Rabu, 3 Oktober. Tepat pada hari itu, dimulailah pertempuran dahsyat antara tubuhku dengan beberapa ekor penyakit. Diawali dengan radang telinga kanan dan disusul oleh pegal linu disekujur badan. Para penyakit sederhana alias remeh temeh ini sudah mengakrabiku bertahun-tahun lamanya.
Sifatnya kambuhan, selalu datang tanpa diundang. Kalau aku terserang flu dan sering membersit ingus dengan kuat, maka tunggu saja, tak berapa lama sang radang telinga akan bersarang di kepalaku. Kalau aku kurang istirahat dan senantiasa terbiasa telanjang dada saat tidur malam, ditambahi dengan kesibukan yang makin padat, maka hadirlah si pegal linu yang dengan perkasa mencengkramkan hegemoninya atas tubuhku yang kurus, layaknya sistem kapitalisasi asing yang merusak pasar regional. Sekali ia datang, jangan harap ia mau lekas menghilang. Lihat saja bagaimana liciknya George Soros menjatuhkan pangsa pasar asia pada pertengahan 1990an, sampai sekarangpun perekonomian bangsa kita masih jauh untuk dapat dikatakan pulih. Benar, si pegal linu adalah umpama George Soros di tubuhku! Sungguh-sungguh membuatku makan hati menanggung deritanya.
Penyakitku yang ketiga cukup misterius. Belum pernah kualami sebelumnya. Berupa bintik-bintik merah dan gatal serupa biang keringat diseluruh permukaan kulit. Mewabah tanpa terkecuali, melainkan pada kedua telapak tangan dan kaki. Mungkin dianggapnya semua permukaan tubuhku ini sebagai lahan ladang kerja romusha, dimana dengan semena-mena ia menanamkan bintik-bintik gatalnya dengan cara paksa. Tanpa disirami keringatpun ia tumbuh dengan sangat subur dan trengginas. Wabah bintik gatal ini tak menyisakan sejumput kulit kosong di tubuhku, semua dilibasnya, bahkan panu dan kutu airpun tak kebagian jatah kapling. Hehe.
Jum’at, 5 Oktober. Setelah hanya mampu tertidur dua hari dua malam di kamar kosan, hari itu aku memaksakan diri untuk ke sekolah karena ada tugas penting yang belum sempat kuselesaikan. Kebetulan pagi itu adalah jadwal piketku untuk bercerita di gazebo atas (sebuah aula besar serbaguna di lantai atas, tempat untuk sholat jamaah atau makan siang bersama) sebelum kami menunaikan ibadah sholat Dhuha. Aku hampir saja lupa, untunglah ustadz Tatang memanggilku dan menyerahkan sebuah mikrofon kecil. Dalam hati aku berfikir, “Aku akan bercerita apa ya?”.
Tiba-tiba (lagi-lagi ide yang keluar disaat-saat tak terduga) muncullah sebuah ide. Sedari pagi, anak-anakku sudah ramai menyapa dan menanyakan alasan ketidakhadiranku di sekolah selama 2 hari berturut-turut. Sebagian besar dari mereka ada yang sudah tahu bahwa aku sakit, mungkin diberi tahu oleh rekan guru. Sebagian anak yang lain ada yang masih belum tahu, bahkan ada seorang anak perempuan yang mengatakan bahwa ia merasa kelasnya tak mengasyikkan saat kemaren tidak belajar Bahasa Inggris denganku. Kendati hanya satu anak yang berkata demikian, hatiku sungguh senang alang kepalang. Selebihnya aku hanya membaca raut keceriaan di wajah-wajah polos mereka saat mengerubungiku seperti biasa. Nah, ide ceritaku bermula dari kejadian-kejadian kecil di atas.
Akupun mulai bercerita:
“Anak-anak, ada yang tahu apa alasan bapak tidak masuk sekolah 2 hari ini?”
“Karena sakiiiiiiiiiiiiiiiiiit paaak..”
“Bapak sakit apa hayo?”
“Demaaaaaaaam, fluuuuu, batuuuuuk, tipuuuus, jantuuuung, kusta!”
“Wuaduh, Masya Allah. Anak-anak, sakit bapak tidak separah itu. Alhamdulillah bapak tak mengidap penyakit tipus atau jantung. Kalau penyakit kusta itu sangat berbahaya lho, virus penyakit akan memakan organ tubuh kita, seperti ini (saya memeragakan wajah jelek dan mencong awut-awutan).”
Sebagian anak bergidik ngeri melihat wajah saya, yang lainnya malah tertawa-tawa.
“Semoga kita semua terhindar dari penyakit-penyakit berbahaya tersebut. Amin.”
“Baiklah, bapak akan menceritakan tentang penyakit bintik-bintik gatal ini.”
Saat itu saya memakai jaket tebal, dan memperlihatkan bintik-bintik merah pada tangan saya yang hampir sembuh kepada mereka.
“Nah, bapak punya 3 dugaan tentang penyakit bapak ini lho.”
“Dugaan pertama, penyakit DBD, namun setelah kulit tangan ini bapak regangkan dengan jemari, bintik merahnya memudar dan hilang. Berarti bapak tidak terkena DBD”
“Dugaan kedua, penyakit cacar air. Bintik pada cacar air biasanya berukuran lebih besar dan mengandung air. Lagi pula dulu ketika seumur kalian, bapak sudah pernah terkena cacar. Jadi, insyaAllah bapak tak akan terkena cacar lagi karena tubuh telah membentuk sistem imun”
“Lantas, tahukah kalian apa dugaan bapak yang ketiga?? Ada yang tahu??”
Anak-anak terdiam.
“Dugaan bapak adalah: diguna-guna!!!” “Ada yang tau apa itu guna-guna?”
Anak-anak menggelengkan kepala.
“Guna-guna adalah penyakit yang dikirimkan orang yang jahat melalui seorang dukun yang bekerja sama dengan syetan”
“Wuuiiih…..wuuiidiiiiiih…” anak-anak bergidik ngeri.
Sayapun langsung melanjutkan cerita.
“Namun, ada 2 syarat utama agar kita tak pernah diguna-guna.”
“Yang pertama kita harus selalu rajin beribadah, karena syetan sangat takut kepada orang yang selalu ingat kepada Allah.”
“Tentu kalian selalu tak lupa sholat dan mengaji kan?”
“Iyaaaaaaa”…mereka menjawab kompak.
“Baguuuuuus, Mantaaaab. Kalian memang anak luar biasa!”
“Nah, syarat yang kedua adalah : kita harus senantiasa bahagia dan tersenyum.”
“Kenapa bisa begitu?”
Anak-anak terdiam.
“Coba deh, siapa diantara kalian yang pernah melihat syetan?”
Banyak diantara mereka mengacungkan tangan.
“Syetan apa saja?” Saya bertanya kembali
“Pocoooong, kuntilanak, tuyul, genderuwo, nenek gayung, kakek cangkul, paaaaaak”
“Hahaha, nenek gayung dan kakek cangkul juga syetan ya?”
“Iya paaaaaaaak”
“Hehehe, baiklah. Nah, pernahkah kalian melihat mereka tersenyum manis”
“Tidaaaaaaaaak”
“Kalian tahu kenapa? Adalah karena mereka tak punya rasa kebahagiaan, sebab mereka sudah dijanjikan Allah menjadi penghuni neraka kelak. Makanya wajah mereka selalu menyeramkan”
“Kalau kita bersyukur, selalu senyum dan berbahagia, maka syetan tak akan mau berteman dengan kita. Mereka akan menghindari kita. Makanya mulai saat ini, selain rajin beribadah, mulailah untuk selalu bahagia dan tersenyum. Apakah kalian mau berjanji??”
“Maaauuuuu……”
“Oke, nah, ikuti perkataan bapak berikut ini ya:
Saya berjanji akan selalu bahagia dan tersenyum setiap hari walaupun apa yang terjadi!”
“Saya berjanji akan selalu bahagia dan tersenyum setiap hari walaupun apa yang terjadi!”
“Ulangi sekali lagi!”
“Saya berjanji akan selalu bahagia dan tersenyum setiap hari walaupun apa yang terjadi!!!”
“Trimakasih anak-anak. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu…”
Dan bel tanda dimulainya sholat Dhuha pun berdering nyaring. “Teeeeeeeeeeeetttttt!!”
***********************
Senin, 8 Oktober. Lalu, apa kabar dengan penyakit misteriusku? Hari ini aku kembali tak masuk sekolah. Setelah bertanya sana sini, kesimpulannya adalah: aku menderita masuk angin yang akut. Inilah yang jadi penyebab muasal menjamurnya bintik merah gatal di sekujur tubuhku.
Alhamdulillah, tadi siang Pak Asep, bapak kosanku, bersedia meluangkan waktunya melukiskan tato di sekujur punggungku. Alhasil tampangku bukannya jadi seseram anggota geng Yakuza, melainkan terlihat konyol sekali. Dari pundak hingga pinggangku muncul garis belang-belang merah menghitam, seperti siluman harimau ompong. Aku di kerok/dikerik. Ya, di kerik!
Dengan uang keping 500an, tanpa berperi-kemasuk-anginan, Pak Asep menggilas seluruh permukaan punggungku. Rasanya jangan ditanya lagi. Sungguh sakit tak terperi! Seumur-umur baru kali ini aku dikerok. Sekujur permukaan kulit punggung berubah warna menjadi merah. Perih seperti terbakar. Kata Pak Asep, penyakit masuk anginku sudah sangat parah. Kalau tak segera ditangani malah bisa jadi penyakit angin duduk yang dapat membawa maut. Aku yang awam dengan ilmu kedokteran, dan trauma bila mencium aroma klinik dan jarum suntik ini hanya bisa mengamini apa yang dikatakan dan dilakukan Pak Asep Sang Saviour.
Hampir satu jam lamanya aku meringis menahan sakit, pura-pura kuat layaknya seorang lelaki jantan, padahal dari sudut mataku sudah dari semula terpecak air mata ingin menangis. Amboi..!!! Ternyata beginilah rasanya dikerik pertama kali.
Dan…Alhamdulillah, malam ini aku mulai berangsur pulih serta dapat menuliskan cerita ini. Semoga aku besok bisa kembali sekolah. Bertemu kembali anak-anakku. Aku teramat rindu mereka, dalam tidurpun mereka terbawa-bawa mimpi. Sungguh! Merekalah anak-anakku yang bukan milikku sendiri. Merekalah anak-anakku yang membuat rindu saban hari. Merekalah anak-anakku yang tak bisa kubawa pulang ke rumahku sesuka hati. Karna tentu orang tua mereka akan memarahiku. Hehehe.
NB:
Dan yang menerbitkan ideku untuk menulis malam ini adalah sosok gadis kecil luar biasa pintar bernama Bulan, salah satu anak kelasku. Kenapa Bulan? Karena Tanggal 1 kemaren ia baru saja berulang tahun yang ke 9. Tak ada perayaan apapun di kelas kami. Setelah membacakan Al-fatihah dan doa bersama-sama untuk Bulan, jam terakhir setelah pelajaran Bahasa Inggris tempo hari, kubagikan ke masing-masing anak sebatang snack coklat sederhana. Teristimewa Bulan, ia kuberi 2, yang satu untuk saudari kembarnya Bintang di kelas sebelah. Itu pun bukan dalam rangka ultah, melainkan janji reward yang kutunaikan karena mereka sekelas telah rajin belajar selama ini.
Fauzan Fadri
Senin 8 Oktober 2012
Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar