Melakoni profesi sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah
dasar sepertinya telah menjadi pengisi waktu luang paling menyenangkan bagiku. Tiga
tahun lalu, aku tak punya ide sama sekali tentang bagaimana caranya mengajar.
Aku hanya kenal tentang dunia anak dan pendidikan secara serabutan dari buku-buku
bacaan, film-film yang di tonton, diskusi-diskusi kecil, hingga
kegiatan-kegitan kampus.
Memiliki latar belakang pendidikan berbeda, adalah tantangan
yang lain lagi buatku. Harapan dan tuntutan lingkungan sekitar juga menjadi momok
yang pernah menghantuiku beberapa tahun lamanya. Namun apabila kita memang
sudah kadung cinta, hambatan seberat dan serupa apapun tetap akan terasa ringan
dan nikmat untuk dijalani. Kata orang-orang tua dahulu: “Kalau sudah jelas dan
benar keinginan, maka terbukalah jalan.” Paolo Coelho dalam The Alchemist juga pernah menulis:
“Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, maka alam semesta akan
mendukungmu.” Sama prinsipnya dengan hukum tarik-menarik.
Berangkat dari pengalaman yang masih kurang itu, aku mencoba
mengolahnya menjadi sebuah peluang untuk belajar sesuatu yang baru. Sebuah
proses belajar akan terasa sangat menyenangkan ketika kita telah benar-benar
menyukai apa yang sedang kita pelajari. Hal ini menjadi salah satu prinsip yang
aku pegang teguh hingga kini.
Maka ketika mengajar anak-anak di sekolah pun, aku selalu
menjalani prinsip ini. Kegiatan belajar harus dikondisikan dalam suasana hati
gembira. Belajar adalah sebuah ritual sakral tentang pembebasan pikiran, hati, dan
jiwa. Ketika seseorang belajar dalam keadaan terpaksa, itu hanya akan menjadi
sia-sia. Membuang-buang energi dan tenaga saja.
Lantas apa hubungan prolog cerita yang saya curhatkan diatas
dengan tokoh superhero Spiderman, cemilan kuaci, bahkan rendang jengkol?
Nah kawan-kawan, berikut kisahnya.
Spiderman.
Di tahun pertamaku, ada seorang anak kelas tiga yang
terkenal sangat aktif dan sulit sekali untuk diajak fokus belajar. Suasana
hatinya gampang sekali berubah. Bahkan tak jarang membuat guru yang sedang
mengajar menjadi pusing tujuh keliling. Akupun sempat merasakan hal yang sama.
Namun pengalaman pribadi masa kecil telah membuatku untuk
tidak lekas berprasangka kepada anak-anak. Aku tidak ingin memberi label
negatif kepadanya. Pada suatu kesempatan saat makan siang bersama, ketika hanya
ada aku dan dia, aku mulai bedongeng kepada anak ini.
“Maukah engkau mendengar sebuah rahasia?” ujarku mengawali
cerita.
“Rahasia apa pak?” ia bertanya penasaran.
“Nih, dengarkan dengan hati-hati ya.., sebenarnya dulu bapak pernah menjadi spiderman!”
“Haaah??! Bapak bercanda nih! Mana buktinya?”
“Maaf, bapak gak bisa ngasih bukti sekarang, karena bapak gak ingin anak-anak yang lain tahu. Ini rahasia yang sangat besar! Jangan beritahu teman-temanmu ya.”
“Hahaha...bapak ada-ada aja nih.”
“Beneran lho, kalau malam hari biasanya bapak berubah jadi spiderman untuk menumpas kejahatan, nasehatin anak-anak yang usil pada temannya, dan anak-anak yang malas belajar.” Ujarku meyakinkan.
“Rahasia apa pak?” ia bertanya penasaran.
“Nih, dengarkan dengan hati-hati ya.., sebenarnya dulu bapak pernah menjadi spiderman!”
“Haaah??! Bapak bercanda nih! Mana buktinya?”
“Maaf, bapak gak bisa ngasih bukti sekarang, karena bapak gak ingin anak-anak yang lain tahu. Ini rahasia yang sangat besar! Jangan beritahu teman-temanmu ya.”
“Hahaha...bapak ada-ada aja nih.”
“Beneran lho, kalau malam hari biasanya bapak berubah jadi spiderman untuk menumpas kejahatan, nasehatin anak-anak yang usil pada temannya, dan anak-anak yang malas belajar.” Ujarku meyakinkan.
“Hahaha...”, dia tertawa.
“Baiklah, kalau kamu tak percaya, bapak gak akan maksa. Toh
ga ada ruginya buat bapak. Nanti malam bapak akan beraksi lagi menjadi
spiderman. Tolong jangan kamu bilang siapa-siapa ya..”
Dari percakapan singkat itu, sebenarnya aku tahu bahwa dia
tidaklah sungguh percaya bahwa guuru bahasa Inggrisnya ini adalah seorang
spiderman asli seperti di film. Tapi aku sudah mulai menarik perhatiannya.
Peristiwa pembocoran ‘rahasiaku’ itu telah menjadi sebuah momentum yang asik.
Sejak saat itu, setiap kali aku masuk kelasnya, dia pasti selalu tersenyum
penuh arti kepadaku, menghampiriku dan berbisik “Hai bapak spiderman...”.
Kemudian aku mendekatkan satu jariku ke bibir sembari berbisik pelan: ”Sssttt...
ini rahasia.. yok kita belajar dulu.”
Lama-kelamaan, anak ini semakin fokus mengikuti kelasku, ia
jadi semakin antusias dan selalu nurut ketika aku mengajar. Teman-teman guru
lain mungkin sempat heran kenapa aku bisa ‘mengondisikan’ anak ini. Bahkan
sampai kini, sudah dua tahun berselang. Anakku yang satu ini masih suka
sesekali memanggilku bercanda, “Pak spiderman, ntar aku bilangin rahasianya ke
teman-teman lho!” Aku berteriak; “Jangaaaaan...bahaya ntar kalo bapak ketahuan”.
Hahaha..
Sekarang anak ini telah berubah menjadi salah satu pentolan
yang paling bersemangat dan selalu menanti-nantikan mata pelajaran bahasa
Inggris yang kuampu. Hanya kepada kawan-kawan yang sedang membaca cerita
inilah, aku juga membocorkan rahasia ini. Selain aku, anak itu, dan kawan-kawan,
tidak ada yang tahu. Bahkan keluargaku sendiri juga tak pernah tahu. Ini
rahasia kita saja. Oke?
Kuaci.
Di sekolah kami ada peraturan reward and punishment. Anak yang bersemangat, berprestasi, atau
fokus dalam mencapai sebuah target, akan mendapatkan hadiah. Anak yang lalai
akan mendapat punishment seperti membaca istighfar, menyalin surat pendek
Al-quran, atau membersihkan sampah. Sedangkan hadiah bisa berupa piala, piagam,
buku-buku, alat tulis, hingga traktiran makan.
Nah, reward yang terakhir kusebut itulah yang menjadi sajian
favoritku kepada anak-anak. Alih-alih memberikan mereka kue tart atau bolu
sebagai hadiah, aku lebih memilih traktiran kuaci. Bukannya pelit, tapi ini
awalnya adalah sebuah guyonanku (kawan-kawan tentu sudah tahu kalau aku selalu
menyampaikan dengan santai, penuh humor becandaan, dan games menarik) di kelas
bersama anak-anak.
“Ayo anak-anak, siapa yang bisa menjawab pertanyaan bapak akan ditraktir makan besaaaaaaaaar!” teriakku.
“Makan dimana pak? Restoran ya? Ayam goreng? Pizza?” seru anak-anak antusias.
“Bukan, bapak akan traktir kalian kuaci.” Ujarku kalem sambil merendahkan volume suara, dan dengan tampang serius meyakinkan.
“Yaaaaaaaah....Cuma kuaciiiiiiiiii.” Sorak anak-anak protes!
“Tenang, tenang...bapak akan traktir kuaci sekarung!”
“Gak mauuuuuuu....gak mauuuuu...hahahahaha” anak-anak tertawa ngakak.
“Ayo anak-anak, siapa yang bisa menjawab pertanyaan bapak akan ditraktir makan besaaaaaaaaar!” teriakku.
“Makan dimana pak? Restoran ya? Ayam goreng? Pizza?” seru anak-anak antusias.
“Bukan, bapak akan traktir kalian kuaci.” Ujarku kalem sambil merendahkan volume suara, dan dengan tampang serius meyakinkan.
“Yaaaaaaaah....Cuma kuaciiiiiiiiii.” Sorak anak-anak protes!
“Tenang, tenang...bapak akan traktir kuaci sekarung!”
“Gak mauuuuuuu....gak mauuuuu...hahahahaha” anak-anak tertawa ngakak.
Hampir di setiap kelas bahasa Inggrisku, aku selalu
menggunakan trik kuaci ini. Dan benar, aku keesokan harinya membawakan beberapa
bungkus kuaci untuk mereka. Meskipun hari sebelumnya mereka protes, tapi toh
ketika kusodorkan kuaci, mereka asik makan camilan itu dengan senang, berbagi
dengan teman-temannya yang lain, yang belum beruntung mendapatkan reward
dariku.
Maka sejak saat itu, aku dikenal pula sebagai ‘ Sang Guru
Kuaci’. Dan tanpa kuduga, efek kuaci ini menjadi sangat berperan penting bagiku
dalam menarik minat belajar dan semangat anak. Bahkan di akhir tahun ajaran dua
tahun lalu, pernah kami mengadakan lomba makan kuaci segala. Karena semua anak
di kelas semakin antusias dalam belajar bersama. Aku mendapat sponsor ekslusif
dari seorang guru wali kelas yang juga ternyata adalah penggemar kuaci.
Sehingga semua dana pengadaan logistik camilan rakyat ini ditanggung sang wali
kelas.
Metode ‘kuaci learning’ ini bertahan selama dua tahun aku
mengajar. Kendati terhitung hanya beberapa kali saja aku memberikan mereka
hadiah kuaci, anak-anak tetap bersorak protes sambil tertawa-tawa ketika aku
menawarkan mereka rewardku. Anak-anak satu sekolahan, entah mengapa, menjadi semakin
senang belajar denganku hanya dikarenakan satu kata ajaib : ‘Kuaci.’
Rendang Jengkol.
Seingatku, dari semenjak aku mulai tumbuh gigi dan sudah
bisa mengunyah nasi, aku sudah menjadi penggemar berat jengkol yang tiada taranya.
Padahal aku tak pernah meminta hobi makan ini. Kegemaran akan jengkol
sepertinya sudah mengalir dalam darah keturunan nenek moyangku. Dulu ayahku
bilang bahwa almarhum kakek juga adalah seorang profesional maniak olahan
jengkol.
Suatu hari, ketika ayahku masih kecil, kakekku pernah
mengalami penyakit ‘jengkolan’ yang begitu menyiksa. Kakek berteriak-teriak
memegang pinggang dan menahan sakit hingga berhari-hari lamanya. Semenjak kejadian
itu, almarhumah nenek selalu mengubur jengkol di dalam tanah selama beberapa
hari lamanya sampai kecambah jengkol itu bertunas. Setelah itu, jengkol
bertunas itu baru diolah menjadi masakan. Konon katanya, cara itu bisa
mengurangi zat asam jengkol sehingga si pemakan jengkol terhindar dari ‘jengkolan’.
Pernah juga, ketika ayahku masih berumur sekitar lima-enam
tahunan, di tengah malam buta menangis berteriak-teriak meminta jengkol. “Jariaaaaaaaaaaaang!
Jariang! Jariaaaaaaang! Nio makan jariang abaaaaaak!” (Jengkoooool...! Jengkol!
Kepingin makan jengkooool, ayaaaah). Semua penduduk kampung kecilku jadi gempar.
Dulu kakek adalah salah satu tetua kampung yang sekaligus menjadi tabib obat
tradisional, hal ini membuat kakekku jadi cukup terkenal. Mendengar anak dari
seorang tetua berteriak-teriak membuat keributan aneh begitu, para penduduk
bukannya malah marah dan merasa terusik. Mereka lari kian kemari mencari setiap
rumah yang sedang memasak menu olahan jengkol. Semua tetangga membantu
menenangkan tangisan ayahku. Hingga hampir pagi tiba, barulah tangis ayah mereda
karena ada salah seorang penduduk kampung yang datang dengan suka rela
membawakan sambal jengkol yang baru saja dimasaknya.
Itulah sedikit cerita bersejarah tentang jengkol dalam
silsilah keluargaku. Kalau saja kakek masih hidup, aku ingin sekali bertanya
kepada beliau tantang asal-muasal kegemaran jengkol ini.
Lalu apa hubungannya denganku kini yang sedang menjadi guru
sekolah? Apa kaitannya dengan anak-anak dan trik mengajarku di kelas?
Begini, dalam pelajaran bahasa Inggris juga ada topik
tentang makanan dan minuman. Di buku peganganku berisi contoh makanan asing dan
luar negeri semua. Anak-anakku sudah hapal betul apa itu fried chicken, pizza, sushi, fondue, dumpling, tacos, curry, spaghetti dan sebagainya.
Sekaranglah saatnya aku juga mengenalkan makanan-makanan khas Indonesia.
Semua anak di sekolah tahu aku berasal dari Padang, dan
mereka pun tahu salah satu makanan khas Minangkabau adalah rendang. Tapi mereka
belum tahu bahwa ada olahan rendang jengkol. Nah, dalam sela-sela pelajaran
tentang makanan itu aku menyelipkan cerita lucu tentang kisah kakek dan ayahku
seperti yang kawan-kawan baca barusan.
Cerita diatas aku bumbui dengan mimik lucu, intonasi
turun-naik, gerak tubuh yang liat, volume suara yang tinggi-rendah, sehingga
menarik bagi anak-anak. (Aku bersyukur dulu di kampus pernah sedikit belajar
tentang teater dan keaktoran. Ilmu ini ternyata sangat berguna sekali ketika
menjadi seorang guru SD). Tak satupun dari mereka yang tidak memperhatikan.
Mereka semua larut dalam ceritaku. Mereka turut tersenyum, terkaget-kaget,
berceloteh bersahut-sahutan, melongo, hingga tertawa-tawa ngakak bersama.
Kelaspun menjadi riuh. Gaduh. Tapi, inilah sebuah kegaduhan yang sudah aku
skenariokan sebelumnya.
Dengan cara menarik perhatian anak-anak didik ketika
mengajar, membuat mereka selalu penasaran dan ketagihan dengan cerita-ceritaku,
aku pun jadi sangat diuntungkan. Bercerita kepada mereka tentang banyak hal
unik dan seru terkait materi pelajaran, akan memudahkan prosesku ketika
mentransfer ilmu kepada mereka. Dan aku jadi tidak bisa berbohong, mengajar di
kelas kini menjadi sangat menyenangkan buatku. Membuatku mencandu.
****************
Inilah sedikit ceritaku tentang cara-cara dan trik unik
karanganku sendiri selama mengajar. Aku memang belum pernah mempelajari ilmu
keguruan dalam pendidikan formal sebelumnya. Makanya aku harus selalu terus
belajar, salah satunya melanjutkan sekolahku dalam bidang ilmu pendidikan. Kini
aku sudah akan memasuki semester ketiga di kampusku yang baru. Semoga ilmu-ilmu
yang kuperoleh, dari manapun itu, dapat kuabdikan kepada semua anak-anak
didikku dimanapun mereka berada.
Aku sering bilang kepada diriku sendiri bahwa, kunci menjadi
guru yang menyenangkan itu cuma satu: “Senangkanlah hati anak-anak didikmu!
Buat mereka bahagia dengan keberadaanmu. Dengan begitu proses belajar akan
berjalan dengan sangat mengasikkan. Bahkan lebih asik dari yang pernah engkau
duga dan kau rasakan sebelum-sebelumnya!” Oiya, jangan lupa sering-sering baca
buku.
Semoga bermanfaat, kawan-kawan. Sampai jumpa dalam
cerita-cerita sekolahku berikutnya.
Merdeka!!!
Fauzan Fadri
17 Agustus 2014
Pukul 13:11 WIB
Merdeka!!!
Fauzan Fadri
17 Agustus 2014
Pukul 13:11 WIB