Sabtu, 18 Januari 2014

Puluhan Guru Cilik di Sekolah Kami : ‘How Learn to Learn’ Method

Siapa bilang murid hanyalah seperti cangkir, dan guru adalah teko yang berisikan air? Kalaupun ungkapan itu masih dibenarkan, pada kesempatan kali ini saya akan menyanggahnya. Maafkan bila saya tidak setuju dengan ini, kawan.

Perumpamaan di atas mengibaratkan proses transformasi ilmu dari seorang guru kepada murid-muridnya. Guru diibaratkan teko gemuk berisikan mata air ilmu pengetahuan. Dan murid hanyalah cangkir kurus yang harus diisi, tugasnya hanya menampung. Sungguh pasif.

Hemat saya, guru dan murid hanyalah simbol ‘jabatan’ atau status sosial belaka antara guru yang sudah dewasa dengan para murid yang masih belia. Dimana-mana orang paham betul bahwa yang lebih tua pastinya lebih kaya ilmu dan pengetahuan. Dan yang muda adalah anak bau kencur yang tak tahu apa-apa. Tapi ini tak selamanya terjadi. Disini juga berlaku hukum relatifitas. Saya akan mencoba mengurainya lewat cerita kami di sekolah bersama para murid kelas 5 hari ini.

Tahun ajaran ini sekolah kami punya kegiatan intrakurikuler baru, yakni pemantapan bahasa Inggris yang dilaksanakan setiap hari kamis siang sebelum pulang. Tahun lalu, kegiatan serupa masih berupa pelajaran ekstrakurikuler yang hanya diikuti oleh sekitar tigapuluhan anak-anak lintas kelas. Namun atas kebijakan pihak sekolah demi hasil yang lebih menyeluruh, maka kegiatan ekstra tersebut dilebur dalam bentuk mata pelajaran tambahan wajib. 

Tentunya ini adalah tantangan baru bagi saya yang kebetulan diamanahkan menjadi penanggung jawab bidang bahasa. Di sekolah kami hanya ada ada lima orang guru mapel bahasa Inggris saja. Dulu cukup gampang mengatur jadwal dan materi yang akan dibahas. Kini berbeda. Keduabelas kelas di sekolah kami, dari kelas 1 sampai 6 harus menggelar aksi pemantapan bahasa Inggris ini. Sempat bingung juga ketika saya membagi tugas ke semua wali kelas untuk mendelegasikan tanggung jawab ini. Bagaimana tidak? Sekolah kami adalah sekolah dasar Islam terpadu yang notabene justru hampir semua gurunya fasih berbahasa arab, bukan Inggris. Namun tak mungkin tugas ini harus dielakkan, bukan?

Lebih sebulan kegiatan intrakurikuler ini berlangsung. Tak sedikit saya mendapatkan curhatan dari guru-guru wali kelas lain yang merasa sedikit kewalahan. Sebabnya tak lain adalah masalah penguasaan kosakata dan pengucapan kata yang belum begitu dipahami para guru. Situasi ini sempat menjadi buah pikiran saya cukup lama. Namun hebatnya, para guru wali kelas di sekolah kami sangat bersemangat dan tetap antusias mendampingi murid-muridnya dalam belajar. Sementara saya yang sekaligus menjadi pendamping wali kelas 5, musti mengajarkan intrakurikuler di kelas ini. Kawan mungkin masih ingat note saya sebelumnya yang bercerita tentang surat protes dari anak-anak kelas 5 yang isinya meminta saya untuk lebih ‘memperhatikan’ mereka.

Sempat juga saya hampir kehabisan ide mencari solusi dimana pada satu sisi saya harus mendampingi kelas 5, namun di sisi lain para wali kelas yang lain juga meminta saya untuk mengisi pelajaran intrakurikuler ini di kelas-kelas yang lain. Ini mustahil. Tak mungkin saya membelah diri menjadi 12 pada saat yang bersamaan. Memasuki semua kelas di sekolah untuk memantau dan menyampaikan materi pelajaran bahasa Inggris dalam waktu yang tak lebih dari satu jam saja. Tentu saja saya bukanlah semacam amuba atau paramecium caudatum.

Namun sebuah kejadian yang (lagi-lagi) ajaib terjadi siang tadi di sekolah kami. Begitu saja terbersit niat saya untuk mengajak semua murid kelas 5 berkumpul di tangga pinggir aula sekolah. Ketika bel tanda dimulainya kegiatan intrakurikuler ini berdering, saya masih bingung memilih apakah tetap mengajar di kelas 5 atau mengunjungi kelas-kelas lain sesuai permintaan para wali kelas yang lain.

Setelah anak-anak kelas 5 yang selalu aktif dan energik namun tak jarang sangat kritis itu berkumpul dihadapan saya. Seketika muncullah sebuah tawaran dari saya kepada mereka:

“Anak-anak, apakah kalian mau menjadi asisten bapak?” tanyaku.

“Asisten, maksudnya asisten apa pak?”kata mereka antusias.

“Begini, kalian semuanya bapak jadikan guru bahasa Inggris hari ini. Tugas kalian adalah mengajar di kelas 1A, 1B, 1C dan kelas 2A, 2B, 2C. Silahkan bagi kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang!” jelasku lebih lanjut.

Anak-anak tampak berubah drastis dari yang tadinya tampak kecapean setelah sehari penuh belajar dan bermain, menjadi antusias sekali. Mereka berebutan memilih kelas yang ingin mereka masuki.

Akhirnya setelah mereka membagi kelompok, saya memilihkan kelas yang terdiri dari enam ruangan belajar yang nantinya mereka masuki.

“Untuk mengajar bahasa Inggris kepada adik-adik kalian nanti, kalian bisa menerangkan materi tentang jenis-jenis bentuk bangun datar. Setelah itu kalian boleh mengajak adik-adik kalian itu bikin latihan, membuat games, memberikan reward bagi adik-adik yang bersemangat, bahkan melawak di kelas.” Ujar saya lebih lanjut.


“Yes! Yes! Yes!” kata anak-anak kelas 5 tak sabaran ingin menghambur ke dalam tiap-tiap kelas.

“Eits, tunggu dulu! Sabar dong! Kalian kan sekarang jadi guru, jadi harus sabar ya..” kata saya.

“Nah, setelah itu kalian bisa mengajak adik-adik keluar kelas dan menemukan benda apa saja sesuai kosa kata tadi, misalnya clock berbentuk circle, picture berbentuk rectangle, floor berbentuk square, dan lain-lain terserah kalian..”

“Horeeeee!!! Ya, kami mengerti pak!”

Dan akhirnya anak-anak kelas 5 semuanya memasuki tiap kelas. Menjadi guru terhadap adik-adik kelasnya sendiri adalah pengalaman pertama mereka. Dari balik jendela-jendela kelas 1 dan 2, saya mengintip. Sesekali saya memasuki kelas-kelas itu dan memotret peristiwa ini. 

Sungguh ajaib! Anak-anak kelas 5 semangat sekali mengajarnya, seperti seorang guru profesional. Tampak bagaimana upaya mereka mengondisikan kelas 1 dan 2 yang biasanya aktif, mencoba menerangkan pelajaran, hingga melawak!

Nida, Ghizah dan Bilqiis terlihat kompak menjadi guru di kelas 1A. Bahkan Bilqiis yang biasanya sangat pemalu, tampak lebih sedikit berani menuliskan kosa kata bahasa Inggris di papan tulis sementara kedua temannya mencoba menerangkan pelajaran sambil berusaha menenangkan kondisi kelas.Dikelas lain ada Noval dan kawan-kawan yang biasanya ogah-ogahan menulis, kini malah sangat berjuang keras menjelaskan arti dan maksud kosakata itu kepada adik-adiknya.

Ada juga Ghoni dan kawan-kawan yang sempat kewalahan menenangkan adik-adik di kelas sebelah. Ia bilang ke saya, “Pak, saya kecewa sama kelas ini, adik-adiknya berisik semua!” Lalu saya bilang lagi, “Ghoni kan sekarang guru, jadi Ghoni harus sabar dong mengajarkan adik-adik. Harus senyum ya.”

Beberapa menit kemudian saya lihat dia kembali memasuki kelas itu dan kembali mengajar adik-adiknya.Lain lagi anak-anak kelas 5 seperti Esti dan Lala, mereka dikerubungi bagai gula oleh semut. Adik-adik di kelas 2 memeluk dan menarik-narik baju mereka, berebutan minta diajari oleh Esti dan Lala. Seru sekali melihat mereka menjadi guru rebutan adik-adik kelas mereka sendiri.

Ada pula Salma dan Nisa yang mengajak adik-adik keluar kelas. Mereka kini menjadi bersemangat sekali menjelaskan benda-benda apa saja di sekitar sekolahan dan bagaimana bentuknya dalam pengucapan bahasa Inggris.

Di sudut lain ada Rico dan kawan-kawan yang bahkan berinisiatif mengajak adik-adik kelas 1C membuat kereta-keretaan manusia sambil berkeliling mengeksplorasi benda apa saja di setiap sudut sekolah kami. Begitupun anak-anak kelas 5 lainnya yang asik, seru, dan seperti seorang selebritis yang selalu diikuti adik-adik mereka kemanapun mereka pergi.

Tadi siang itu halaman sekolah kami betul-betul riuh dan ramai seperti pasar tumpah. Aku bangga sekali melihat mereka yang dengan sabarnya meladeni setiap tingkah adik-adik mereka kelas 1 dan 2.

Tak terasa waktu berlalu dengan ceria. Bel berbunyi. Kelas interaktif inipun berakhir. Tapi bukan berarti anak-anak langsung pulang berhamburan. Banyak sekali adik-adik kelas 1 dan 2 yang seolah tak peduli dengan bel, tampak masih asik belajar bersama kakak-kakaknya. Berpegang-pegangan tangan, terlihat sangat akrab. Lala pun masih di peluk oleh ketiga adik kelas perempuannya dari kelas 1.

Setelah semua adik masuk kelas dengan sedikit kecewa untuk bersiap pulang. Kutanyakan kepada anak-anakku kelas 5 tentang bagaimana kesan mereka menjadi guru hari ini. Semua mereka berebutan bercerita dengan semangat kepadaku. Mereka bahkan minta mengajar seperti ini lagi di minggu depan. Minta ganti kelas. Bilang kalau kamis depan akan ngasih games lain ke adik-adik mereka. Bilang kalau mereka mau setiap hari menjadi guru lah. Bahkan ada yang sedikit memaksaku agar dia jadi guru di kelas lain pada hari Kamis depan sambil merengek-rengek. Hahaha, lucu sekali tingkah mereka.

Semua anak kuberikan acungan dua jempol dan kami tos bersama.

“Nah, kini kalian merasakan sendiri kan bagaimana menjadi seorang guru, harus sabar, gak boleh marah, harus bisa menarik perhatian murid, bahkan juga harus lucu, agar adik-adik kalian senang.” Kataku menutup pembicaraan..

“Iya pak, suara saya sampai habis tadi...hahaha” kata seorang anak kelas 5.


“Hahaha, tapi kalian pastinya senang kan?”pancingku..

“Iyaaa dooong pak! Seru banget! Besok kami jadi guru lagi yaaa...” ujar mereka kompak.

“Okeee....” jawabku sambil tertawa-tawa bersama mereka.


*****

Ya, begitulah kawan. Anak-anakku kelas 5, kelas Khalid bin Walid hari ini telah menjadi guru dalam artian yang sebenarnya bagi adik-adik kelas mereka sendiri. Mereka kini tahu bagaimana posisi guru ketika menyampaikan pelajaran, mengondisikan kelas, menarik perhatian siswa yang diajarkan, bagaimana mengendalikan emosi ketika ada siswa yang berteriak-teriak, bagaimana belajar menjadi sabar, dan lain sebagainya.

Disisi lain inilah yang kupahami sebagai proses ‘how learn to learn’. Tentang bagaimana proses belajar adalah untuk ‘belajar’ itu sendiri. Mengenalkan kepada anak-anakku kelas 5 bahwasanya kegiatan belajar itu juga bisa dilakukan ketika kita sedang mengajar.

Dan itulah hal sederhana yang saya lakukan selama ini di sekolah. Tentunya masih jauh dari sempurna. Namun dengan mengajar, saya juga belajar. Begitu pula dengan pengalaman anak-anak kelas 5 tadi siang. Dengan mengajar adik-adiknya, mereka sendiripun juga ikut belajar. 

Jadi, apa bedanya saya dengan murid-murid saya di kelas 5 itu? Tak ada bedanya kan, kawan?
Kami sama-sama mengajar sambil belajar. Sama-sama belajar menjadi insan pembelajar.


***** 

Fauzan Fadri

26 September 2013

Pukul 21:53 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar