatkan gelar sarjana?!


Salam Damai,
Fauzan Fadri
03 November 2012
(saya dedikasikan tulisan ini kepada kawan-kawan, dosen, dan siapa saja yang menginspirasi selama kami berkampus dulu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar