Pada dasarnya saya adalah tipikal orang yang senang bercerita, mungkin boleh dibilang sedikit cerewet, tapi saya menyadari bahwa ada kepuasan tersendiri saat menceritakan pengalaman sehari-hari yang saya rasa cukup menarik tentang apa saja yang saya alami, terlebih kepada para sahabat yang telah mengenal saya seperti apa adanya saya dulu, sekarang, dan nanti di kemudian hari.
Dalam kesempatan kali ini, saya akan menceritakan tentang kronologis peristiwa selama saya mengikuti tes untuk menjadi guru bahasa Inggris di Sekolah Dasar Islam Terpadu Darojatuul Uluum, Depok.
Pada tanggal 19 Mei 2012 yang lalu saya mencoba apply lamaran ke sekolah tersebut via email, saya hanya mengirimkan surat lamaran dan daftar riwayat hidup tanpa menyertakan hasil scan ijazah dan transkrip nilai. Tak diduga-duga, hanya beberapa hari setelahnya, Rabu tanggal 23 Mei saya ditelepon oleh seorang lelaki dari pihak sekolah, namanya Pak Ulil Amri. Saat itu ia menanyakan dimana keberadaan saya, saya pun langsung menjawab bahwa saya sedang berada di Padang. Bapak yang bersuara ramah dan terkesan profesional itu mengatakan bahwa saya dimintai untuk menjalani tes pada hari Jumat tanggal 25 Mei, ini berarti hanya dua hari setelahnya.
Saya pun menjawab dengan nada santai seperti biasanya: “Oke deh pak, insyaAllah saya akan datang, malam ini saya akan pesan tiket, makasih atas infonya ya pak.” Belakangan setelah datang ke sekolah, saya baru menyadari bahwa bapak yang saya kira salah satu staf resepsionis sekolah tersebut, ternyata adalah sang Kepala Sekolah itu sendiri!! Saya jadi sempat berpikir: “Wah, kenapa saya tadi tidak berbicara lebih elegan dan sedikit mendayu-dayu ya?” Tapi ya begitulah, saya terbiasa apa adanya dan menjadi diri saya sendiri, selama pada prinsipnya saya tak bermaksud mengganggu atau menyakiti orang lain.
Singkat cerita, Jumat siang itu, dengan diantar adik saya Tika (setelah ini Tika langsung pulang karena ada janji bimbingan skripsi dengan dosen), kami sampai di sekolah yang lumayan jauh dari kosan saya yang berada di Pocin (Pondok Cina). Kami harus ‘ngeteng’ tiga kali naik angkot dan sekali naik ojeg yang ongkosnya nauzubillahi minzalik, 5 ribu rupiah yang harus kami bayarkan untuk satu orang dari gang depan sampai gerbang sekolah, saya taksir jaraknya tak sampai satu setengah kilometer, padahal dengan hanya jarak yang segitu saya terbiasa berjalan kaki. Memang keseharian saya selama di Padang selalu diisi dengan ritual naik angkot dan berjalan kaki kemanapun saya bepergian. Tanpa memiliki kendaraan pribadi.
Setelah sholat Jumat, saya pun memasuki sekolah yang dari luar hanya terlihat seperti ruko dua petak tersebut, tapi didalamnya, wah sungguh mengagumkan dalam pandangan mata saya. Dalam lingkungan sekolah yang tiga lantai itu ada ruang-ruang kelas, ruang guru yang rapi dan ditata apik seperti meja taman kanak-kanak (meja rendah selutut dengan kursi kecil), mushola, taman, lapangan basket, gazebo, kolam ikan, dan yang teramat penting, puluhan anak-anak ceria yang bermain dan berlarian ke sana ke mari.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengisi biodata, daftar pengalaman kegiatan, kerja, dan lain sebagainya pada beberapa helai kertas yang diberikan oleh Pak Ulil (bukan resepsionis) sang Kepala Sekolah yang ramah. Kemudian saya dimintai untuk menjalani tes ibadah. Nah, inilah yang selalu menghantui saya semenjak masih berada di Padang. Saya mengakui dengan sadar bahwasanya saya belum tahu bagaimana caranya mengaji dengan irama tertentu, bacaan Al-Quran saya pun tak bisa dibilang sangat fasih, masih ada sedikit terpatah-patah. Begitu pula dengan bacaan sholat saya yang biasanya selalu saya lafaskan dengan tempo yang sangat cepat, seringkali tanpa tuma’ninah. Ini memang kurang baik.
Tes mengaji yang saya jalani bersama Pak Nur, seorang penghafal Alqur’an, berjalan dengan (ya, seperti yang bisa teman-teman bayangkan) agak kikuk, keringat bercucuran di dahi, punggung, badan, dan ketiak. Setelah mengaji, saya ditanyai tentang hafalan ayat pendek, saya pun menjawab biasanya ketika sholat, ayat favorit saya adalah surat Al-Kafirun, Ayat Kursi, An-Nas, dan tentu saja Al-Ikhlas. Saya dimintai melafalkan surat Al-Kafirun. Dalam hati, saya merasa sangat senang karena tidak disuruh membacakan Ayat Kursi yang agak panjang itu.
Saya khawatir, dalam keadaan grogi tingkat tinggi, bacaan saya bisa saja salah, melenceng kemana-mana, bahkan lupa. Saya jadi teringat dahulu semasa SMP pernah dimintai mengaji ke depan kelas oleh guru agama, karena saking groginya, sebelum membaca ayat Al-Quran, saya memulainya bukan dengan lafal bismillah, melainkan ucapansadaqallahul’azim!! Ini sangat memalukan, kawan! Saya ditertawai oleh seantero kelas, bahkan ejekan teman-teman sampai bertahan beberapa minggu ke depannya. Sungguh sebuah pengalaman yang teramat traumatis dan setelah ini tak akan pernah mau saya ingat-ingat lagi.
Walaupun demikian, saya tetap memperlihatkan rasa antusias saya kepada Pak Nur dalam belajar mengaji. Ia berkata, nanti pasti akan lancar sendiri, karena kebiasaan semua guru di sekolah ini pagi hari sebelum masuk kelas adalah melakukan ngaji bersama bergiliran, sesiapa yang salah dalam mengaji, akan diperbaiki oleh guru lainnya. Penjelasan ini membuat saya kembali bersemangat.
Tes berikutnya adalah peragaan sholat bersama Pak Sudirja, yang juga saya ketahui belakangan saat wawancara terakhir, bahwa beliau adalah ketua yayasan. Beliau meminta saya memperagakan cara berwudu’ dan tayamum. Alhamdulillah saya bisa. Kemudian ketika saat memperagakan sholat, saya tidak membacakan doa iftitah. Pak Dirja, begitu beliau biasa disapa, menanyakan kenapa saya tidak membaca iftitah. Saya menjawab dengan diplomasi, “Tadi kan bapak meminta saya memperagakan sholat seperti kebiasaan saya sehari-hari, ya beginilah pak, kebiasaan sholat saya sehari-hari.” Lalu, dengan bijaksana beliau menerangkan bahwa hukum membaca iftitah adalah sunat muakad, yang sebaiknya harus dibaca agar sholat lebih sempurna. Tapi saya tidak seratus persen salah karena saya tidak membaca iftitah. Dalam hati saya berpikir, ya ini memang kesalahan saya yang masih malas menjalankan ibadah. Sama halnya dengan kesan yang saya perlihatkan kepada Pak Nur, saya juga dengan antusias mendengarkan nasehat dari Pak Dirja, dan berjanji dalam hati, nanti di kosan saya akan memperbaiki sholat saya.
Setelah menjalani tes ibadah, saya tidak langsung pulang, saya berkeliling dulu melihat-lihat suasana sekolah, karena kesempatan berada di sekolah yang menarik ini tak mau saya sia-siakan. Siapa tahu saya tak lulus karena ibadah saya yang masih amburadul itu. Jadi inilah satu-satunya peluang saya berlama-lama di sekolah, mungkin untuk terakhir kalinya. Ketika sedang asik membaca mading siswa, saya tiba-tiba dihampiri oleh Pak Ulil (bukan resepsionis) sang Kepala Sekolah yang ramah. “Pak fauzan, nanti akan dikabari lagi ya untuk tahap selanjutnya”, begitu katanya. Akhirnya saya menyalami beliau dan berpamitan untuk pulang. Kali ini saya tak lagi naik ojeg, tapi berjalan kaki sampai ke gang depan sembari merenungi pengalaman tes barusan. Dalam perjalanan kaki itu, saya bertemu seorang bapak tua dan mengajaknya bercerita, dengan maksud implisit agar saya juga dapat menanyakan arah yang tepat menuju gang depan. Pertama kali ke sana memang membuat saya bingung dengan banyaknya gang kecil yang berkelok-kelok, apalagi dengan kemampuan spasial saya yang tergolong rendah.
Singkat kata, Selasa 29 Mei, saya menjalani tes micro teaching setelah sebelumnya mengirimkan RPP materi ajar saya (tentang arah mata angin) ke email sekolah. Inilah tahap yang paling saya tunggu-tunggu. Berada langsung di depan kelas, diantara anak-anak yang ajaib, adalah momen langka dan luar biasa dalam hidup saya. Memang sebelumnya saya pernah berhadapan dengan ratusan anak korban gempa Padang-Pariaman 2009 dan puluhan anak korban gempa Pasa Puat, Pagai Utara, Kepulauan Mentawai pada 2010. Namun, tentu saja atmosfirnya sangat berbeda ketika melaksanakan program trauma healing di lapangan dengan berada dalam ruangan yang berisi 24 orang anak kelas 3 SD. Alhamdulillah proses ini saya jalani dengan sangat fun. Kata sang wali kelas, Bu Ovi, melalui sms ke Tika, “personal touch saya terhadap anak-anak sangat bagus, bahkan beberapa anak yang tergolong “aktif” di kelas, meniru-nirukan gaya mengajar saya yang mereka anggap lucu. Namun, saya harus lebih banyak belajar lagi untuk menjadi seorang guru yang baik.” Kabar ini membuat saya makin bersemangat.
Keesokan harinya, Rabu 30 Mei, saya menghadapi dua sesi wawancara. Sesi pertama bersama Pak Ahmad (kalau saya tak salah ingat), interview ini saya anggap sebagai diskusi saja, apapun yang beliau tanyakan, saya jawab dan deskripsikan dengan cara saya sendiri. Pertanyaan-pertanyaannya lebih kepada latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi, kegiatan-kegiatan sosial dan kesenian yang pernah saya ikuti, dan lain sebagainya. Sesi kedua, kembali bersama Pak Dirja, beliau hampir menanyakan hal yang sama, namun saya kira mungkin lebih kepada ‘penelitian’ terhadap motivasi saya untuk menjadi bagian di sekolah tersebut. Saya ceritakanlah semua alasan mengapa saya menyukai anak-anak dan dunia pendidikan. Saya bahkan memulai sejarah penceritaan tersebut sedari saya masih anak-anak, masa sekolah, kuliah, berkegiatan kampus dan luar kampus, dan menerangkan alasan yang menjadi titik tolak mengapa saya mencintai dunia anak dan pendidikan, walaupun latar belakang akademis saya bukanlah keguruan.
Semua pertanyaan saya jawab saja. Pertanyaan beliau yang tidak saya ketahui tentang apa itu kurikulum, ya saya bilang saja saya belum tahu. Kemudian beliau menjelaskannya kepada saya, berikut profil, visi, dan misi sekolah. Poin penting yang selalu saya tunjukkan adalah rasa antusias, kemauan untuk belajar, dan ‘positive face’ , dimana saya sering senyum dan mengajak beliau tertawa.
Akhirnya, hanya berselang dua hari setelah sesi wawancara, Jumat 1 Juni 2012, tepat seminggu saya berada di kota Depok, saya ditelepon kembali oleh Pak Ulil sang Kepala Sekolah. Beliau mengatakan, berdasarkan hasil rapat pleno dewan guru dan pihak yayasan, saya diterima menjadi bagian SDIT Darojaatul Uluum sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris. Alhamdulillah.
NB:
Terimakasih tak terhingga untuk semua Guru, para sahabat, dan siapa saja yang telah mendukung saya agar senantiasa bersemangat. Perjuangan baru saja dimulai! Proses belajar tak kan pernah selesai! Semangat!! :D
Depok, 4 Juni 2012
Pukul 13:51 WIB
Fauzan Fadri
assalamualaikum, ternyata pak guru yang satu ini memendam potensi yang luar biasa , ayo pak fauzan bikin buku cerita yang inspiratif buat anak anak
BalasHapusSya sangat terkesan dengan pengalaman anda :). Sukron
BalasHapuswah jadi semakin menambah motivasi utk mnjadi guru sd it,, terimakasih pak :)
BalasHapusSekarang tidak hanya sekolah islam terpadu yang melaksanakan tes seperti ini. saya tes di salah satu homeschooling juga begini. haha :D seru seru
BalasHapusBapak masih mengajar di sekolah tersebut sekarang?
BalasHapusMasih mba..
HapusSya sabtu besok tes di sd muhammadiyah.. mohon doa nya
BalasHapusSemoga lancar ya mba.. Sukses..
HapusUda Fauzan ini lulusan Sastra Inggris, kah? Saya juga lagi menunggu hasil wawancara sebagai guru bahasa Inggris. Mohon doanya, dan sukses sekalu. God Speed!
BalasHapusYa, betul mas Faz Bar. Semoga mendapat hasil yg baik ya. Semangaat!!
HapusBapak fauzan, saya mau nanya nih dulu ada tes tertulisnya gak? Bisa di ceritakan gak gimana ? Syukron sebelumnya
BalasHapusMohon doanya saya 5 April 2018 melaksanakan tes tertulis di SIT ukhwah banjarmasin
BalasHapusboleh tau pertanyaan yang diajukan pada tes tulis itu apa saja?
HapusEsok saya akan melakukan tes wawancara di SD Internasional di Jogja, dan saya melamar sebagai guru English di SD tsb. yang saya ingin tanyakan< apakah tes wawancara untuk sekolah internasional biasanya menggunakan bahasa Inggris atau kah menggunakan Bahasa Indonesia? terimakasih Bapak fauzan
BalasHapusSemoga saya ketularan bisa lulus kerja di sekolah IT.. AAMIIN
BalasHapusPak besok mau tes tertulis di SD bias biasnya yang ditanyakan apa yah? Terimakasih
BalasHapus