Beberapa bulan yang lalu, tepatnya di akhir Januari 2012, saya bersama para sahabat sedang berkumpul dan melepas rindu sembari saling melempar wacana apa saja yang kami sukai. Saat itu saya baru saja pulang dari Makassar, Sulawesi Selatan, setelah melakukan penelitian Kemendiknas tentang proyek sekolah PAUD Universal. Selain ngopi dan menikmati kentang goreng di barak belakang PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Universitas Andalas, tentu saja kami seperti biasa membahas tema kesukaan kami seperti; dunia pendidikan dan anak, teater, analisa sastra, sufisme, filosofi hidup, aktivitas sosial, dan lain sebagainya.
Namun yang menjadi topik menarik kali itu adalah sebuah pertanyaan yang dilemparkan sahabat saya Eka Satiawan/wawan. Wawan adalah pekerja seni teater dan sutradara yang sedang naik daun di kota Padang. Tiba-tiba disela hangatnya perbincangan yang selalu terselingi canda tawa itu, Wawan nyeletuk : “Eh, ngomong-ngomong, cita-cita kalian apa?” Kami jadi tersentak, tak menyangka akan datangnya pertanyaan semacam itu, toh kami bukan murid sekolah dasar lagi yang sering ditanyai tentang apa cita-citanya.
Pertanyaan yang terlihat sepintas sederhana itu, sungguh sangat berat untuk kami jawab. Kebingungan juga terpancar dari raut wajah sahabat saya Wulan Andhayani Putri/putri, Elsy Slavia/elsi, dan beberapa sahabat lainnya.. Barangkali kami semua tanpa sadar sudah tak lagi memusingkan tentang cita-cita karena kesibukan dan aktifitas sehari-hari kami yang jauh lebih menarik ketimbang rasa ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, ataupun astronot seperti di film Armagedon.
Saya sendiri lupa dengan apa yang dijawab oleh Putri dan Wawan saat itu. Namun jawaban saya adalah: “Saya ingin memiliki sebuah sekolah/yayasan khusus anak-anak.” Jangan tanyakan tentang cara saya mencapai impian itu, karena saya sendiri saat itu pun bingung harus bagaimana memulai langkah menuju ke sana. Yang saya tahu hanyalah, saya mencintai dunia anak-anak dan pendidikan. Jauh dari lubuk hati, saya menyimpan harapan besar untuk tetap istiqomah terhadap impian saya. Padahal, ironisnya, saat itu saya sedang patah hati karena tidak lolos seleksi untuk menjadi Pengajar Muda (PM) dalam program Indonesia Mengajar. Salah satu syarat untuk mendaftarkan diri adalah usia yang dibatasi hanya sampai 25 tahun, sedangkan saya saat ini telah berusia 26 tahun. Sangat tingginya animo pemuda/i seluruh Indonesia, menjadikan persyaratan tersebut sebagai salah satu hal yang utama. Tapi memang itulah kenyataannya, saya tidak lolos seleksi tahap pertama, dan kemudian pulang ke Padang dengan perasaan kalah dan nelangsa.
Lalu, apa yang terjadi pada saya di bulan Mei ini?? Saya kembali berada di Depok. Ya, saya berada di kota yang telah membuat saya jatuh cinta sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini beberapa bulan yang lalu. Kampus UI, toko-toko buku bekas, lalu-lalang mahasiswa/i, adalah sedikit dari sekian banyaknya alasan kenapa saya senang sekali berada di sini.
Apa yang saya lakukan?? Saya melamar menjadi guru mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar. SDIT Darojaatul Uluum namanya. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) memang belum pernah saya ketahui keberadaannya di kota Padang sebelumnya. Saya memahaminya sebagai perpaduan antara sekolah umum dan madrasah ibtidaiyah, dengan menyadur konsep Multipple Intelligences. Ini adalah hal yang baru dan sangat sangat menarik bagi saya, terlebih setelah Elsy berpesan agar saya ‘mencuri’ ilmu di sekolah itu guna menyiapkan terkabulnya impian kami semua untuk memiliki sekolah sendiri suatu hari nanti, target sekitar 20 tahun ke depan.
Berbekal semangat dan harapan itulah, singkat kata, penuh tekad ‘kenekatan’, dengan hanya membawa beberapa helai baju dan sehelai celana bahan, saya berangkat menuju pulau Jawa pada hari Kamis tanggal 24 Mei 2012, keesokan harinya pada hari Jumat saya langsung menjalani proses administrasi, tes ibadah sholat dan mengaji. Kemudian menjalani micro teaching pada hari Selasa 29 Mei, dan dua sesi interview pada hari Rabu 30 Mei. Sekarang saya tinggal menunggu kabar dari pihak sekolah apakah saya lolos seleksi atau tidaknya. Besar sekali harapan saya untuk dapat menjadi bagian di sekolah tersebut, apalagi saat melihat anak-anak disana sangat cerdas, berani, kooperatif, dan penuh kreatifitas.
Di saat saya sedang mengajar (micro teaching), bahkan ada beberapa anak yang tidur-tiduran di lantai sambil memperhatikan pelajaran, ada yang duduk di kolong meja guru, ada yang selalu memegang raket badminton, ada juga yang menjadi ‘asisten’ saya untuk menghapus tulisan-tulisan saya di papan tulis (setiap saya menuliskan sesuatu, anak ini selalu menghapusnya kembali, hingga teman-temannya protes karena belum sempat menyalin tulisan saya).
Ya, mereka memang biasa ‘bebas seperti itu’. Bagi teman-teman yang belum pernah melihat langsung, pasti menganggap mereka anak-anak aneh dan susah diatur. Hmm, tapi jangan keburu menjustifikasi mereka ya.. Saya sendiri sama skali tidak kaget dan tidak pula merasa terganggu, bahkan pelajaran dapat dilalui dengan sangat menyenangkan. Rasanya saya seolah menyaksikan langsung cerita dalam novel Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela, karya Tetsuko Kuroyanagi.
Tiga hari belakangan ini, saya yang biasa dipanggil ‘Papau’ oleh para sahabat, sekarang dipanggil dengan sebutan “Pak Fauzan”. Sungguh sebuah panggilan yang membuat saya merasa terharu dan sempat menjatuhkan air mata dengan sembunyi-sembunyi karena saya takut diperhatikan anak-anak.
Semoga saya dapat senantiasa bertemu, bercengkrama dan belajar dengan/dari anak-anak. Amin.. Inilah cita-cita dan impian saya. Bagaimana dengan para sahabat?
Depok, 31 Mei 2012
Pukul 02:08 WIB
Fauzan Fadri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar