Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT).
Apa yang terbersit dalam benak kawan-kawan setelah membaca nama tersebut? Semacam pesantren modern kah? Atau sekolah dasar khusus agama Islam ‘saja’ kah? Lantas apa bedanya dengan Madrasah Ibtidaiyah? Secara sederhana, SDIT merupakan sebentuk sekolah terobosan yang menurut saya sangat menarik, terlebih saat kita sama mengetahui bahwa pendidikan usia dini tidak hanya perlu menekankan aspek pendidikan kepada pengetahuan yang bersifat umum semata, namun juga pendidikan karakter, akhlak dan ibadah. Dimana Al-Quran dan Sunnah terintegrasi ke dalam pendidikan di sekolah, yang notabene menjadi inti dan pedoman serta sumber tertinggi dari segala keterampilan, ilmu pengetahuan, dan kemampuan akademis.
Hmm, mungkin saja ini terdengar utopis bagi sebagian orang yang sedikit sekuler ataupun apatis, namun saya tak menyalahkan apapun pendapat/opini mereka tentang konsep SDIT ini. Bagaimanapun saya tetap menghargai pendapat pribadi mereka dan kawan-kawan sepenuhnya. Peace upon us all, note it! Dan paling tidak, menurut saya sendiri, banyak ilmu baru yang saya peroleh semenjak 5 bulan bergabung menjadi sahabat anak (baca: guru) di salah satu SDIT kota Depok.
Inilah kisah kedelapan tentang pengalaman selama saya di sekolah. Sebelumnya, sedikit mengingatkan kembali bahwa latar belakang pendidikan saya bukankah keguruan, ataupun pesantren, tak pernah pula secara formal mempelajari pendidikan anak usia dini, apalagi psikologi. Jadi mohon maaf bila ada sedikit kesalahan saya dalam menyikapi/menjalankanpassion terbesar saya terhadap dunia anak dan pendidikan ini.
Ya, saya hanyalah bekas mahasiswa jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Seorang yang akhirnya lolos dari lubang jarum, berwisuda dibawah ancaman DO, dikarenakan kebetahan saya “memakai jaket almamater” selama hampir 7 tahun. Major saya adalah Sastra, bukan Linguistik (kajian bahasa), dimana saya pun sempat (sedikit) mempelajari filsafat di bangku kuliah.
Dan skripsi sederhana saya membahas tentang feminisme, dimana saya mencoba mengungkap tabir gelap tentang betapa hebatnya sistem patriarki yang menciptakan mitos dan doktrin-doktrin yang secara tidak langsung telah memahat-cengkramkankanhegemoninya kepada mindset kita. Tak hanya kepada para lelaki, namun juga kepada perempuan itu sendiri, tak terkecuali terhadap seorang aktivis perempuan terkenal sekelas Arundhati Roy sekalipun! Hegemoni dan jejaring sistem patriarki memanglah sebuah bahaya laten yang harus selalu kita kritisi demi terciptanya keadilan hak-hak perempuan.
Terkait dengan wacana singkat di atas, berikut ini kisah kejadian di sekolah kami. Hari Jum’at tanggal 19 Oktober kemarin, saya bercerita tentang sejarah nabi Adam dan Siti Hawa kepada anak-anak kelas 3A (selain menjadi guru wali kelas pendamping kelas 3B, saya juga mengajar Bahasa Inggris di Kelas 3A dan kelas 4).
Tentunya dengan maksud mengenalkan dasar-dasar feminisme, filsafat sederhana, dan menanamkan rasa kepedulian sosial kepada anak-anak saya. Begini ceritanya:
“Anak-anak, siapa yang tahu nama bapak nabi Muhammad?”
“Abdullaaaah….”
“Bagus anak-anak! Nama beliau Abdulllah, seperti nama Pak Haji Abdullah kita (pemilik sekaligus pembina yayasan sekolah kami, beliau orangnya sungguh humble dan berhati mulia, lain kali akan saya ceritakan kisah tentang Pak Haji Abdullah yang sangat mencintai anak-anak itu kepada kawan-kawan) nah, sekarang siapa nama bapak nabi Ismail?”
“Nabi Ibrahiiiiiim…”
“Luar biasa pintar! Lalu siapa nama bapak nabi Adam??”
“Abu Thalib…….”
“Mikaiiiiiiil…”
“Allaaaaaaaah”
“Wah wah wah, maaf jawaban kalian kali ini salah, nabi Adam tidak memiliki ayah, karena beliau langsung diciptakan Allah sebagai manusia pertama. Allah juga menciptakan Siti Hawa sebagai pasangan/istri nabi Adam .”
Kemudian, mulai mengalirlah cerita saya tentang kisah nabi Adam dan Hawa, berikut pandangan ‘feminisme’ dalam kacamata Islam. Beginilah kira-kira kisah singkatnya:
“Anak-anak, hari ini sebelum belajar bahasa Inggris, bapak akan bercerita tentang penyebab awal mula nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi. Dahulu kala, Adam dan Hawa tinggal di syurga, apapun yang diminta akan dipenuhi Allah, hidup di syurga sungguh senang. Tak ada perasaan sedih dan galau di syurga. Kalau seandainya nabi Adam minta play station 3, pasti langsung diberikan Allah. Kun faya kun! Kalau misalnya saja Siti Hawa minta boneka beruang ataupun Barbie, pasti diberikan Allah langsung sekejap mata.
Ting!! Maka keluarlah beraneka boneka.”
“Waaaaaaaaaaah….asiiiik..seruuuuuu!!” , anak-anak mulai antusias, tentu tak ketinggalan pula celoteh-celoteh tanggapan polos mereka disepanjang cerita, ada anak yang mau naik pesawat ke bulan, ingin makanan enak sepuasnya, atau berenang sesuka hati di sungai taman syurga.
“Nah makanya kalian harus rajin beribadah, patuh kepada orang tua, dan sayang sesama teman. Agar nanti kalian bisa masuk syurga dan mendapatkan apapun yang kalian pinta. Oke, bapak lanjutkan ceritanya ya. Hmm..namun ada satu syarat, Allah melarang nabi Adam dan Hawa memakan buah Kuldi yang ada di Syurga. Jika mereka memakannya, maka Allah akan memindahkan mereka ke bumi. Singkat cerita, nabi Adam melanggar perintah Allah tersebut, sehingga mereka dilempar ke dunia ini.”
“Dahulu, sebelum agama Islam muncul dan Al-quran masih belum ada. Kebanyakan orang menuduh bahwa dibuangnya nabi Adam dan Hawa disebabkan oleh rayuan Siti Hawa. Oleh bujukan Hawa, Adam memakan buah Kuldi. Hal ini menyebabkan orang-orang tersebut membenci Hawa. Ini menyebabkan mereka akhirnya juga membenci perempuan karena dianggap hanya bisa merayu dan membawa keburukan. Perempuan dicap jelek dan selalu ditindas. Terlebih disaat zaman jahiliah. Padahal ibu mereka adalah perempuan juga.”
“Setelah Nabi Muhammad menerima wahyu berupa Al-quran, maka dijelaskanlah dalam Al-quran dengan rinci bahwa sesungguhnya yang membujuk mereka (Adam dan Hawa) adalah syetan. Dengan liciknya, syetan membisiki Hawa agar merayu Adam. Maka Allah memberikan hukuman kepada Adam Hawa, dibuang ke bumi karena tipu daya syetan. Nabi Adam dan Hawa menyadari kesalahannya, dan Allah Maha Adil, maka tobat mereka diterima Allah. Namun tentu saja Adam Hawa tetap menjalani hukuman. Sama halnya bila kalian ngobrol dan becanda saat sholat di gazebo, tentu juga mendapat hukuman disuruh membaca istighfar atau menyalin ayat Al-Baqarah, kan?? Nah begitu pula dengan Adam Hawa, ada hukumannya juga, tujuannya agar dapat menyadari kesalahan dan menjadi lebih baik.”
“Jadi kesimpulannya, Hawa adalah korban, sama seperti nabi Adam. Korban bujukan syetan. Islam sungguh memuliakan perempuan. Nabi Muhammad pun mengatakan mencintai Ibu 3 kali, sedangkan ayah 1 kali.”
“Sekarang bapak tanya kalian ya, siapa yang lebih kuat?? Lelaki atau perempuan?? ”
“Laki-lakiiiiiiiiiiii….! Otot saya kuat pak! Saya bisa nendang dan ninju pak! Saya bisa angkat meja pak!”, begitulah jawaban kompak dari semua anak laki-laki di kelas.
“Perempuaaaaaaaan!!!”, jawab Miss Ovie tiba-tiba, wali kelas 3A sahabat saya, yang kebetulan juga berada di kelas, dan ikut mendengarkan cerita saya dari awal tadi. Sedangkan anak-anak perempuan kami hampir tak ada yang berteriak menjawab bahwa diri mereka kuat. Semua anak perempuan menganggap dirinya lemah secara fisik.
“Oke, apakah Miss Ovie bisa menyebutkan alasan kenapa perempuan lebih kuat? ”, saya balik menanyakan.
“Karena orang yang paling kuat adalah orang yang bisa menahan amarahnya, jadi perempuan itu kuat!!” , begitu jawaban Miss Ovie lantang.
“Hmm, jawaban Miss Ovi itu benar, tapi belum tepat, karena laki-laki kan juga bisa menahan amarahnya” , saya menimpali dengan senyuman.
“Nah, anak-anak, menurut bapak, perempuan adalah manusia yang paling kuat. Kenapa?? Coba kalian bayangkan saat ibu kalian hamil dulu. Wah, jujur saja, kalau seandainya bapak yang hamil, tentu bapak gak kuat berjalan kaki ke sekolah tiap hari sambil membawa perut besar. Dan itu selama 9 bulan!! Luar biasa, kan!”
“Apakah Carel bisa main bola dengan perut hamil? Atau apakah Agil bisa bermain angry bird sambil tengkurap jika perutnya genduuuuuuuuut?”
“Hahaha…hahaha…” , semua anak kami kembali tertawa-tawa sambil membayangkan teman mereka Carel dan Agil, tentu saja masih diikuti celotehan khas anak-anaknya.
“Ya, makanya kalian harus menyayangi sesama, juga menghargai teman perempuan, karena kalian yang laki-laki dan perempuan sama-sama kuat. Dan kekuatan yang sesungguhnya ada di dalam otak dan hati kalian. Siapa yang pintar, suka membaca dan rajin belajar, tak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan, maka dia adalah orang kuat. Siapa yang penyayang dan peduli sesama teman, membantu teman yang kesusahan, rajin membantu orang tua, maka ia menjadi lebih kuat lagi.”
“Perempuan dan laki-laki sama-sama hebat. Sama-sama perkasa. Sama-sama cerdas. Dan harus sama-sama rajin beribadah.”
“Apakah kalian setuju? ”
“Setujuuuuuuuu paak..”
“Oke, mulai sekarang berjanjilah, kalian yang laki-laki tak boleh lagi berantem dan memukul teman perempuan ya. Kalau lelaki sama lelaki boleh main pukul-pukulan, tapi syaratnya kalian harus menjadi petinju di ring dulu ya. Atau kelak bila kalian dewasa, dan jadi polisi atau hakim yang jujur, bapak akan sangat senang dan bangga bila kalian bisa ‘memukul’ para koruptor di pengadilan. Okeee!”
“Okeee paaak…..”
Dan pelajaran bahasa Inggrispun dimulai.
********************
Di banyak hari lainnya, dengan media infokus, di sela-sela pelajaran, saya juga sering menyelipkan tontonan video tentang anak-anak korban perang dan kelaparan yang ada dibelahan bumi lain kepada anak-anak saya di kelas.
Sembari menjelaskan apa yang terjadi, dengan diiringi oleh rasa antusias dan penasaran mereka terhadap video menyedihkan tersebut, saya selingi juga dengan penanaman rasa syukur atas betapa beruntungnya mereka dibandingkan anak-anak korban perang dan kelaparan itu. Dan agar timbul rasa kepedulian mereka kepada sesama manusia dan sekitar. Anak-anak sekolah kami yang rata-rata berasal dari kalangan mampu itu pun mulai sedikit banyaknya belajar ‘melihat dengan mata yang lain’.
Ya, semoga saja cerita-cerita yang saya sampaikan dan tayangan film/video itu ada manfaatnya bagi anak-anak sekolah kami tercinta. Amin..Amin..Amin..
Fauzan Fadri
Pada suatu sore, 21 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar