Sabtu, 18 Januari 2014

The One Billion Kid



Sebagai seorang guru, menghadapi berbagai tingkah laku dan karakter anak yang luar biasa ajaib adalah suatu hal lumrah. Terlebih bila kita adalah guru sekolah dasar. Begitu pula dengan saya pribadi. Rasa penasaran, bahagia, geregetan, bahkan kadang kebingungan, atau ketika merasa ada yang salah dalam cara menyikapi anak merupakan menu utama setiap hari di sekolah. Inilah dinamika yang bermuara sebagai suatu bagian dari sebuah tantangan menarik.

Dari ratusan anak di sekolah kami, selalu ada beberapa anak ‘spesial’ di setiap kelas. Anak-anak spesial ini tak ubah layaknya sekumpulan selebritis top. Merekalah yang biasanya menjadi bahan pembicaraan dan hot topic of the day saat kami berkumpul pada jam istirahat di ruang guru. Ceritanya beragam, namun tetap panas. Mengalahkan panasnya isu politik pencitraan capres di media massa, bahkan isu tentang gonjang-ganjing timur tengah sekalipun.

Hari ini cerita tentang anak A yang hobi mengusili temannya, kemarin tentang anak B yang tak pernah mau memperhatikan pelajaran di kelas, tak mau menulis, tak mau membaca. Kemarinnya lagi cerita tentang anak C yang suka sekali ke kamar mandi—selalu minta izin pipis atau cuci muka tiap 15 menit, atau cerita tentang anak D yang suka meminta bekal makan adik-adik kelasnya. Dan berbagai keajaiban tingkah polah anak-anak kami lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu—karena tentu akan makin membuat panjang tulisan saya kali ini, hehe.

Namun beberapa hari belakangan ini saya sangat berantusias kepada salah satu anak spesial, sebut saja namanya Cahya. Ia adalah anak yang biasanya dibilang orang awam sebagai anak yang sulit diatur. Secara kasat mata memang demikian. Contohnya, ia tak pernah mau belajar, suka keluar kelas tanpa izin saat jam pelajaran, bercanda dengan memukul, sering merajuk, dan bertindak sesuka hati dan keinginannya, kadang berkata-kata kurang sopan. Wah, seandainya kawan-kawan di posisi kami, saya berani jamin pastilah pusing saat menghadapi Cahya.

Tapi tunggu dulu, kawan. Kita telah meyakini bahwa tidak ada satu pun anak di dunia ini yang nakal ataupun bandel. Tak ada anak yang jahat. Mereka tetaplah suci bersih dan belum dikenai dosa, bahkan para malaikat ditugaskan menjaganya. Anak spesial ini, sebagaimana lazimnya seorang kanak-kanak, adalah seorang copy cat paling wahid. Kebiasaan-kebiasaan mereka terbentuk dari lingkungan sekitar yang kemudian mereka contoh. Mereka belum tahu hitam-putih dan baik buruknya suatu hal. Adalah tugas kita sebagai guru, orang tua, kakak, sekaligus sahabat mereka untuk mengawasi dan mendampingi perkembangan tingkah laku mereka.

Disini saya tak bermaksud sedikitpun untuk menggurui, hanya sekedar sharing, bahkan jauh dalam hati, sampai sekarang pun saya belum berani menyebut diri saya sebagai seorang guru. Karena dimata saya pribadi, guru adalah sosok yang paling saya idolakan. Sampai sekarangpun saya masih mengingat semua nama guru TK dan SD saya dahulu. Begitu mulianya mereka. Walaupun dulu saya seringkali dihukum menyiram bunga atau berdiri berjam-jam di pojok kelas karena sering bercanda saat jam pelajaran berlangsung, hehe.

Baiklah. Kita kembali ke topik semula tentang Cahya. Beberapa hari yang lalu, saat jam istirahat saya mendapati Cahya sedang berkelahi dengan seorang teman perempuannya, ia sesekali memukul temannya. Sekali di peringati dengan lembut, tak mempan. Saya pegangi tangannya, malah kedua kakinya yang kini menendang-nendang. Apalah daya saya yang bertubuh kurus ini bila menghadapi seorang anak yang sedang mengamuk. Bisa-bisa saya ikut terseret-teret dan ikut jatuh menggelepar di lantai—maaf ini sedikit lebay memang, hehe.

Pada tahapan peristiwa ini, emosi saya memang benar-benar sedang diuji, bisa saja saya menghardiknya dengan kasar, namun mutlak itu bukanlah sebuah pilihan yang baik. Sebagai seorang guru, tentu saja ini dapat menurunkan citra saya dihadapan anak. Apalagi saat ini saya sedang bertekad untuk belajar menjadi guru. Alhasil, tiba-tiba saja saya menggendong Cahya, walaupun tubuhnya memang relatif berat.

Sembari menggendongnya, saya berteriak-teriak seperti seorang penjual obat di pasar.
“Jual anak, jual anak, jual anaaaakk!!!”
“Siapa yang mau beli anak saya pak, buk??”
“Saya mau jual anak saya, ini anak baik lho pak, suka menolong teman, rajin membantu ibu nyapu halaman!!”

Beberapa anak-anak lelaki dan perempuan dari kelas lain mulai mengerubungi saya dan merespon, begini kira-kira tanggapan mereka:
“Saya beli pak, saya beli, saya mau beli anaknya?”
“Berapa harganya pak?!”

Kemudian saya mulai menawarkan harga yang fantastis.
“Karena ini anak baik, ramah, sopan dan rajin menabung, harganya mahal banget lho buk”
“Ayo siapa yang mau beli??”
“Saya jual lima juta, eh, seratus juta!!”

Anak-anak yang lain mulai berebutan ingin membeli Cahya, ada yang menarik-narik kakinya, bahkan ada yang mencubit pipi Cahya dengan gemas. Cahya terkesima dengan betapa mahalnya harga yang ditawarkan, perlahan-lahan ia pun tak lagi mengamuk.
Melihat antusiasme mereka yang mau membeli, sayapun semakin menaikkan harga.
“Baiklah, penawaran terakhir, harga anak saya satu miliar!!!”
“Yaaaaaaaah!!! Mahal banget pak!”, kata para pembeli.

Seiring penawaran harga terakhir itu, lonceng bel masuk pun berbunyi. Anak-anak bergegas kembali ke kelas masing-masing. Tinggallah saya berdua dengan Cahya. Saat itu saya katakan padanya:
“Nah, kamu lihat sendiri kan, betapa mahalnya harga dirimu bila kamu menjadi orang yang baik, ramah, dan penyayang kepada teman. Sebenarnya hargamu jauh lebih mahal dari semua uang yang ada di dunia, kamu bahkan tak dapat dibeli oleh orang paling kaya sekalipun, bila saja kamu mau menjadi anak yang lebih baik lagi setiap harinya.”

Cahya diam saja, tak mengangguk atau menggeleng kepala. Namun saya tahu, saat itu dia merasa dirinya memang sangat berharga. Maka dengan mudahnya saya meminta dia untuk kembali ke kelas. Sejak saat itu, setiap berpapasan dengan Cahya, atau saat mengajar di kelasnya, saya selalu memanggilnya dengan sebutan “Anak Satu Miliar”.

Hal ini cukup efektif untuk menenangkan Cahya setiap kali ia bertingkah laku sedikit ajaib.
Saya yakin dan mendoakan, suatu saat, Cahya benar-benar akan menjadi seorang “The One Billion Kid”. Sebuah gelar yang semoga tetap melekat pada dirinya hingga kelak dia dewasa. Amin.



Fauzan Fadri
18 September 2012
Pukul 20:21 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar